Kamis, 27 Agustus 2015

TIDAK SEMUA BID'AH SESAT

Tidak Semua Bid’ah Itu Sesat?

Sejak berabad-abad yang lalu, para ulama di empat mazhab Islam membagi bid’ah secara umum menjadi dua, yakni bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk). Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum yang diketahui bersama dan diterapkan dari generasi ke generasi. Anehnya, dari daerah Najd berkembang gerakan purifikasi yang bernama Wahhabiyah—yang sekarang mereka lebih suka memanggil dirinya sebagai Salafiyah atau Muwahhidun—yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat tanpa terkecuali. Sejak saat itu berkembanglah tren menyesat-nyesatkan berbagai amal ibadah kaum muslimin yang telah dilakukan berabad-abad. Lebih aneh lagi, mereka melakukan itu dengan klaim kembali ke ajaran ulama salaf.
Akhirnya, tren menyesat-nyesatkan muslim lain dengan dalih bid’ah ini masuk pula ke Negeri tercinta ini. Tak heran jika bermunculan berbagai buku, siaran radio hingga artikel-artikel di internet yang penuh dengan tulisan yang membahas betapa buruk dan sesatnya muslim di negeri ini, tak terkecuali para ulamanya, karena dianggap melestarikan berbagai amalan bid’ah yang sesat. Sebagai contoh silakan lihat ini, juga ini dan yang ini. Dalil utama mereka adalah hadis populer yang berbunyi: كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار (biasanya diartikan: Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu di neraka). Buku-buku kaum Salafi penuh dengan hadis ini dan yang semakna diulang-ulang sampai yang membaca jenuh seolah tidak ada dalil lain yang dapat diajarkan pada umat.
Para ulama Ahlus Sunnah dari dulu jelas memahaminya sebagai sebagian besar bid’ah atau bid’ah secara umum, bukan setiap bid’ah tanpa terkecuali. Pemahaman mereka ini jelas-jelas pemahaman yang benar karena yang mereka baca tidak hanya hadis itu, melainkan juga dalil-dalil lain. Tapi, bagaimanapun jelasnya, tetap saja masih harus dijelaskan lagi karena entah kenapa ada saja yang salah paham, seperti orang yang harus menjelaskan bahwa bumi ini bulat dan bergerak pada orang dusun yang tetap ngotot berkata bahwa bumi itu datar dan tidak bergerak. Meski menjelaskan hal yang sudah jelas itu membosankan sekali, tapi akhirnya saya tergerak juga untuk memberikan sedikit sumbangsih pemikiran karena ternyata tren asal menyesatkan karena bid’ah itu lumayan laku juga di masyarakat.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas masalah ini dengan berlandaskan pendapat para ulama besar seperti para imam mazhab karena semisal saya menukil pernyataan Imam Syafi’i yang dengan tegas membagi bid’ah menjadi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmumah (buruk/tercela), maka sering kali kaum Salafi akan mementahkannya dengan berkata: Mau ikut Imam Syafi’i atau ikut Rasul? atau Kenapa ikut penafsiran ulama kalau hadisnya sudah jelas? atau Itu kan hanya penafsiran yang bisa saja salah, tapi dalil kami adalah hadis yang tidak mungkin salah. atau bahkan dengan pedenya menukil hadis yang artinya: Tidak boleh ada ketaatan pada makhluk dalam hal maksiat pada Sang Khalik”. Ada juga yang dengan agak sombong menukil ucapan Imam Abu Hanifah berikut: “Hum al-Rijal wa Nahnu Rijal” yang artinya mereka itu laki-laki, kita juga laki-laki!.
Jadi, saya akan memakai landasan rasio atau akal sehat saja hingga satu-satunya cara untuk mementahkan hujjah ini adalah dengan berkata: “Kami beragama tidak pakai rasio atau akal sehat!”. Semoga saja tidak ada yang berkata seperti itu karena saya dan seluruh manusia lain tidak mungkin lagi memberikan penjelasan apapun pada orang seperti itu. Tapi tentunya bukan berarti saya berhujjah dengan akal-akalan karena secara konsisten rasio tersebut akan digunakan untuk memahami teks-teks yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
A.     Arti kata كل tidak harus semua tanpa kecuali.
Yang menjadi kata kunci dalam bahasan ini adalah kata كل yang berarti setiap, semua atau segala yang ada dalam hadis كل بدعة ضلالة (Setiap bid’ah adalah sesat). Dengan memahami kata itu secara dangkal, kaum Salafi menjadikannya landasan untuk menuduh sesat segala macam praktek ibadah yang tidak ada di jaman Rasul tanpa terkecuali. Benarkah kata ini harus berarti setiap atau semua dan tidak menerima satu pun pengecualian? Jawabannya adalah tidak benar sama sekali!
Dalam ilmu Mantiq/logika, dikenal dua istilah yang merujuk pada statemen umum, yakni kulli dan kulliyah. Bedanya,kulli mengacu pada arti yang benar secara umum saja namun masih menerima pengecualian secara partikular, seperti pernyataan “semua perempuan itu lebih lamban dari laki-laki”, sedangkan kulliyah mengacu pada arti umum yang tidak menerima pengecualian, seperti pernyataan “semua orang pasti mati”. Ini hal yang sudah jelas dan tak perlu diperpanjang lagi. Lalu bagaimana dengan peristilahan dalil-dalil agama semisal al-Qur’an, apakah juga berlaku pembedaan kulli dan kulliyah itu? Jawabannya jelas, ya keduanya berlaku.
Dalam al-Qur’an, Allah menggunakan kata كل untuk makna yang kulli dan makna yang kulliyah. Kata tersebut dipakai sebanyak 235 kali dan sepanjang penelitian penulis setidaknya ada 21 kata (tanpa menghitung kata yang susunan kalimatnya sama) yang konteks maknanya adalah kulli alias hanya benar secara umum dan masih ada pengecualiannya. Orang yang lebih jeli dari saya mungkin saja menemukan lebih banyak dari jumlah ini. Menyebutkan satu-dua contoh saja sebenarnya sudah cukup, tapi jiwa pendebat yang fanatik sering menolak bila contohnya sedikit, maka kedua puluh satu kata itu akan saya sebut semua. Kata كل yang bermakna kulli itu antara lain sebagai berikut. Perhatikan kata yang ditulis tebal di bawah ini:
1.     ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ [الأنعام: 102]
(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.
Keterangan: Sudah jelas ada sesuatu yang tidak Allah ciptakan dan tak mungkin Dia yang menciptakannya, yaitu sifat-sifat ketuhanannya sendiri. Jadi, Allah tidak menciptakan wujudnya sendiri karena itu berarti Allah menciptakan Allah lain, tidak mungkin juga menciptakan kekekalannya sendiri karena itu berarti bahwa kekekalannya punya awal mula atau dengan kata lain sebelumnya Allah tidak kekal. Begitulah seterusnya bagi sifat-sifat yang lain. Jadi, firman Allah di atas hanya berlaku dalam konteks umum saja, bukan seluruhnya tanpa kecuali.
2.     وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [التوبة: 39]
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Keterangan: Ayat seperti ini banyak sekali jumlahnya yang menekankan ke-Maha Kuasaan Allah untuk melakukan segala hal. Ayat ini juga tidak berlaku umum tanpa kecuali karena ada banyak hal yang Allah tidak kuasa atasnya, yaitu hal-hal yang mustahil secara rasio. Jadi, Allah tidak kuasa membuat batu yang saking besarnya sampai Allah sendiri tidak mampu memindahkannya. Allah juga tidak kuasa menghilangkan sifat-sifat ketuhanannya. Allah juga tidak kuasa memasukkan bumi ke dalam lubang jarum jahit tanpa mengubah ukuran salah satu atau keduanya. Allah juga tidak kuasa membuat Allah lain satu lagi. Mengatakan “Allah tidak kuasa” sebenarnya tidak sopan, tapi kadang diperlukan bahasa yang vulgar untuk memahamkan orang yang masih mempertanyakan hal yang sudah jelas. Normalnya, para ulama menyebutnya secara halus sebagai “Kuasa Allah tidak berhubungan dengan hal mustahil”.
3.     إِنَّ رَبِّي عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ [هود: 57]
Sesungguhnya Tuhanku Maha Menjaga setiap sesuatu.
Keterangan: Sudah jelas Allah tidak menjaga hati orang-orang kafir hingga mereka menolak iman dan karenanya masuk neraka.
4.     وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا وَمَا يَمْكُرُونَ إِلَّا بِأَنْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُونَ [الأنعام: 123]
Demikianlah Aku adakan pada setiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.
Keterangan: Sudah jelas tidak di semua negeri ada hal demikian. Hanya secara umum saja. Sebagian pakar tafsir semisal Ibnu Katsir mengartikan lebih khusus lagi, yakni negeri-negeri para Rasul.
5.     وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ [يوسف: 76]
Di atas setiap yang berilmu ada yang lebih berilmu
Keterangan: Ini juga secara umum, jika diartikan seluruhnya tanpa kecuali berarti di atas Allah juga masih ada yang lebih berilmu lagi.
6.     لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ [يوسف: 111]
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi pembenaran (kitab-kitab) yang sebelumnya dan penjelasan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.
Keterangan: Kata تَفْصِيلَ dalam ayat itu sebenarnya berarti penjelasan yang rinci. Sudah jelas al-Qur’an tidak menjelaskan setiap sesuatu, apalagi secara rinci tanpa terkecuali. Pernyataan ini benar secara umum saja bahwa setiap hal dan prinsip penting yang wajib diketahui kaum mukmin sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, bukannya berarti di dalamnya ada segala pengetahuan manusia hingga rinciannya. Sebagai contoh, teknis salat saja tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, tapi di hadis.
7.     وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ [الرعد: 3]
Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan.
Keterangan: Sudah maklum hanya umumnya saja buah-buahan itu berpasang-pasangan jantan dan betina (berkembang biak secara Generatif) dengan mengartikan kata الثَّمَرَاتِ  sebagai tumbuhan berbuah. Tapi tentu saja tidak semuanya demikian karena ada banyak sekali tumbuhan yang berbuah dengan sendirinya tanpa perlu pasangan jantan atau betina yang dalam dunia science dikenal dengan sebutan tumbuhan vegetatif, seperti jenis spora, tunas, akar tinggal, umbi-umbian dan lain-lain. Ada beberapa Mufassir yang mengartikan kata الثَّمَرَاتِ  itu sebagai buah sebenarnya (bukan tumbuhan) dan menafsirkan berpasang-pasangan itu sebagai besar-kecil, hitam-putih, merah-hijau, manis-kecut dan lain-lain sehingga semua buah tanpa terkecuali ada pasangannya. Sayangnya arti demikian tampaknya lemah dan dipaksakan karena ayat tersebut memakai kata زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ yang berarti sepasang atau dua hal yang berpasangan sedangkan ukuran, warna dan rasa bukanlah hal yang bisa dipasang-pasangkan karena ragamnya yang hampir tak terbatas.
8.     فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ [الأنعام: 44]
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Aku bukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
Keterangan: Sudah jelas kaum yang ingkar tersebut tidak mendapat segala macam kesenangan di dunia, tapi kesenangan secara umum saja.
9.     وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ [إبراهيم: 34]
Aku berikan pada kalian segala macam yang kalian minta.
Keterangan: Sudah jelas tidak segala macam yang diminta manusia diberikan oleh Allah melainkan semua ada takaran dan pertimbangannya masing-masing.
10.   ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا [النحل: 69]
Kemudian makanlah dari segala macam buah lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).
Keterangan: Ayat tersebut merupakan ilham Allah kepada lebah. Sudah maklum bahwa lebah tidak memakan semua jenis “buah”, melainkan hanya beberapa “buah” yang lebih tepatnya disebut dengan bunga dalam peristilahan kita, bahasa Indonesia.
11.   وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا [الإسراء: 89]
Sesungguhnya Aku telah mengulang-ulang pada manusia dalam Al Quran ini tiap-tiap perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkarinya.
Keterangan: Jelas sekali dalam al-Qur’an tidak disebutkan segala macam perumpamaan, melainkan secara garis besar saja.
12.   وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا [الكهف: 79]
Di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Keterangan: Sudah maklum bahwa raja yang dimaksud oleh ayat itu hanya merampas bahtera/perahu yang masih layak untuk dibuat berlayar atau berperang. Karenanya, Nabi Khidir merusak salah satu perahu seorang miskin agar tidak ikut dirampas. Jadi tidak tiap-tiap perahu akan dirampas.
13.   وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ [الأنبياء: 30]
Aku jadikan dari air itu segala macam yang hidup. Mengapakah mereka tidak juga beriman?
Keterangan: Sudah jelas bahwa makhluk hidup yang dijadikan dari air atau yang terdiri dari unsur-unsur air itu tidak seluruhnya, melainkan hanya secara umum saja. Para malaikat jelas tidak termasuk dalam ayat ini.
14.   فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا فَإِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ [المؤمنون: 27]
Lalu Aku wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah pengawasan dan petunjuk-Ku, maka apabila perintah-Ku telah datang dan penanak roti telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis) hewan
Keterangan: Sudah jelas bahwa tidak semua jenis hewan dimasukkan dalam bahtera Nuh tersebut, melainkan hanya hewan-hewan yang secara umum dibutuhkan untuk masa pasca banjir besar, seperti hewan ternak dan kuda. Hanya Bible/Injil saja yang mengatakan bahwa banjir Nuh itu melanda seluruh bola dunia dan semua hewan mati kecuali yang ada di atas kapal sehingga Nabi Nuh mengangkut segala macam jenis hewan yang ada saat ini. Kisah berlebihan ini merupakan salah satu kesalahan Bible yang terbesar dan paling memalukan dalam sejarah yang membuktikan bahwa Bible sudah dirusak isinya. Sayangnya, ada beberapa tafsir al-Qur’an yang merujuk kisah isra’iliyat dari Bible ini.
15.   وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ [النمل: 16]
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai Manusia, Aku telah diberi pengertian tentang bahasa burung dan Aku diberi segala sesuatu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata”.
Keterangan: Tidak mungkin ada manusia yang dikaruniai segala sesuatu tanpa terkecuali di dunia ini. Yang dimaksud Nabi Sulaiman tersebut adalah kebanyakan hal yang dinginkan manusia, bukan segala sesuatu dalam arti sebenarnya.
16.   إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ [النمل: 23]
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Keterangan: Sama seperti sebelumnya, ini juga secara umum saja.
17.   أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا [القصص: 57]
Apakah Aku tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam tumbuhan sebagai rezeki dari-Ku?.
Keterangan: Benarkah di tanah suci Makkah terdapat segala macam buah di dunia? Jelas tidak!, hanya sebagian besar saja yang diimpor ke sana dari berbagai penjuru dunia.
18.   كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ ذُو الْأَوْتَادِ.وَثَمُودُ وَقَوْمُ لُوطٍ وَأَصْحَابُ الْأَيْكَةِ أُولَئِكَ الْأَحْزَابُ . إِنْ كُلٌّ إِلَّا كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ عِقَابِ [ص: 12-14]
Telah mendustakan (rasul-rasul pula) sebelum mereka itu kaum Nuh, ‘Ād, Firaun yang mempunyai tentara yang banyak, Tsamud, kaum Luth dan penduduk Aikah (kaum Nabi Syuaib). Mereka itulah golongan-golongan yang bersekutu. Semua mereka itu tidak lain mendustakan rasul-rasul, maka nyatalah azab-Ku.
Keterangan: Sudah maklum dalam sejarah bahwa tidak semua kaum Nuh, ‘Ād dan seterusnya mendustakan Rasul, melainkan sebagian besar atau secara umum saja.
19.   كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَأَصْحَابُ الرَّسِّ وَثَمُودُ . وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَانُ لُوطٍ . وَأَصْحَابُ الْأَيْكَةِ وَقَوْمُ تُبَّعٍ كُلٌّ كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ وَعِيدِ  [ق: 12-14]
Sebelum mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh, penduduk Rass, Tsamud, kaum Ād, kaum Firaun, kaum Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’. Semuanya telah mendustakan rasul-rasul, maka nyatalah hukuman yang sudah diancamkan.
Keterangan: Seperti sebelumnya, ini juga secara umum saja. Ada beberapa orang dari kaum tersebut yang beriman pada para Rasul.
20.   وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [الذاريات: 49]
Segala sesuatu Aku ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Keterangan: Secara umum saja hal-hal di dunia ini berpasang-pasangan; ada laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, matahari dan bulan, siang dan malam dan seterusnya. Tapi tentu saja tidak semuanya diciptakan berpasangan. Binatang bersel satu tidak membutuhkan pasangan untuk hidup dan berkembang biak, tapi dengan cara membelah diri. Begitu pula dengan hal-hal sederhana di sekitar kita seperti batu, air dan lain-lain yang tidak ada pasangannya dan sulit untuk dipasang-pasangkan.
21.   وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ [المنافقون: 4]
Apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata,  maka kamu pun mendengarkan perkataan mereka. Mereka itu (bodoh) seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka.
Keterangan: Allah menerangkan bahwa salah satu sifat orang munafik adalah kepribadian atau mental yang lemah; mereka menyangka tiap teriakan keras itu mengarah pada mereka. Tentunya yang dimaksud di sini bukan tiap teriakan keras tanpa kecuali, melainkan hanya teriakan keras yang memojokkan dan menyalahkan saja.
Dari berbagai contoh di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua kata كل bermakna semua tanpa terkecuali, tapi ada juga—bahkan bisa dibilang banyak—yang bermakna sebagian besar, kebanyakan atau secara umum saja. Dalam ilmu Ushul Fiqh (Metode-metode Penggalian Hukum Islam), contoh-contoh seperti di atas tergolong dalam takhsīsh bi al-‘Aqli atau pengkhususan/pembatasan statemen umum dengan menggunakan akal. Dalam ilmu Balaghah (Sastra Arab), yang seperti ini dikenal dengan istilah al-‘ām al-ladzi yurādu bihi al-khās atau statemen umum yang dimaksudkan untuk makna khusus. Ini pun rasanya sudah jelas dan tak perlu dibahas panjang lebar di sini. Jelasnya pemahaman rasional seperti ini bukan akal-akalan, tapi benar-benar pemahaman yang ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu.
Mahmud al-Alusi dalam karyanya, Ruh al-Ma’ānī, sebuah tafsir monumental setebal 20 jilid yang merangkum sekian banyak kitab tafsir sebelumnya, ketika menafsirkan ayat Ibrahim: 34 berkata demikian:
وقال بعض الكاملين : إن { كُلٌّ } للتكثير والتفخيم لا للإحاطة والتعميم كما في قوله تعالى : { فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلّ شَىْء } [ الأنعام : 44 ]
Sebagian orang yang sempurna pemahamannya berkata: “Sesungguhnya kata كل itu untuk memperbanyak dan memperbesar makna, bukan untuk meliputi dan mengumumkan, seperti firman Allah: Aku bukakan pada mereka semua pintu-pintu kesenangan (al-An’am: 44).
Tentang bid’ah, kenyataannya memang secara umum itu buruk. Penggunaan bid’ah secara mutlak biasanya berkonotasi buruk juga, tapi bukan berarti tidak ada bid’ah yang baik. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Khalifah Umar pernah menyebut salat Tarawih berjemaah sebanyak dua puluh rakaat sebagai bid’ah yang paling baik. Ini juga menjadi bukti bahwa para sahabat Nabi menyebut semua inovasi baru dalam masalah agama sebagai bid’ah. Akan tetapi bila bid’ah itu baik, maka biasanya tidak disebut sebagai bid’ah secara mutlak, melainkan dengan embel-embel keterangan bahwa itu adalah bid’ah yang baik atau bid’ah hasanah.
Yang jelas, sampai poin ini berarti setiap pihak yang hendak menuduh sesat sebuah tindakan bid’ah harus mendatangkan buktinya dengan selain hadis “setap bid’ah adalah sesat” tersebut. Dengan kata lain, hadis tersebut dan apalagi seluruh hadis lain yang berbicara tentang bid’ah tanpa memakai kata كل (semua) tidak dapat menjadi dasar mandiri untuk menuduh sesat sebuah perbuatan ibadah, melainkan hanya sebagai acuan umum yang masih harus didukung oleh dalil lain.
B.     Inkonsistensi penetapan semua bid’ah sesat tanpa kecuali
Pada kenyataannya, orang-orang yang menolak adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) tidak mungkin konsisten dengan konsep asal pukul rata itu. Akan selalu ada kontradiksi dalam keputusan-keputusan mereka. Misalnya, Bin Baz mengatakan dalam situsnya bahwa Tarawih berjamaah dua puluh rakaat bukan bid’ah secara syariat, namun hanya secara kebahasaan saja karena prinsipnya salat Tarawih sendiri adalah termasuk hal yang dicontohkan oleh Rasulullah. Aneh bin ajaib, pada saat yang sama dia menyesatkan perayaan maulid Nabi karena dianggap sebagai hal baru yang sama sekali tidak dicontohkan Rasul. Kenyataannya, ada berbagai hadis yang prinsipnya adalah pengistimewaan Nabi Muhammad saw. terhadap hari lahirnya sendiri, semisal hadis tentang puasa hari senin dan pengistimewaan beliau terhadap hari lahir Nabi Musa as dengan puasa di bulan Muharam.
Kalau mau bicara prinsip, antara kasus Tarawih berjamaah dua puluh rakaat yang digagas Umar dan perayaan maulid Nabi yang digagas para ulama sama saja; keduanya punya landasan prinsip yang dicontohkan Rasul. Kalau mau bicara teknis, keduanya juga berbeda dengan apa yang dipraktekkan Rasul. Dalam kasus Tarawih misalnya, tak ada satu pun hadis yang berisi sebagai berikut:
§  Menyebut istilah salat Tarawih di zaman Rasul hidup.
§  Salat Tarawih berjamaah tiap malam.
§  Menyebut tentang jumlah salatnya yang dua puluh rakaat.
§  Mengkhatamkan al-Qur’an 30 Juz selama sebulan Ramadhan dalam Tarawih seperti yang dipraktekkan di Makkah dan Madinah hingga kini.
§  Memberikan jeda tarwihah (istirahat) setiap dua kali salam seperti di masa-masa sahabat. Karena punyatarwihah ini, maka salat unik tersebut disebut Tarawih (bentuk plural dari tarwihah).
§  Adanya salat khusus bulan Ramadhan yang tidak perlu/tidak boleh dilakukan di bulan lain dan dengan cara-cara tertentu yang khusus pula seperti tarawih.
Dengan semua perbedaan itu tentunya Tarawih tergolong sebagai bid’ah. Tapi, ada hadis yang menyebutkan bahwa menghidupkan malam hari bulan Ramadhan itu berpahala besar dan Rasul juga pernah salat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah selama beberapa hari saja. Sama saja tidak ada hadis yang berisi perayaan maulid seperti yang dilakukan umat sekarang dengan cara pembacaan salawat, al-Qur’an dan sejarah Nabi, penentuan waktu tertentu, acara seremonial, penghormatan dengan cara perayaan dan lain sebagainya, tapi secara prinsip ada beberapa hadis yang menyatakan bahwa Rasul juga merayakan ulang tahunnya dengan cara puasa seperti hadis berikut:
وسئل عن صوم الاثنين ؟ قال ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت ( أو أنزل علي فيه ). صحيح مسلم
Nabi ditanya tentang puasa hari senin. Beliau berkata: “Itu hari kelahiranku dan hari aku diutus (atau “hari diturunkan wahyu padaku”). Riwayat Muslim.
Dengan begitu, semestinya kalau konsekuen berbicara prinsip bahwa salat Tarawih seperti yang sampai kini dilakukan di Makkah al-Mukarramah bukan bid’ah secara syariat karena ada landasan hadisnya melainkan hanya secara kebahasaan saja,  maka perayaan maulid Nabi juga dihukumi bukan bid’ah secara syari’at melainkan hanya secara kebahasaan saja. Sebaliknya kalau hendak membid’ahkan perayaan maulid karena ada beberapa hal teknis yang tidak pernah dicontohkan Nabi, maka salat Tarawih juga harus dibid’ahkan dan disesatkan sehingga dianggap sesatlah seluruh jamaah Masjidil Haram dari dulu hingga sekarang.
Kalau dikatakan bahwa tarawih adalah sunah Khulafaur Rasyidun yang diperintah oleh Nabi untuk dipegang kuat-kuat sedangkan Maulid bukan sunah  Khulafaur Rasyidin, maka ini logika yang aneh sekali yang punya beberapa kesalahan.
Pertama: Sunah Khulafaur Rasyidun tidak boleh dipahami sebagai sunah baru yang independen yang menambah sunah Nabi Muhammad karena jika demikian berarti menjadikan mereka sebagai pembawa syariat seperti halnya Allah dan Nabi Muhammad. Ini salah mutlak karena pembawa syariat itu hanya dua, Allah dan Rasulnya dan tidak ada yang lain. Karena itu, sejarah telah menerangkan bagaimana Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah pada awalnya merasa berat hati untuk menerima usulan penyusunan al-Qur’an menjadi satu buku, alasannya takut bid’ah!. Seandainya benar dipahami bahwa sunah Khulafaur Rasyidun adalah sunah independen yang berhak menambah sunah Nabi, maka pastinya langsung saja Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah menerima usul brilian tersebut tanpa pikir panjang karena khalifah berhak membuat sunah baru.
Kedua: Kalau dengan gampangnya tarawih bisa disebut sunah Khulafaur Rasyidun, maka merayakan Maulid bisa disebut sunah Rasul karena Rasul dan para sahabat merayakannya dengan bentuk puasa.
Ketiga: Tidak ada hadis yang mengajarkan bahwa semua teknis harus mencontoh Khulafaur Rasyidun dan apabila teknisnya tidak sama berarti salah seperti kasus salat yang teknisnya harus mencontoh Rasul.
Kalau dikatakan bahwa perayaan Maulid diharamkan karena banyak terjadi hal-hal yang diharamkan di dalamnya seperti percampuran laki-laki dan perempuan, pentas-pentas seni yang diperselisihkan hukumnya (orang Salafi tidak terbiasa menggunakan kata diperselisihkan, tapi biasanya langsung diharamkan) dan lain-lain yang bersifat teknis, maka berarti haram lighairihi (haram karena faktor luar). Tinggal dibuang saja hal-hal teknis yang diharamkan itu dan diganti dengan ibadah yang jelas halal. Kalau benar itu yang jadi alasannya, berarti hukumnya tidak boleh digeneralisir pada seluruh praktek perayaan Maulid karena tidak semua perayaan Maulid mengandung hal-hal sedemikian. Harusnya yang dikritik bukan Maulidnya, tapi hal-hal yang diharamkan tadi.
Logika seperti ini juga berlaku bagi banyak hal lain yang disesat-sesatkan oleh kaum Salafi-Wahabi. Yang jelas banyak inkonsistensi di dalamnya bila benar-benar dipikir mendalam.
C.     Mengatakan ada bid’ah yang hasanah (baik) bukan berarti menolak sunah Nabi.
Biasanya kaum Salafi-Wahabi memvonis orang yang berkata ada bid’ah hasanah sebagai orang yang melawan sunah Nabi karena Nabi tidak pernah berkata demikian. Perkataan Nabi justru كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار (biasanya diartikan:Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu di neraka). Ini vonis gegabah yang menyesatkan banyak orang. Bila dipikir seksama sebenarnya bukan hadis itu dilawan. Bukan sunah Nabi yang diingkari, tapi pemahaman mereka terhadap hadis tersebut dan sunah Nabi yang diingkari. Mengingkari pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an dan hadis tidak bisa disamakan dengan mengingkari al-Qur’an dan hadis itu sendiri.
Kesimpulan seperti itu hanyalah argumen kosong yang menipu. Menempatkan lawan bicara dalam posisi berseberangan dengan al-Qur’an dan hadis, padahal sebenarnya hanya berseberangan dengan pendapatnya sendiri. Menegaskan bahwa pendapat lawannya bertentangan dengan pendapat ulama, padahal sebenarnya hanya bertentangan dengan ulama mereka atau sebagian ulama Ahlussunnah yang kebetulan sama dengan mereka, bukan dengan seluruh ulama.
D.    Kesempurnaan agama tidak berarti menafikan bid’ah hasanah
Beberapa orang memakai dalil kesempurnaan agama Islam dalam surat al-Ma’idah: 3 sebagai dalil untuk menafikan adanya bid’ah yang baik. Logika yang mereka pakai, kalau sudah sempurna berarti tidak bisa ditambah-tambah. Seandainya masih ditambah lagi, maka justru akan merusak kesempurnaan itu dan orang yang menambah berarti meyakini bahwa agama ini belum sempurna.
Argumen dan logika seperti ini cacat. Kesempurnaan agama Islam adalah hal yang disepakati bersama oleh setiap muslim dari golongan mana pun, mazhab apa pun. Mereka yang meyakini adanya bid’ah hasanah bukan berarti merusak atau menolak kesempurnaan agama Islam karena justru kebolehan bid’ah hasanah sendiri diyakini sebagai bagian dari kesempurnaan itu. Kesempurnaan agama ini bukan karena agama ini telah mengatur setiap detail dan teknis hal-hal yang halal dan haram karena pengaturan setiap detail dan teknis seperti itu tidak pernah terjadi kecuali pada hal-hal tertentu saja seperti misalnya salat, puasa, zakat, haji dan waris. Hal teknis tentang kebanyakan hal lain sengaja dibiarkan bukan karena lupa dan kurang, tapi justru karena manusia dipersilakan mengerjakannya dengan caranya masing-masing yang unik. Nabi bersabda:
إن الله فرض فرائض فلا تُضيِّعُوها، وحَدَّ حدودًا فلا تعتدوها، وحَرَّم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم غَيْرَ نِسْيان فلا تسألوا عنها. (البيهقي)
Sesungguhnya Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan disia-siakan. Membatasi dengan batasan-batasan, maka jangan dilampaui. Mengharamkan beberapa hal, maka jangan dirusak. Mendiamkan beberapa hal sebagai kasih sayang terhadap kalian bukan karena lupa, maka jangan menanyakannya. (Riwayat Baihaki)
Selain itu, memakai ayat al-Ma’idah: 3 sebagai dalil dalam konteks ini juga sangat salah karena ayat tersebut bukan ayat yang terakhir turun dan masih ada ayat-ayat lain yang turun belakangan. Seandainya logika cacat tersebut masih dipaksakan juga untuk diterapkan, maka berarti ayat-ayat yang turun setelah al-Ma’idah: 3 itu dianggap perusak kesempurnaan. Kalau tidak dianggap sebagai perusak kesempurnaan tapi pelengkap kesempurnaan, berarti kesempurnaan yang disebut dalam al-Ma’idah: 3 itu kesempurnaan semu yang harus disempurnakan lagi dengan ayat lain. Kemungkinan-kemungkinan ini tidak mungkin dibenarkan dan tidak logis.
Satu-satunya yang logis adalah memahami bahwa kesempurnaan Islam terletak dalam pedoman umumnya dan juga pedoman detailnya dalam beberapa hal tertentu saja yang kesemuanya dapat menjadi petunjuk bagi manusia yang dalam waktu sama juga memberikan ruang kebebasan yang penuh rahmat untuk terus mengembangkannya.
Masih sangat banyak argumen lain yang bisa ditampilkan di sini bahkan bisa mencapai satu buku tebal, tapi agar tidak terlalu panjang saya cukupkan hingga sampai ini dan rasanya sudah cukup untuk membuktikan kesalahan argumen dan logika yang dipakai oleh orang-orang yang secara sembrono gemar menyesat-nyesatkan amalan orang lain atas dasar bid’ah yang dia pahami dari hadits كل بدعة ضلالة.
Sekian semoga bermanfaat.