Selasa, 02 April 2019

KAUM MUSLIMIN DAN PARTISIPASI POLITIK


KAUM MUSLIM DAN
PART ISIPASI SOSIAL-POLITIK
Masalah Hak-hak Individual dan Sosial
yang Tak Teringkari
(0leh: Norcholis Majid)

Dari berbagai sudut tinjauan, di mata banyak para pengamat, proses demokratisasi di negeri kita merupakan keharusan yang hampir tak terelakkan. Alasannya, kemajuan tertentu yang telah dicapai oleh negeri kita, khususnya peningkatan dan pemerataan kecerdasan rakyat banyak, telah memperlebar jalan bagi kemungkinan adanya partisipasi sosial-politik, atau, setidaknya, mempertinggi tuntutan partisipasi itu jika struktur sosial-politik resmi yang ada belum memberikannya.

Sebagai proses, pertumbuhan demokrasi di negeri kita bisa terhambat, dengan segala konsekuensinya, jika kita semua sebagai warga negara maupun sebagai penguasa tidak mampu mendeteksi gejala perubahan kualitatif yang terjadi pada masyarakat kita, sehingga kita kehilangan daya untuk membuat antisipasi dan inisiatif menghadapi masa depan. Kecerdasan umum yang jelas sekali saat ini cukup jauh lebih tinggi daripada sekitar dua dasawarsa yang lalu tentu membawa serta meningkatnya berbagai tuntutan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dan terutama tuntutan untuk partisipasi sosial-politik. Bangunan atas (upper structure) yang tidak bersesuaian dengan perkembangan masyarakat dan perubahannya itu akan dengan sendirinya berdampak menghambat laju proses demokratisasi itu tidak akan berjalan lancar dan terarah dengan baik jika tidak didukung oleh kesadaran bagian terbesar warga negara yang terdiri dari kaum Muslim akan hak dan kewajiban sosial-politik mereka.

Partisipasi politik itu sendiri sesungguhnya cukup problematik. Jangankan di suatu negeri yang masih sedang berkembang seperti negeri kita, di negeri yang telah maju pun, atau bahkan paling maju semisal Amerika, partisipasi politik itu merupakan problem. Tentang Amerika itu, umpamanya, Robert Dahl mengatakan bahwa rendahnya partisipasi politik di New Haven, Connecticut, bukanlah hal luar biasa, melainkan merupakan kenyataan umum di Amerika yang cukup mengherankan. Dahl mengatakan yang menjadi pusat perhatian rakyat pemilih di New Haven, sebagaimana di Amerika pada umumnya, bukanlah masalah-masalah politik, baik lokal, negara bagian, nasional maupun internasional. Semuanya itu, kata Dahl, berada di pinggiran luar perhatian, minat, kepentingan, dan kegiatan warga masyarakat. Yang menjadi pusat perhatian dalam hidup kebanyakan orang ialah kegiatan-kegiatan primer yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan, tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan sebangsanya. Dua pertiga para pemilih terdaftar menyebutkan perhatian pokok mereka ialah masalah-masalah pribadi tersebut, dan hanya seperlima dari mereka menunjukkan minat kepada politik.1
Kutipan yang relevan dari seorang ahli itu kita kemukakan sebagai peringatan agar kita tidak mempunyai bayangan dan angan-angan yang kurang realistis mengenai kemungkinan bentuk dan tingkat partisipasi politik di negeri kita di masa datang.

Islam dan Partisipasi Politik
Di zaman modern ini, suatu kebiasaan di kalangan kaum Muslim dalam pembicaraan mengenai cita-cita politik ialah menyebutkan masa-masa al-Khulafā’ al-Rāsyidūn (para khalīfah yang bijaksana) sebagai masa-masa teladan. Meskipun cara penglihatan yang dilakukan terhadap masa-masa itu banyak yang merupakan hasil rekonstruksi yang tidak sedikit mengalami idealisasi, namun, menurut Robert N. Bellah, tetap mengandung berbagai alasan yang cukup substantif. Bahkan, menurut ahli sosiologi agama terkemuka ini, sebagaimana telah sering kita kemukakan dan bahas di tempat lain, masyarakat Islam klasik itu modern secara mencolok (remarkably modern) begitu rupa sehingga tidak bertahan lama (hanya sebatas pada masa empat khalīfah pertama saja yang berlangsung sekitar tidak lebih dari tigapuluh tahun), dan “gagal” (maksudnya, sistem itu digantikan oleh sistem lain yang “tidak modern” karena bersifat kekabilahan [tribal] dari tatanan politik rezim Banu Umayyah di Damaskus). “Kegagalan” tersebut karena saat itu belum ada infrastruktur sosial untuk menopangnya.2


Ada beberapa hal yang membuat Bellah menilai bahwa masyarakat Islam paling dini itu modern. Di antaranya, tingkat partisipasi politik yang terbuka dan tinggi dari seluruh jajaran anggota masyarakat. Juga keterbukaan dan kemungkinan posisi pimpinan masyarakat itu untuk diuji kemampuan mereka berdasarkan ukuran-ukuran yang universal (berlaku bagi semua orang), yang dilambangkan dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidak berdasarkan warisan atau keturunan, tetapi berdasarkan pemilihan (apa pun bentuk teknis pemilihan itu pada masa tersebut).3
Pangkal kesadaran yang amat asasi ini cukup umum, dan dicerminkan antara lain dalam diktum, “al-i‘tibār-u fī ’l-jāhilīyat-i bi l-ansāb-i wa ’l-i‘tibār-u li ’l-islām-i bi ’l-a‘māl-i=الاعتبار في الجاهلية بالأنساب والإعتبار للإسلام بالأعمال)  Penghargaan di masa Jahiliyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan di masa Islam berdasarkan hasil kerja [prestasi)”. Dengan perkataan lain, dalam jargon ilmu sosial modern, sistem masyarakat Islam adalah universalistik dan terbuka, karena menggunakan tolok ukur prestasi untuk menilai seseorang; sedangkan masyarakat Jāhilīyah atau yang sejenis itu adalah masyarakat askriptif dan tertutup, karena menggunakan tolok ukur seperti faktor keturunan untuk menilai seseorang. Seperti diungkapkan Ibn Taimiyah, masyarakat Arab Jāhilīyah mengutamakan anggota keluarga para kepala suku (ahl bayt al-ru’asā’), sebagaimana masyarakat Persia mengutamakan anggota keluarga raja (ahl bayt al-mālik).4
Karena keterbukaannya, ciri utama masyarakat universalistik seperti Islam ialah adanya kesempatan bagi partisipasi sosialpolitik yang luas, sedangkan masyarakat partikularistik membatasi partisipasi itu hanya kepada kalangan tertentu yang memenuhi syarat menurut ukuran-ukuran askriptif tertentu.

Dari masa dini Islam itu, tingkah laku politik Umar ibn al-Khaththab, Khalifah II, selalu dirujuk sebagai teladan dalam partisipasi politik yang meliputi seluruh warga. Namun sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Umar (dan Abu Bakr sebelumnya, sebagaimana dituturkan kembali dengan baik sekali oleh Thaha Husayn, seorang sastrawan Arab Mesir modern, dalam bukunya al-Syaykhānī), kurang lebih hanyalah replika dari apa yang telah diteladankan oleh Sunnah Nabi sendiri, sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Suci. Sebab, partisipasi sosial-politik itu sesungguhnya adalah wujud lain ajaran tentang musyawarah atau syūrā, sebagaimana menjadi gambaran ideal dalam Kitab Suci tentang masyarakat kaum beriman, “...dan segala perkara mereka (diselesaikan melalui sistem) musyawarah antara sesama mereka....,” (Q 42:38). Memberi komentar atas firman suci ini, A. Yusuf Ali mengatakan sebagai berikut: “Musyawarah.” Inilah kata-kata kunci dalam surat ini, dan menunjukkan cara ideal yang harus ditempuh oleh seorang yang baik dalam berbagai urusannya, sehingga, di satu pihak, kiranya ia tidak menjadi terlalu egoistis, dan, di pihak lain, kiranya ia tidak dengan mudah meninggalkan tanggung jawab yang dibebankan atas dirinya sebagai pribadi yang perkembangannya diperhatikan dalam pandangan Tuhan... Prinsip ini sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau, baik pribadi maupun umum, dan sepenuhnya diikuti oleh para penguasa Islam masa awal. Pemerintahan perwakilan modern adalah suatu percobaan — yang tidak bisa disebut sempurna— untuk melaksanakan prinsip itu dalam urusan Negara.5

Penegasan Yusuf Ali bahwa Nabi saw. selalu melaksanakan musyawarah dalam segala perkara (selain perkara keagamaan murni, tentu saja) itu sejalan dengan gambaran Thaha Husayn: Adapun bila beliau (Nabi) bermusyarawah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam al- Qur’an, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat perintah (langsung) dari atas, maka hak mereka (para sahabat) itu untuk memberi pendapat dan juga untuk mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya ialah ketika Nabi saw. menempatkan (pasukan) sahabat beliau pada suatu posisi sewaktu Perang Badar, kemudian al- ubab ibn al-Mundzir ibn al-
Jamuh (seorang sahabat) bertanya, “Ini perintah yang diturunkan Allah kepada engkau ataukah pendapat dan musyawarah?” Nabi menjawab, “Ini hanyalah pendapat dan musyawarah.” Maka dia (al- ubab) menyarankan kepada beliau (Nabi) posisi lain yang lebih cocok untuk kaum Muslim, dan beliau menerima sarannya itu.6

Jadi Nabi saw. telah meletakkan dasar-dasar sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi keleluasaan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman. Inilah yang dimaksudkan Bellah bahwa dasar-dasar yang diletakkan oleh Nabi itu kemudian dikembangkan oleh para pengganti (khalīfah) sesudahnya, dan menghasilkan tatanan sosial-politik yang untuk ruang dan waktunya sangat modern.7.

Tingkah laku kepemimpinan politik Umar, misalnya, dilukiskan oleh Thaha Husayn sebagai berikut:
Dan Umar itu jika dihadapkan kepada suatu masalah, ia akan mencarinya dalam Kitab Allah, maka jika ditemukannya pemecahan bagi masalah itu ia akan melaksanakannya tanpa ragu; dan jika tidak ditemukannya dalam Kitab Allah, ia akan mencarinya dalam Sunnah Nabi saw., maka jika ditemukannya di situ pemecahannya ia akan melaksanakannya, juga tanpa ragu; dan jika tidak ditemukannya, ia akan berijtihad dengan pendapatnya sendiri dan ia akan laksanakan apa saja yang akan membawa kebaikan orang-orang Muslim. Dan Umar selalu mengajak bermusyawarah para sahabat Nabi saw. kalaukalau ada pada seseorang dari mereka suatu hadis dari sunnah Nabi, atau kalau-kalau ada sebagian dari mereka bisa memberi saran dengan suatu pendapat yang akan membawa kebaikan dan kesejahteraan kaum Muslim. Umar memerintahkan para gubernur dan para hakim untuk bertindak seperti tindakannya itu, dan agar tidak seorang pun dari mereka berijtihad dengan pendapatnya sendiri kecuali setelah meneliti dengan seksama al-Qur’an dan Sunnah kemudian tidak menemukan di dalamnya sesuatu yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan; saat itulah ia harus berijtihad dan bermusyawarah.8

Masalah Hak Individual dan Sosial yang Tak Teringkari
Adanya tingkat partisipasi sosial-politik yang tinggi dalam Islam itu berakar dalam adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanya tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan para warga, dan hak masyarakat itu atas pribadi para warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Jadi hak dan kewajiban adalah sesungguhnya dua sisi dari satu kenyataan hakiki manusia, yaitu harkat dan martabatnya. Oleh karena itu hak yang mengandung makna kebebasan itu merupakan milik paling berharga manusia, dan kewajiban yang menjadi sisinya itu merupakan kehormatannya. Sebuah adagium mengatakan:
لا شيء أثمن من الحرية ولا سعادة أكبر من القيام بالواجب
Tidak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kebebasan, dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menunaikan kewajiban.
Hak perorangan yang tak teringkari itu berpangkal pada prinsip bahwa pada instansi paling akhir, tanggung jawab manusia kepada Tuhan dalam Pengadilan di Hari Perhitungan (Yawn al- Hisāb), yakni, Hari Kiamat, akan dilakukan sepenuh-penuhnya oleh masing-masing pribadi. Kita dapatkan berbagai gambaran yang menegaskan individualitas tanggung jawab manusia dalam Pengadilan Ilahi itu dalam Kitab Suci. Antara lain:
Wahai manusia! Bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu! Dan waspadalah kamu semua terhadap Hari (Kiamat) ketika tidak sedikit pun seorang orangtua dapat menolong anaknya dan seorang anak dapat menolong orangtuanya; sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terlaksana), maka janganlah kamu semua terkecoh oleh kehidupan duniawi (kehidupan rendah), dan janganlah al-gharūr (kekuatan jahat yang selalu menggoda, yakni, setan) itu sempat menggoda kamu sekalian tentang Allah,” (Q 31:33).
Dan waspadalah kamu semua terhadap Hari (Kiamat) ketika seorang pribadi (jiwa) tidak akan dapat menolong pribadi (jiwa) yang lain, dan ketika dari dia itu tidak akan diterima perantaraan, juga dari dia itu tidak akan diambil tebusan, lagi pula mereka itu semua tidak akan dibantu (oleh siapa pun),” (Q 2:48).
 Wahai sekalian orang yang beriman! Dermakanlah sebagian dari harta yang Kami (Allah) karuniakan kepadamu itu sebelum tiba Hari (Kiamat) yang saat itu tidak lagi ada transaksi, juga tidak ada persahabatan (solidaritas) dan tidak pula ada perantaraan (intersesi). Dan mereka yang kafir (menolak seruan ini) adalah orang-orang yang zalim,” (Q 2:254).

Individualitas tanggung jawab manusia dalam Pengadilan Ilahi itu membawa sisi lain prinsip hidup manusia, yaitu bahwa manusia tidak akan dituntut pertanggungjawaban kecuali atas apa yang pernah ia lakukan sendiri, baik langsung maupun tidak langsung. Maka penting sekali kita menyadari prinsip ini, seperti ditegaskan dalam Kitab Suci:
Belum pernahkah ia (individu manusia) mendapat keterangan tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci Musa, dan (lembaran-lembaran suci) Ibrahim yang setia?! Bahwa tidak seorang pun penanggung beban (dosa) akan menanggung beban (dosa) orang lain mana pun juga, dan bahwa manusia tidak mendapat sesuatu kecuali yang ia usahakan, dan bahwa usahanya itu (kepadanya) akan diperlihatkan, kemudian akan dibalas dengpn sepenuh-penuh balasan, (Q 53:36-41).

Maka salah satu konsekuensi amat penting dari individualitas tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan — suatu tanggung jawab dalam instansi yang final itu — ialah adanya praanggapan bahwa seorang individu berkemungkinan dan mampu memilih sendiri secara bebas keyakinannya tentang apa yang benar dan baik.
Jika kebebasan serupa itu tidak ada baginya, akan menjadi mustahil dan absurd untuk menuntut suatu pertanggungjawaban dari dia atas apa yang diperbuatnya (secara terpaksa). Sebab, tuntutan seperti itu akan merupakan kezaliman dari pihak penuntut, atau akan menjadi perlakuan tidak adil kepada yang dituntut.
Kebebasan memilih dan menentukan sendiri keyakinan pribadi adalah hak yang paling asasi pada manusia. Itulah sebabnya mengapa agama dan keyakinan tidak boleh dipaksakan, sebab pemaksaan dalam hal itu akan dengan sendirinya menghilangkan nilai keyakinan itu sendiri. Hendaknya setiap pribadi memilih keyakinannya dengan bebas dan penuh tanggung jawab atas segala risiko dan konsekuensinya, dan untuk itu manusia telah dibekali dengan kemampuan mengenali kebenaran dari kepalsuan, dan kebaikan dari kejahatan (konsep fithrah dan hati nurani). Di samping itu, jalan hidup yang benar itu sendiri telah dibuat jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan bagi seorang individu untuk terjebak ke dalam tindakan “salah pilih”, asalkan ia betul-betul menggunakan kemampuan akal dan hati nurani untuk membuat pertimbangan:
Kalau seandainya Tuhanmu (wahai Muhammad) menghendaki, maka pastilah beriman semua orang di bumi; karena itu apakah engkau akan memaksa umat manusia sehingga mereka menjadi beriman semua?” (Q 10:99).
Tidak ada paksaan dalam agama; kebenaran telah jelas berbeda dari kepalsuan. Barang siapa menolak tirani kejahatan dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang dengan tali yang kukuh yang tidak bakal putus. Allah itu Maha Pendengar dan Mahatahu,” (Q 2:256).
Katakan (wahai Muhammad), ‘Kebenaran itu datang dari Tuhanmu sekalian.’ Maka barang siapa menghendaki, biarlah ia percaya (beriman); dan barang siapa menghendaki, biarlah ia menolak (kafir). Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menyediakan neraka untuk mereka yang zalim (jahat)...,” (Q 18:29).
Janganlah engkau (masing-masing) pribadi mengikuti sesuatu yang engkau tidak mengerti mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semuanya itu, akan dituntut pertanggungjawaban atas sesuatu (yang kau ikuti) itu.” (Q 17:36).

Begitulah beberapa dasar hak kebebasan pribadi untuk memilih keyakinan dan kegiatan sesuai dengan keyakinan itu, sebagaimana diajarkan dalam Kitab Suci. Jika hak itu tidak terdapat dalam masyarakat atau negara, maka setiap individu warga negara itu berkewajiban menuntutnya, sejalan dengan diktum “al-haqq-u yuthlab-u lā yu‘thā” (Hak itu dituntut, tidak diberikan). Pasalnya, dalam teori politik dan kekuasaan, boleh dikatakan tidak ada penguasa yang akan dengan suka rela memberikan kepada rakyatnya hak-hak yang menjadi milik mereka. Sebab, pemberian hak-hak serupa itu akan dapat berarti pengurangan bagi kekuasaan mereka. Dan menuntut hak pribadi yang asasi itu merupakan salah satu bentuk partisipasi sosial-politik yang amat penting dalam suatu tatanan masyarakat.
Jika kebebasan telah dituntut namun tidak juga terwujud, maka individu bersangkutan lepas dari tanggung jawabnya atas perbuatan dan sikap yang dilakukannya secara terpaksa:
Sesungguhnya mereka yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah itu telah menciptakan kepalsuan. Mereka itulah kaum pembohong. Yaitu siapa saja yang ingkar kepada Allah sesudah beriman, kecuali yang terpaksa namun hatinya mantap dalam iman. Tetapi barang siapa membuka dadanya untuk kekafiran, maka mereka akan mendapat murka dari Allah, dan bagi mereka adalah azab yang besar,” (Q 16:105-106).

Jadi ditegaskan dalam firman itu bahwa tiadalah tanggung jawab
jika orang dipaksa atau terpaksa. Tanggung jawab hanya ada pada orang yang “membuka dadanya” (artinya, bersikap bebas dan sukarela) terhadap sesuatu yang ia yakini. Namun demikian, itu semua tidaklah berarti individu manusia dapat dibiarkan atau diperbolehkan bertindak semau-maunya.

Pilihan kepada suatu sistem keyakinan yang dilakukan secara bebas sesuai dengan hak asasi itu mengandung dalam dirinya kewajiban untuk mewujud-nyatakan tuntutan keyakinan itu dalam amal perbuatan atau tindakan. Tanpa usaha perwujud-nyataan itu, suatu keyakinan tidak memiliki makna apa-apa, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain.

Sekarang, begitu seorang individu melangkahkan dirinya dari tahap keyakinan ke tahap perbuatan atau tindakan, maka ia tidak lagi berada semata-mata sebagai individu yang lepas dan bebas sepenuhnya. Ia kini berada dalam jaringan pergaulan dengan individuindividu lain, dan ia harus memperhitungkan mereka itu dalam perbuatan dan tindakannya. Karena itu tindakannya haruslah bernilai “saleh” (shālih), yang makna etimologisnya ialah “cocok” atau “sesuai”, yakni, antara lain, cocok dan sesuai dengan hak dan kepentingan individu-individu lain itu, dengan bukti membawa hasil kebaikan bersama.
Agar ketentuan itu terwujud, maka mau tidak mau seorang individu, dalam hubungannya dengan individu yang lain, harus memperhatikan dan mempertimbangkan hak individu itu, sehingga terjalinlah hubungan antarindividu yang disusun melalui pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing secara seimbang.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hak dan kewajiban adalah dua sisi dari kenyataan asasi manusia. Hak merupakan milik primordial seorang individu, dan kewajiban merupakan wujud pembatasan hak individual itu oleh hak individual orang lain. Ini digambarkan dalam sebuah diktum terkenal, “hurrīya-u ’l-mar’I mahdūd-un bi hurrīyat-i siwāh-u” (Kebebasan seorang individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya).
Maka amal perbuatan selalu bersifat sosial, sekalipun titiktolaknya ialah motivasi yang selalu bersifat pribadi. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari biasa terjadi pembicaraan tentang motivasi seseorang dalam perbuatannya, namun sebenarnya mustahil kita mengurusi motivasi itu, karena motivasi atau niat dengan sendirinya berada dalam lubuk hati yang bersangkutan (“Dalam laut dapat
diduga, dalam hati siapa tahu?”). Karena itu pada tingkat sosial kita berurusan dengan tindakan-tindakan lahiriah lebih banyak daripada dengan tindakan-tindakan batiniah.
Namun demikian, dan lebih jauh, semua prinsip tersebut tidaklah berarti dibenarkannya membiarkan masing-masing individu dalam masyarakat untuk bertindak sesuka hatinya. Justru aspek amat penting dari tanggung jawab itu, yang merupakan hak sosial atau masyarakat terhadap individu-individu warganya, ialah agar masing-masing orang bersedia meletakkan dirinya dan amal perbuatannya dalam jaringan pengawasan masyarakat (social control). Sebab, suatu kenyataan yang tidak mungkin diingkari ialah keterbatasan kemampuan seorang individu manusia untuk menangkap dan memahami persoalan hidup ini secara tepat dan
benar. “... kamu tidaklah diberi pengetahuan melainkan sedikit saja,” (Q 17:85). Karena itu selalu ada kemungkinan, persepsi seseorang tentang yang benar dan salah serta yang baik dan buruk, itu keliru. Dan hal itu lebih-lebih lagi akan menjadi serius jika yang bersangkutan kebetulan adalah seorang penguasa.

Dari situlah antara lain berpangkal ajaran dan perintah untuk bermusyawarah, di mana para warga saling memberi isyarat atau saran tentang apa yang benar dan baik. Dan ini menjadi pangkal adanya hak masyarakat terhadap individu, yaitu individu itu harus memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan masyarakat. Maka, selanjutnya, guna memungkinkan adanya proses musyawarah yang sehat dan benar, dalam masyarakat diperlukan adanya mekanisme dan tatanan yang memungkinkan terjadinya dialog dan tukar pikiran secara bebas, dalam kerangka saling memberi dan menerima saran tentang apa yang benar dan baik. Inilah yang menjadi salah satu maksud atau tafsir tentang apa yang disebut dalam surat al-‘Ashr ... dan saling berpesan sesamanya tentang
kebenaran...,” (Q 103:3). Dan itu pula dasarnya sehingga bahkan Nabi saw. pun, dalam urusan kemasyarakatan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, juga menjalankan musyawarah, sesuai dengan petunjuk Ilāhī, “... Dan bermusyawarahlah engkau (wahai Muhammad) dengan mereka (para sahabatmu) dalam segala perkara (kemasyarakatan); maka jika engkau telah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Allah,” (Q 3:159).
Jadi, adanya musyawarah adalah hak masyarakat terhadap para warganya, dan para warga itu mempunyai kewajiban untuk mengindahkan dan melaksanakan hasil musyawarah itu dengan penuh pasrah dan tawakal kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Sikap penuh pasrah dan tawakal kepada Allah itu amat diperlukan, karena mungkin sekali, dan memang acapkali terjadi, pelaksanaan hasil suatu musyawarah bersama itu berat, terutama bagi yang kebetulan “kalah” (yang juga dialami oleh Nabi sendiri dalam musyawarah untuk menentukan strategi Perang Uhud). Tetapi sikap pasrah dan tawakal kepada Yang Mahakuasa itu juga amat diperlukan, karena usaha bersama menciptakan masyarakat yang baik selalu menuntut ketabahan, keuletan, jiwa perjuangan dan pengorbanan, kemampuan melihat masa depan yang jauh, dan kesediaan menunda banyak kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Maka dari itu, bergandengan dengan ketentuan “saling berpesan sesamanya tentang kebenaran” tersebut tadi ialah ketentuan “saling berpesan sesamanya tentang kesabaran,” (Q 103:3). Dan barangkali pesan kesabaran atau ketabahan itu meliputi keharusan membuat usaha atau gerakan bersama yang tersusun, dengan perencanaan dan strategi jangka panjang dan jangka pendek.
Dilihat dari perspektif tersebut, surat al-‘Ashr yang amat dikenal dan dihafal kaum Muslim itu meringkaskan prinsip tentang kehidupan yang akan membawa kepada kebahagiaan, yaitu iman yang menjadi sumber dasar bagi adanya komitmen kepada nilainilai luhur, kemudian amal yang saleh sebagai pengejawantahan sosial komitmen itu, lalu harus ada pengawasan sosial dalam tatanan yang memungkinkan adanya kebebasan saling menyatakan apa yang benar dan baik, dan diakhiri dengan saling mengingatkan di antara sesama warga untuk tabah dan sabar dengan menanamkan orientasi masa depan yang jauh, di mana masing-masing individu dituntut kesediaannya untuk mengorbankan kepentingan dirinya sendiri demi kepentingan bersama.

Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian itu kiranya dapat disimpulkan, partisipasi sosial-politik bagi kaum Muslim adalah berakar dalam ajaran agamanya, dan bersangkutan dengan prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban masing-masing orang dalam masyarakat itu. Partisipasi itu juga merupakan bagian dari perintah Allah untuk  al-amr-u bi ’l-ma‘rūf-i wa ’l-nahy-u an-i ’l-mankar-i” (menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan) yang cukup banyak disebutkan dalam Kitab Suci. Berkenaan dengan ini, salah satu ilustrasi tentang masyarakat kaum beriman ialah sebagai berikut: “Kaum beriman lelaki dan kaum beriman perempuan itu adalah sebagian mereka pelindung bagian yang lain: mereka saling menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, menegakkan salat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah serta Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan mendapat rahmat Allah. Sesungguhnya Allah itu Mahamulia lagi Mahabijaksana,” (Q 9:71).
“... Sebagian dari mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain” adalah ungkapan Kitab Suci yang persis sejalan dengan sabda Nabi saw. “Semua kamu adalah pemegang tanggung jawab dan setiap pemegang tanggung jawab akan ditanya tentang tanggungannya. Atau, dalam istilah yang telah dikenal, “setiap rā‘ī akan diminta pertanggungjawabannya atas ra‘īyah (rakyat)-nya.”
Maka sesuai dengan fungsinya sebagai pemegang tanggung jawab atau rā‘ī, setiap pemerintah yang berkuasa wajib memperhatikan kesejahteraan tanggungan atau ra‘īyah (rakyat)-nya dengan mengusahakan kesejahteraan mereka itu sebagaimana sering sekali dikemukakan contohnya dari perbuatan Khalifah Umar.9
Maka seorang Muslim harus aktif melibatkan diri dalam usaha bersama mengembangkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dan inilah pangkal tolak partisipasi sosial-politiknya. Etos keaktifan dalam masyarakat itu merupakan salah satu sifat utama masyarakat Islam, yang, seperti diamati oleh Bellah, bersesuaian dengan etos zaman modern.10
=============
Catatan kaki:
1. Robert A. Dahl, Who Governs? (New Haven & London: Yale University Press, 1978) h. 277. Berikut ini kutipan langsungnya:
“... in New Haven as in the United States generally one of the central facts of political life is that politics — local, state, national, international — lies for most people at the outer periphery of attention, interest, concern, and activity. At the focus of most man’s lives are primary activities involving food, sex, love, family, work, play, shelter, comfort, friendship, social esteem, and the like. Activities like these — not politics — are the primary concerns of most men and women. In response to the question, ‘What things are you most concerned with these days?’ Two out of every registered three voters in our sample cited personal matters, health, jobs, children, and the like; only about one out of Five named local, state, national or international affairs.”

2 “When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern.... In a way the failure of the early community, the relapse into pre-Islamic principles of social organization, is an added proof of the modernity of the early experiment. It was too modern to succeed. The necessary social infrastructure did not yet exist to sustain it.... The effort of modern Muslims to depict the early community as a very type of equalitarian participant nationalism is by no means entirely an unhistorical fabrication.” (Robert N. Bellah “Islamic Tradition and the Problem of Modernization” dalam Beyond Belief [New York: Harper and Row, 1970], h. 150-151).

3. It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank-and-file members of the community. It is modern in the openness of its leadership position to ability judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary leadership. (Ibid.)

4. Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah, 4 jilid (Riyadl: Maktabat al-Riyadl
al-Haditsah, t.t), jil. 3, h. 269.
5. A. Yusuf Ali, Holy Quran Text, Translation and The Commentary (Jeddah: Dār al-Qiblah for Islamic Literature, 1403 H.), h. 1317, catatan 4579.

6. Thaha Husayn, al-Syaykhānī (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1966), h. 49.

7. Lihat catatan No. 2 di atas. Dalam teori sosiologi modern, khususnya yang dikembangkan oleh Talcott Parsons dari Amerika (Universitas Harvard), dikenal apa yang disebut “pattern variables” yang membedakan antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Variabel pola partikularisme dan universalisme, misalnya, mengidentifikasi masyarakat tradisional sebagai masyarakat yang berpola partikularistik dan askriptif (seperti penentuan nilai seseorang dari faktor keturunan) dan masyarakat modern sebagai masyarakat yang berpola universalistik (seperti penentuan nilai seseorang melalui prestasi, bukan keturunan, dan lain-lain). Maka, menurut konsep itu, tradisional dan modern bukanlah masalah waktu (dulu dan sekarang) atau tempat (timur dan barat, misalnya), melainkan masalah variabel pola yang dominan. Robert Bellah melihat tatanan masyarakat Islam klasik dalam perspektif teori ini. Maka dapatlah dibenarkan penilaiannya bahwa masyarakat Islam klasik itu adalah “modern”, khususnya, seperti dikemukakan dalam pembahasan, jika dilihat dari tingginya tingkat partisipasi sosial-politik seluruh jajaran anggota masyarakatnya tanpa diskriminasi berdasarkan pertimbangan askriptif.
8. Husayn, h. 230.
9. Lihat, misalnya, Husayn, hh. 198-9.
10. The dominant ethos of this community was this-worldy, activist, social
and political, in these ways also closer to ancient Israel than to early Christianity,
and also relatively accessible to the dominant ethos of the twentieth century.
(Bellah, h. 152).
(Dibaca dan ditulis kembali ke dalam Word dari karya Dr. Norcholis Madjid pada halaman 1199)