Senin, 21 Januari 2019

DINAMISASI NU


Dinamisasi Nahdlatul Ulama dalam kehidupan sosial dan politik 
Oleh: Saniman*
Mukoddimah
Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi sosial yang berperan dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia, sejak masa pra kemerdekaan hingga saat ini.
Dalam beberapa tahun ini, jumlah warga NU atau yang mengaku Nahdliyin disebut-sebut mencapai sekitar 60 atau 70 juta. Bahkan beberapa lembaga survei menyebut jumlah Nahdliyin mencapai 90 juta hingga 120 juta orang. Organisasi tsb. merayakan 93 tahun kelahiran pada 31 Januari 2019 tahun ini, (dan Kalender Hijri sudah mencapai 96 tahun pada 16 Rajab 1440 H).
Dalam perjalanannya, NU, sempat menghadapi dilema untuk bergerak sepenuhnya di bidang sosial atau ikut terjun dalam kehidupan politik. Sempat menyatakan kembali ke Khittah NU dan tidak terjun ke persaingan politik, Nahdlatul Ulama kemudian diwakili beberapa partai setelah kebijakan Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1982 di bawah pemerintah Presiden Soeharto.
Masa awal
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, sebagian kalangan pesantren, yang selama ini membela keberagaman, dan menolak pembatasan bermazhab. Karena sikap yang berbeda itu, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925 dan tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut (KH. A. Busyairi Haris, Drs; M.ag, Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, 2010, cet. 1, h. 102-103).
Raja Ibnu Saud belakangan mengurungkan niatnya, dan di Mekah --hingga kini-- bebas dilaksanakan ibadah yang sesuai dengan mazhab masing-masing, berkat nota protes kalangan pesantren, yang dikirimkan kepada Raja Saud tertanggal 5 Syawwal 1346 H dan mendapat jawaban memuaskan dari penguasa kedua Tanah Haram tersebut (Aguk Irawan MN, Penaklul Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Depok: Global Media Utama, 2012, cet 1, h. 263- 273). Itulah peran kalangan pesantren internasional yang pertama yang telah sepakat membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama --Kebangkitan Ulama-- pada 31 Januari 1926 (Ahad Pon, 16 Rajab 1344 H) dengan dua tokoh utamanya: Kiai Hasyim Asy'ari (Wafat 25 Juli 1947)  dan Kiai Wahab Hasbullah (Wafat 29 Desember 1971).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar dengan Khittah NU sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Kebangsaan dan Kemasyarakatan
Pada masa penjajahan, NU bersama dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam lainnya --sepeti Serikat Dagang Islam dan Muhammadiyah-- secara terbuka menentang kolonialisme. NU antara lain mengeluarkan pernyataan yang menolak kerja rodi maupun milisi.
Cikal bakal NU --yang disusun oleh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah-- memang berupa organisasi pergerakan seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian dua organisasi lain berdiri, yaitu Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Pedagang) dan sekolah Tashwirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri. Ketiganya menjadi latar belakang kebangkitan kaum santri sebelum NU berdiri. Nilai-nilai ketiga lembaga itu yang menjadi sebuah dasar untuk NU ke depan.
Dengan nilai-nilai tersebut, maka politik kebangsaan dan kerakyatan di Nahdlatul Ulama tidak bisa ditawar-tawar lagi. NKRI sabagai harga mati tidak perlu dipersoalkan lagi, telah mengakar pada diri kaum Nahdliyin. Kemudian politik kerakyatan, bagaimana memberdayakan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat madani yang kokoh adalah tujuan yang hendak dicapai.
Partai politik
Pada tahun 1952, Nahdlatul Ulama meninggalkan Masyumi dan setelah melalui perdebatan internal yang hangat, NU memproklamasikan diri sebagai partai politik pada tahun 1954. Tarik menarik kondisi sosial politik saat itu memang membuat NU terjebak dalam pusaran politik praktis dengan segala untung-ruginya. Setahun kemudian, dalam pemilu 1955, Partai Nahdlatul Ulama berhasil meraih suara terbesar ketiga dari 29 peserta pemilu: di bawah PNI dan Masyumi namun di atas PKI serta PSI (Partai Syarekat Islam).
Dalam pemilu 1971, NU bahkan berhasil berada di urutan kedua, di bawah Golkar yang menikmati sejumlah fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.
Realitas ini menunjukkan ketika terjun menjadi partai politik resmi, banyak lembaga-lembaga di NU, misalnya tentang dakwah dan yang lainnya menjadi terbengkelai. Sehingga ada yang menilai, bahwa NU terjun dalam politik praktis tidak (atau: kurang) bermanfaat dalam pengembangan visi kebangsaan dan kerakyatan.
Kembali ke khittah
Gagasan NU kembali ke khittah 1926 sebenarnya sudah mulai muncul pada Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun 1979, setelah rejim Soeharto tahun 1975 menetapkan asas tunggal dalam partai politik dengan menyederhanakan peserta pemilu menjadi: Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedang NU berfusi pada PPP, dengan 56 anggota NU dari total 99 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, dan sudah muncul keinginan untuk keluar dari partai politik berlambang Ka’bah tersebut.
Dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 dan keluar dari area politik praktis.
Sejalan dengan reformasi politik pasca jatuhnya Presiden Soeharto, muncul Partai Kebangkitan Bangsa, PKB, yang merupakan saluran politik dari orang-orang dengan latar belakang NU. Namun, di tingkat akar rumput terjadi persaingan keras dikalangan warga NU yang ada di PPP dan PKB, yang nyaris (kalau tak dikatakan: terjadi) bentrok fisik dan narasi di podium yang nihil etika, sehingga warga NU terbelah gegara polah politikus yang kokoh mempertahankan status quo di salah satu partai (-nya orang NU) tersebut.
Tokoh sentral Penggerak NU
Tahun 1984, NU memilih Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kepemimpinan Gus Dur di NU juga mengantarkan dia sebagai tokoh nasional dengan gagasan toleransi kebangsaaan yang menjalin hubungan antar umat beragama.
Gus Dur bahkan kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 pada (20 Oktober) tahun 1999, sebelum dijatuhkan oleh MPR pada (23 Juli) tahun 2001. Atau menjabat 1 tahun 9 bulan 3 hari; atau hanya 642 hari saja. Warga NU di saat kepresidenan Gus Dur benar-benar mendapat anugerah dan kenikmatan besar, sehingga orang yang tidak sejalan dengan Toriqoh (laku) NU bersikap nyinyir.
Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu bergumul dengan orang-orang yang tidak sejalan atau tidak mengerti khittah NU. Pernah negara ini akan terseret ke Blok kiri (Blok Timur yang berhaluan komunis), maka NU menolak kehadiran PKI. Maka PKI meradang menuduh NU sebagai kelompok reaksioner, kontra revolusi bahkan para kiai dituduh sebagai Setan Desa. Jalan tengah menyelamatkan bangsa dan Republik ini dipilih NU secara ideologis, karena itu riosiko apapun dan pengorbanan apapun telah ditempuh. Berbagai tuduhan dialontarkan mulai dari tuduhan kafir, tradisional, irasional dan reaksioner. Tetapi tuduhan itu tidak tepat dan tidak relevan sebab NU punya khittah (garis sendiri), punya strategi budaya sendiri, yang kebetulan beberapa hal sejalan atau bertentangan dengan pemerintah atau dengan organisasi lain. Semua peristiwa itu baik prestasi maupun tantangannya dicatat oleh sejarah, NU yakin bahwa hari-demi hari sejarah akan terus membuktikan relevansi dan tepatnya langkah NU itu, sehingga para pengkritik yang sekadar mengkritik itu akan kehilangan argumen dan terpaksa mengakui kebenaran sikap yang diambil NU.
Selanjutnya tahun 1990-an NU menyelenggarakan Rapat Akbar Kesetiaan pada Pancasila. Demikian juga NU menolak rezim Soeharto yang militeristik, tetapi NU mendorong negara untuk memperkuat militer dan badan intelijennya. Kalu tidak negeri ini seperti sekarang ini. Kedaulatan negara dilanggar tetapi tentara tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki alutsista yang memadai.
Sebagai tanggungjawab kebangsaan mempertahankan Republik hasil Proklamasi dengan beaya berapapun pertahanan negara harus diperkuat. Semua dokumen sejarah, bahwa sikap politik kebangsaan dan kenegaraan NU diambil bukan berdasarkan kepentingan jangka pendek. (ABDUL MUN’IM DZ, Politik Kebangsaan NU)
Politik bagi NU
           Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/politik.html), politik diartikan sebagai: (1). pengetahuan mengenai ketatanegaraan, (2). segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, (3). cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Sedangkan menurut definisi/ takrif, bahwa politik (Yun: politikos; Arab: siyasah) adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara (lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik). Sedangkan para ahli memberikan takrif politik dengan berbagai redaksi yang intinya tentang kekuasaan untuk mengatur pemerintahan (lihat: https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-politik.html ).
           Politik bagi NU adalah politik tingkat tinggi, bukan tingkat rendahan. Maksudnya adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan. Itulah yang dipegangi NU. Bukan politik kekuasaan atau politik praktis. (https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-4159235/gus-mus-ingatkan-nu-tak-berurusan-dengan-politik-praktis).
Memang, NU harus berpolitik. Tapi, NU tidak berpolitik praktis, sebagaimana pesan Rois Am PBNU KH. Sahal Mahfudh (al-mukarram). Sebab, berpolitik pada hakikatnya adalah bentuk pengkaderan NU kepada warganya, sehingga NU tidak dijadikan kendaraan oleh orang lain. (Ahmad Baso, “Agama NU” untuk NKRI, Pustaka Afid, Jakarta, cet.1, 2013, h. 81-84).  Di bawah ini beberapa langkah berpolitik bagi warga NU agar tidak terjebak pada politik rendahan:
1.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
2.     Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3.     Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
7.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.
8.     Perbedan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9.     Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. (H.A. Mustofa Bisri, 3 Pedoman Warga NU, Yayasan Mata Air, Jakarta, cet.2, 2010, hal. 53 - 56; atau dapat dibaca di: http://www.nu.or.id/post/read/94013/pedoman-berpolitik-warga-nu )
Kecerdasan Pilihan
           Tanpa mengurangi rasa hormat, ada baiknya tips dibawah ini dapat dipakai pertimbangan menentukan pelihan untuk memilih seorang pemimpin (organisasi, pemerintahan, atau lainnya), sbb.:
1.     Visi- misi dari calon pemimpin. Setiap visi-misi yang diketengahkan/ dipaparkan dalam debat tentunya semuanya bagus. Hanya perlu dicermati mana di antara calon yang berani menandatangani kontrak untuk melaksanakan visi-misinya bila terpilih nanti.
2.     Rekam jejak dari calon pemimpin. Mana di antara calon yang bersih dari korupsi dan mendukung adanya pemerintahan bersih dari KKN.
3.     Pemimpin yang dapat merangkul berbagai suku dan agama/ kepercayaan. Karena Indonesia ini negeri yang majmuk, banyak suku, etnis dan agama, sehingga diharapkan pemimpin yang terpilih adalah yang dapat mengayomi rakyat.
4.     Pemimpin yang sederhana, berbicara apa adanya, dan akrab dengan rakyat jelata. Ini dapat terlihat perilaku kesehariannya tanpa basa-basi.

Jika kita mampu berpikir sedikit cerdas dengan tips tersebut, kita akan memiliki seorang pemimpin yang (paling tidak mendekati) sempurna. Amin.
=========
Referensi:
Abdul Mun’im DZ, Politik Kebangsaan NU.
Aguk Irawan MN, Penaklul Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Depok: Global Media Utama, 2012, cet 1.
Ahmad Baso, “Agama NU” untuk NKRI, Jakarta: Pustaka Afid, cet.1, 2013.
----------------, Pesantren Studies 4a, Jakarta: Pustaka Afid, 2013, juz I.
Busyairi Haris, Drs, M.Ag, KH, Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, 2010, cet. 1.
Mustofa Bisri, 3 Pedoman Warga NU, Jakarta: Yayasan Mata Air, 2010, cet.2.
            _____________________________________________________
*Saniman el-Kudusi, anggota LTN (Lajnah Ta’lif wan Nasyr) NU Kudus dan Syuriyah MWC NU Kaliwungu, Kudus.