Rabu, 27 Februari 2019

MENYONGSONG SATU ABAD NU


Menyongsong Satu Abad: NU dalam Pergumulan
Oleh: Saniman el-Kudusi

Perubahan zaman yang demikian cepat diluar prediksi banyak kalangan, wajib disikapi dengan bijak. Salah satunya adalah mencari formula agar keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) lestari dengan baik tanpa membanggakan diri atas jumlah warga yang banyak.
Dalam memasuki era milenial seperti sekarang ini, gerakan dan khidmat NU juga harus menyesuaikan diri dengan tantangan yang ada, tanpa tergerus oleh pengaruh yang datang dari luar yang justru menjauh dari nilai ke-Aswaja-an yang selama ini menyatu.
Strategi gerakan dakwah NU yang semestinya menjadi titik sentral bagi pemangku kebijakan dalam ormas terbesar di negeri (khususon Kudus dengan tagar GusJiGang-nya) ini adalah pada generasi milenial. Pengabaian terhadap mereka akan berakibat fatal bagi kelangsungan NU di masa depan. NU hanya akan menjadi pajangan sejarah Indonesia saja.
Ada beberapa Tantangan yang harus menjadi prioritas garapan bagi NU adalah:
Pertama, Pesantren:
           Bahan baku (herbal) NU adalah pesantren dengan beberapa radiknya (Kiyai, Pondok, Masjid dan santri). Nahdlatul Ulama dapat diibaratkan layaknya sebuah pesantren besar. Ada beratus ulama dan berjuta santri di dalamnya yang saling terhubung satu sama lain. Sabda kiai menjadi kekuatan organisasi terbesar di dunia ini. Karenanya, dalam pemaknaan lebih luas, semua Nahdliyyin disebut juga sebagai santri. Santri KH. Hasyim Asy'ari, santri KH. Wahab Hasbulloh, santri KH Bisri Sansuri, dan santri para pendiri serta masyayikh Nahdlatul Ulama.  Santri sebesar ini membutuhkan penangan serius dari pengurus/ pengelola pesantren sesuai perkembangan zaman sebagai yang terungkap dalam: Al-Muhafazhatu alal-Qadimis Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (Melestarikan hal lama yang masih relevan dan menerima hal baru yang paling sesuai/ layak diterapkan). Ini dapat tercapai bila antar pengurus terjadi kesepahaman/ ittifaq dalam pengelolaannya. Tanpa ini pesantren akan bubar pada tahun 2030.
           Kedua, Jaringan Santri
           Atas dasar kaidah di atas --Al Muhafazhah--, pemikiran NU sebenarnya mampu mengakomodir perkembangan zaman meski dengan fasilitas kitab klasik yang dikaji dalam pesantren. Tengoklah para pendiri NU di masa awal yang telah merintis dan menyediakan wadah organisasi perjuangan, baik duniawi --kegiatan ekonomi, pengetahuan, pendidikan-- maupun yang bersifat ukhrowi --kegiatan tarekatan, istighatsah-- dan lainnya, mampu mensinergikan kaum muda dan tua dari berbagai kalangan dan lapis sosial yang berbeda. Apalagi saat ini perkembangan serbadigital tak lagi dapat dibendung oleh benteng apapun. NU wajib menggunakan daya juangnya sekuat tenaga, jika tak mau melihat generasi muda NU tercebur dalam arus yang justru andil memusuhinya.
NU --tidak boleh tidak-- wajib menyiapkan diri pada warganya dalam menghadapi perubahan teknologi dan revolusi digital yang memberi banyak kemudahan, tetapi sekaligus mengancam peran-peran kemanusiaan. Inilah tantangan yang harus dipikirkan oleh NU. Bagaimana menumbuhkan literasi digital dan menyiapkan jutaan petani, buruh, dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan menghadapi perubahan yang semakin meminimalisasi peran-peran mereka. Nasib jutaan orang, tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Inilah peluang sekaligus tantangan NU yang harus kita siapkan hari ini agar dapat terus berperan di masa mendatang.
Karena itu, tugas para pengurus NU makin berat. Tantangan internal dan eksternal yang mengharuskan warga nahdliyyin waspada. Gerakan memecah-belah Indonesia dilakukan dengan cara membenturkan antar warga NU, karena NU adalah organisasi sosial keagamaan yang paling istiqomah dalam mempertahankan Pancasila dan NKRI. Di samping hadirnya organisasi tran-nasional yang berusaha mengobok-obok keutuhan NKRI yang nyata-nyata bersikukuh hendak mengganti idiologi negara: Pancasila. (Sekian semoga manfaat).