Rabu, 01 Mei 2024

Mengkritisi Konsep 3 Tauhid Ibnu Taymiyah

 Menolak Konsep Tauhid Wahabi***

Oleh: H. Zainul Hasan (Wakil Ketua PCNU Pamekasan)

Prolog

Saat ini ajaran dan paham Wahabi, sudah menyebar ke mana-mana khususnya di media sosial. Jika dibuka di pencarian google (google search), misalnya, maka akan muncul sederet informasi yang tersaji secara masif melampaui informasi ajaran dan paham mainstream keagamaan yang sudah mapan. Tatanan kehidupan sosial dan doktrin keagamaan yang telah dibangun secara budaya mulai dari Wali Songo bisa “ambruk” jika tidak diantisipasi secara militan. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dipresentasikan ajaran mereka, dan selanjutnya akan diberi tanggapannya.

***

Doktrin Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, Asma’ dan Sifat.

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid, mereka menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al-Asma Was Shifat. Sebelumnya, istilah ini tergolong asing di telinga kaum muslimin Indonesia, meskipun konsep tauhid sudah mereka pahami dengan sangat baik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah).

Tauhid Rububiyyah adalah menauhidkan Allah dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Lihat Al-Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Tauhid Uluhiyyah adalah menauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Lihat Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah menauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).

Konsep ajaran di atas berdasarkan pendapat panutan utama Wahabi, yaitu Ibnu Taimiyah yang hidup pada abad ke-8 (delapan) hijriah.

Sekilas –secara akademis—seakan-akan pembagian tauhid menjadi tiga ala Wahabi di atas, tidak ada masalah, karena setiap muslim memang wajib meyakini seluruh yang terkandung dalam makna ketiga pembagian tersebut. Tetapi patut dicurigai ada agenda tersembunyi (hidden agenda) yang ingin mereka lakukan. Oleh karena itu, dalam rangka menolak ajaran mereka, di bawah ini akan dicoba dipaparkan kelemahan dan kecerobohan mereka.

****

Bantahan Terhadap Doktrin Tauhid Wahabi

Pertama, perbedaan pendapat antara kaum wahabi dan suni (Ahlussunnah wal Jama’ah) diawali dari penafsiran dan penggunaan antara kata “rabb” dan “ilah”. Kaum Wahabi menafsirkan secara kaku dan sembrono dengan membuat distingsi yang berdiametral antara “rabb” dan “ilah”. Dikatakan oleh mereka, kata “rabb” digunakan untuk tauhid dalam penciptaan, dan kata “ilah” digunakan untuk tauhid dalam ibadah.

Bagi kaum suni, meskipun lafadh keduanya berbeda, arti leksikalnya juga berbeda, tetapi madlul (pengertian) dan maqshud (makna yang dituju) dari keduanya adalah sama, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam logika paling sederhana dapat diketahui bahwa sosok yang mencipta dan merawat alam semesta (aspek rububiyah) adalah satu-satunya sosok yang layak disembah (aspek uluhhiyah) dan demikian pula mustahil seorang manusia berakal akan melakukan penyembahan (aspek uluhiyah) pada sosok yang sama sekali tak terlibat dalam penciptaan dan perawatan alam semesta (aspek rububiyah).

Bukti bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, karena dalam kata “rabb” juga mengandung makna “ilah” (Tuhan yang disembah), sebagaimana dalam 3 (tiga) momentum peristiwa kehidupan manusia berikut:

Ketika manusia berada di alam ruh, terjadilah dialog antar ruh dengan Tuhannya: QS. Al-A’raf (7): 172.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا

Tafsir Ibnu Katsir dan al-Zuhaily dalam tafsir al-Idhah menafsiri ayat tersebut sebagai berikut:

يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّهُ اسْتَخْرَجَ ذُرِّيَّةَ بَنِي آدَمَ مِنْ أَصْلَابِهِمْ، شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّ اللَّهَ رَبُّهُمْ وَمَلِيكُهُمْ، وَأَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ. كَمَا أَنَّهُ تَعَالَى فَطَرَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

Artinya: Allah SWT mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan anak keturunan Adam dari punggung mereka, bersaksi terhadap diri mereka sendiri bahwa Allah adalah Tuhan, Penguasa mereka, dan Rabb tidak ada Tuhan selain-Nya. Sebagaimana Dia telah menjadikan fitrah atas pengakuan terhadap Rabb (baik sebagai pencipta maupun “ilah”).

Al-Jazairy (kelompok wahabi) dalam karya tafsirnya ”Aysar al-Tafasir”, menyatakan:

أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ: أَيْ بِاللهِ تَعَالَى رَبُّهُمْ وَإِلاَهُهُمْ وَلَا رَبَّ لَهُمْ غَيْرُهُ وَلاَ إِلَهَ لَهُمْ سِوَاهُ.

Artinya: Mereka bersaksi terhadap diri mereka sendiri bahwa Allah adalah Rabb dan Ilah mereka. Tiada Rabb (Tuhan pencipta) selain Allah, dan tidak ada “Ilah” (Tuhan yang disembah) selain-Nya. Oleh karena itu, antara “rabb” dan “ilah” memiliki konotasi makna yang sama.

Berdasarkan kesamaan makna konotatif itulah, maka cukuplah jika ruh ditanya:

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

Sebab, jika, misalnya, antara “rabb” dan “ilah” dianggap berbeda, maka ruh akan ditanya:

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ  وَاِلٰهِكُمْ

Imam al-Haddad dalam “Misbahul Anam wa Jala’ Al-Zholam fi Raddi Syibhil Bida’i An-Najdi allazhi Adhalla biha Al-Awam”, menyatakan:

توحيد الألوهية داخل في عموم توحيد الربوبية بدليل أن الله تعالى لما أخذ الميثاق على ذرية آدم خاطبهم تعالى بقوله (ألستُ بربكم) ولم يقل بإلهكم فاكتفى منهم بتوحيد الربوبية ومن المعلوم أن من أقرَّ له بالربوبية فقد أَقرَّ له بالألوهية إذ ليس الربُ غير الإله بل هو الإله بعينه

Artinya: Tauhid uluhiyah masuk dalam keumuman tauhid rububiyah dengan dalil bahwasanya ketika Allah mengambil perjanjian (mitsaq)  dengan keturunan Nabi Adam, Allah mengatakan, “Alastu birabbikum (bukankah Aku Tuhan kalian)?”  Dalam hal ini Allah tidak mengatakan, “alastu biilahikum”, karena Allah menganggap cukup dengan tauhid rububiyah tersebut dari mereka. Sebagaimana telah maklum, siapa saja yang mengakui Tuhan dengan rububiyah, ia juga mengakui Tuhan dengan uluhiyah. Sebab tidak ada rabb kecuali Dia pasti ilah, bahkan Dialah ilah yang sebenarnya.

Ketika seorang muslim hidup di alam dunia dan melakukan baiat, maka kalimat bai’at dinyatakan sebagai berikut:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُولًا

Ini menunjukkan makna “rabb” dan “ilah” memiliki konotasi makna yang sama. Sebab, jika misalnya, antara “rabb” dan “ilah” dianggap berbeda, maka baiat itu akan berbunyi:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا  وَاِلٰهًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُولًا

Ketika manusia berada di alam kubur, maka semuanya nanti akan ditanya, diantaranya sebagai berikut:

مَنْ رَبُّكَ؟ وَمَا دِينُك؟ وَمنْ نَبِيُّكَ؟

Ini juga menunjukkan makna “rabb” dan “ilah” memiliki konotasi makna yang sama. Sebab, jika misalnya, antara “rabb” dan “ilah” dianggap berbeda, maka pertanyaan malaikat itu akan berbunyi:

مَنْ رَبُّكَ وَاِلٰهُكَ؟ وَمَا دِينُك؟ وَمنْ نَبِيُّكَ؟

Dari kedua al-Hadits di atas, sudah dimaklumi bahwa orang yang menetapkan ke-rububiyah-an Allah berarti ia juga mengakui akan ke-uluhiyah-an-Nya.

Kedua, di samping yang berkaitan dengan 3 momentum (sebelum lahir, ketika hidup, dan setelah meninggal) di atas, terkadang kata “rabb” juga memang digunakan untuk makna persembahan (tauhid ibadah) sebagaimana ayat berikut:

QS. Al-Baqarah: 21 dan QS. Al-Hijr: 99

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Kedua ayat di atas berkaitan dengan perintah beribadah kepada “rabb”.

QS. Al-Isra’: 23

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Ayat di atas berkaitan dengan perintah untuk beribadah kepada “rabb” dan berbuat baik kepada kedua orang tua.

QS. Al-Isra’: 79

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Ayat di atas berkaitan dengan perintah menggunakan sebagian waktu malam untuk beribadah kepada “rabb”.

QS. Al-A’raf: 206

إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ

Ayat di atas berkaitan dengan anjuran agar tidak sombong dalam beribadah kepada “rabb”.

QS. Ali Imran: 70.

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَ وَٱلنَّبِيِّنَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُم بِٱلْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ

Ayat di atas berkaitan agar orang-orang musyrik tidak menjadikan para malaikat dan pada nabi sebagai “rabb” di samping Allah.  Kata “rabb” dengan makna ibadah

QS. Al-Anbiya: 22

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Ayat di atas menunjukkan lafadh “ilah”, tapi  berkaitan dengan makna penciptaan (tauhid rububiyah); andaikan di langit dan bumi ada tuhan (pencipta) selain Allah, niscaya alam ini akan rusak.

Dalam hadits Mutawatir, Nabi Muhammad saw bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Artinya: “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad utusan Allah.” (HR. Bukhari dan lainnya)

Sesuai hadits tersebut, seseorang dinilai beriman dan selamat dari peperangan melawan Rasulullah saw jika sudah bersaksi tidak ada Tuhan (ilah) selain Allah. Nabi Muhammad saw tidak melanjutkan dengan “tidak ada rabb kecuali Allah”. Ini menunjukkan bahwa tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.

Ketiga, bukti lain, ketika Firaun mengaku sebagai tuhan, kedua kata (“rabb” dan “ilah”) itu sama-sama digunakan dengan makna yang sama, sebagaimana pada ayat berikut:

Pada QS. Al-Qashah: 38, Firaun menggunakan kata “ilah”:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي

Pada QS. Al-Nazi’at: 24:, Firaun menggunakan kata “rabb”:

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى


Kesimpulannya, kata “rabb” dan ‘ilah” digunakan untuk konotasi makna yang sama, bisa dipakai untuk makna penciptaan (tauhid rububiyah) dan persembahan (tauhid ibadah).

Keempat, kaum wahabi tetap ngotot bahwa antara “rabb” dan “ilah” memiliki perberbedaan, baik pada arti maupun penggunaannya. Buktinya dalam surat an-Nas, jelas disebutkan secara sendiri-sendiri. Kata “bi rabbin nas” untuk tauhid “rububiyah”, dan “ilahin nas” untuk tauhid uluhiyah. Jika makna keduanya sama, kenapa harus disebutkan secara sendiri-sendiri?

Untuk menanggapi pernyataan di atas, jika kaum wahabi tetap ngotot bahwa antara “rabb” dan “ilah” memiliki perberbedaan berdasarkan surat an-Nas, kita balik bertanya: “berdasarkan surat an-Nas, kenapa tauhid mereka hanya dua: rububiyah dan uluhiyah? Kenapa mereka tidak memasukkan ayat kedua sebagai salah satu klasifikasi tauhid dan menjadi tauhid mulkiyah?”

Biasanya mereka mengatakan bahwa tauhid mulkiyah masuk dalam kategori tauhid rububiyah, karena mulkiyah berkaitan dengan pengaturan alam; tidak ada kaitan dengan persembahan (tauhid uluhiyah).

Tanggapan kita terhadap pernyataan di atas: “mereka tidak konsisten pada ucapannya sendiri, di satu sisi mengatakan masing-masing kata memiliki makna yang berbeda (berbeda antara “rabb”, “malik”, dan “ilah”), tetapi di sisi lain mereka menyamakan dan memasukkan tauhid mulkiyah (ayat kedua) ke dalam kategori tauhid rububiyah (ayat pertama).” Gumam kita dalam hati: “Kira-kira ‘salipan’ dimana, ya???”

Kelima, ayat-ayat yang menjadi dasar dari kaum wahabi, tentang konsep tauhid rububiyah adalah yang isinya sepadan dengan QS. Az-Zukhruf: Ayat 87, berikut:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

وَلَئِن سَأَلتهمْ من خلق السَّمَاوَات وَالْأَرْض وسخر الشَّمْس وَالْقَمَر ليَقُولُنَّ اللَّهُ

Ayat di atas adalah dasar kaum wahabi tentang konsep tauhid Rububiyyah, bahwa, “jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” Mereka menyimpulkan bahwa kaum musyrik arab beriman dengan tauhid Rububiyyah.

Tanggapan kita, maksud ayat di atas adalah orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan berarti mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah. 

Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah selain Allah.

Selain itu, mana logikanya ada orang musyrik yang disebut bertauhid? Bukankankah ini sama dengan pernyataan “mana ada orang ateis yang bertuhan?”

Konsep Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya mengakui tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita memperhatikan pengakuan orang-orang dijelaskan dalam al-Qur’an al-Karim: QS. al-Syu’ara’: 97-98

تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ، إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam.”

Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab (tuhan-tuhan)

Keenam, apabila pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut batil, lalu apa makna yang tersembunyi (hidden meaning) di balik pembagian tauhhid menjadi 3 tersebut?

Tanggapan kita apabila diteliti dengan seksama, di balik pembagian tersebut mereka mempunyai tujuan:

Bahwa praktek-praktek seperti tawassul, tabarruk,  ziarah kubur dll yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak Nabi Muhammad saw termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran. Untuk menjustifikasi pendapat ini Ibnu Taymiyyah menggagas pembagian tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiiyah.

Berkaitan dengan teks-teks mutasyabihat dalam Al-Qur’an yang menyangkut nama-nama Allah dan sifat-sifatnya, Ibnu Taymiyyah mengikuti Musyabbihah yang mengartikan teks-teks tersebut secara literal (dhohir). 

Dalam upaya menjustifikasi pandagannya, Ibnu Taymiiyah menggagas tauhid Al-Asmawa As-Sifat. Dari sini, dia kemudian mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan ta’wil terhadap teks-teks mutasyabihat dan tidak mengartikannya secara literal telah terjerumus kedalam kebidahan dan kesesatan karena telah melanggar tauhid Al-Asma wa As-Sifat.

Ketujuh, sebagaimana diketahui, ajaran wahabi ini mengacu kepada pendapat Ibnu Taimiyah yang hidup pada abad ke-8 (delapan) hijriah. Dalam konteks ini, ada pertanyaan kritis yang dapat kita ajukan:

Jika kaum wahabi bersikukuh bahwa tauhid mereka yang paling benar dan mengafirkan orang yang tidak sama dengan pemahan dan konsep mereka, lalu pertanyaannya bagaimanakah status keimanan dan ketauhidan orang-orang yang hidup sebelum Ibn Taymiyah, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal yang menjadi panutan dan rujukan Ibnu Taymiyah?

Jika ibn Taymiyah mengaku dirinya sebagai kelompok salaf, khususnya Imam Ahmad Ibn Hanbal, sementara Ahamad Ibn Hanbal tidak pernah berpendapat atau mengajarkan paham tentang tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa as-Sifat, pertanyaaannya, beranikah kaum wahabi  menuduh Ibn Taymiyah sebagai ahli bidah, ahli sesat, dan ahli masuk neraka?

Kedelapan, Muhammad bin Abdul Wahab dalam “Kasyfus Syubuhât” menyatakan, “Setelah kamu pastikan bahwa Rasulullah SAW memerangi kaum musyrik supaya berdoa hanya kepada Allah, bernazar hanya kepada Allah, menyembelih hanya kepada Allah, meminta tolong hanya kepada Allah dan sekalian ibadah hanya kepada Allah dan telah kamu ketahui bahwa pengakuan mereka dengan tauhid Rubûbiyyah tidaklah memasukkan mereka dalam agama Islam dan tujuan mereka kepada para Malaikat dan para auliya adalah untuk meminta syafaat mereka dan pendekatan diri kepada Allah, dengan cara demikian merupakan hal yang menghalalkan darah dan harta mereka. Dapatlah kamu ketahui ketika itu tauhid yang diajak oleh para Rasul dan enggan diakui oleh kaum musyrik.”

Ada dua penyimpangan dari pernyataan Ibnu Abdil-Wahab di atas: 

Bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat itu tidak cukup untuk menjadi muslim;

Muslim yang bertauhid Rubûbiyyah saja dianggap musyrik dan halal darahnya. Dua poin ini  menjadikan pengikuti Salafi Wahabi menjadi intoleran pada saudaranya sesama muslim dari luar kelompoknya.

Dari pembagian Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah ini pula, muncullah teologi takfiri, yaitu mengafirkan sesama muslim serta menganggap syirik semua muslim kecuali dirinya. Padahal, kata Rabb (Rubûbiyyah) dan Ilah (Ulûhiyyah) adalah satu entitas yang merupakan satu kata sinonim (muradif).

Kesembilan, sikap dan pandangan Hadratus Syaikh KH. Asy’ari tentang Salafi/Wahabi yang tertuang dalam kitab beliau “Risalah Ahlus Sunnah Waljama’ah”, sebagai berikut:

وَمِنْهُمْ فِرْقَةٌ يَتَّبِعُوْنَ رَأْيَ مُحَمَّدْ عَبْدُهْ وَرَشِيدْ رِضَا ، وَيَأْخُذُوْنَ مِنْ بِدْعَةِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ النَّجْدِيْ ، وَأَحْمَدَ بْنِ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيْذَيْهِ ابْنِ الْقَيِّمِ وَعَبْدِ الْهَادِيْ فَحَرَّمُوْا مَا أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى نَدْبِهِ ، وَهُوَ السَّفَرُ لِزِيَارَةِ قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَخَالَفُوْهُمْ فِيْمَا ذُكِرَ وَغَيْرِهِ 

Artinya: Dan di antara golongan-golongan tersebut adalah kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridho, mereka juga mengambil bidahnya Muhammad Bin Abdil Wahab An-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyyah dan dua orang muridnya yakni Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Mereka mengharamkan apa yang telah disepakati Ummat Islam sebagai kesunnahan yakni bepergian untuk berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menyelisihi umat Islam dalam hal tersebut juga hal-hal yang lain.

*****

Referensi

Al-Jazairy, Tafsir Aysarut Tafasir lil Jazairy, juz 2, hal. 171.

Khalid bin Abdullah bin Muhammad Al-Mushlih, Syarh Kasyfus-syubuhat, hlm. 3/2.

Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, juz 3, hal. 451. Dan Al-Maraghi, Tafsir al-Idhah, Juz 9, hal. 103.

Alawi bin Ahmad Al-Haddad, Misbahul Anam  wa Jala’ Al-Zholam fi Raddi Syibhil Bida’i An-Najdi allazhi Adhalla biha Al-Awam


Semoga manfaat

Selasa, 05 Maret 2024

Politik ala NU

 Politik NU: Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan***

====

Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik. 

Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. 

Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. 

Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi  partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. 

Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. 

Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah. 

Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. 

Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. 

Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik. Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). 

Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) 

Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. 

Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya. Organisasi partai identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan ideologi komunis dalam diri PKI. 

Di sisi lain, NU secara kultural juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara. Dalam praktiknya, meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan). 

Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh dalam Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

====

Sumber: https://nu.or.id/fragmen/politik-nu-politik-kebangsaan-dan-politik-kerakyatan-8ix8A

Sabtu, 02 Maret 2024

MENGENAL TOKOH NU

 WARGA NAHDLIYIN HARUS TAHU dan kenal dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi NU yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M memiliki tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.

Bagi yang tidak tahu siapa saja tokoh NU yang memiliki posisi strategis dalam jajaran Syuriah dan Tanfidziah, serta pendiri BANOM (Badan Otonom) NU yaitu :

Syaikhona Kholil Bangkalan, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang menugaskan KH. As’ad Syamsul Arifin untuk memberikan tasbih dan tongkat kepada KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, sebagai isyarat awal pendirian NU. Makam Syaikhona Kholil berada di Bangkalan, Madura, Jombang.

Hadrotusyeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar yang terpilih pada Muktamar NU Ke-1 di Surabaya 1926 sampai Muktamar Ke-17 di Madiun 1947. KH. Hasyim Asy’ari dimakamkan di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Hasan Gipo, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-1 di Surabaya 1926 sampai Muktamar Ke-3 1928. Makamnya di Surabaya.

KH. Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU. Makamnya di Makam Tembok, Surabaya.

Raden Mas Alwi, Pencetus nama NU. Beliau makamnya di Makam Rangkah, Surabaya.

KH. As’ad Syamsul Arifin, pelaku sejarah menjelang pendirian NU sekaligus Musytasyar PBNU. Beliau makamnya di Asembagus, Situbondo.

KH. Achmad Nor, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-4 pada 1926 di Semarang sampai pada 1936 Muktamar di Banjarmasin. Beliau menjabat Ketua Tanfidziyah terpilih dalam 8 kali muktamar.

KH. Mahfudz Siddiq, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-12 pada 1937 di Malang sampai Muktamar NU Ke-12 pada 1940 di Surabaya ( terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU selama 4 kali muktamar)

KH. Nachrowi Thohir, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-16 pada 1946 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-18 pada 1950 di Jakarta.

KH. Wahab Chasbullah adalah Rais ‘Aam yang terpilih pada muktamar NU Ke-18 pada 1950 di Jakarta sampai Muktamar NU Ke-24 di Bandung pada 1967. Beliau makamya di Tambakberas Jombang.

KH. Bisri Syansuri, Rais ‘Aam yang terpilih pada muktamar NU Ke-25 pada 1971 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-26 di Semarang pada 1976. Beliau makamya di Tambakberas Jombang.

KH. Wachid Hasyim, Ketua Tanfidziyah terpilih pada Muktamar NU di Palembang pada 1951. Beliau makamnya di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Muhammad Dahlan, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-20 di Surabaya pada tahun 1954.

KH. Idham Chalid, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-21 pada tahun 1954 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Beliau di makamkan di Jakarta.

KH. Achmad Siddiq, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dan Muktamar NU Ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989. Beliau makamnya di Makam Auliya, Tambak, Kediri.

KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Tanfidziyah terpilih pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dan Muktamar NU Ke-29 di Tasikmalaya pada tahun 1994. Beliau makamnya di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Ilyas Ruchiyat, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-29 di Tasikmalaya pada tahun 1994. Beliau makamnya di Cipasung, Tasikmalaya.

KH. Sahal Mahfud, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-30 di Kediri pada tahun 1999 samapi Muktamar NU Ke-32 di Makassar pada tahun 2010. Beliau dimakamkan di Kajen Pati.

KH. Ahmad Mustofa Bisri, Rais ‘Aam meneruskan amanah sepeninggal KH. Sahal Mahfud.

KH. A Hasyim Muzadi, Ketua Tanfidziyah Terpilih pada Muktamar NU Ke-31 pada 2004.

KH. Said Aqil Siradj, Ketua Tanfidziyah Terpilih pada Muktamar NU Ke-32 di Makassar pada tahun 2010 dan Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tahun 2015.

KH. Ma’ruf Amin, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tahun 2015.

KH. Bakri dan KH. Abdullah Ubaid, salah satu diantara tokoh pendiri Ansor NU. Organisasi ini dibentuk pada 24 April 1934 M/ 10 Muharram 1353 H, saat Muktamar NU di Banyuwangi.

Nyai. Khodijah Dahlan (Ketua Muslimat pertama). Muslimat didirikan saat Kongres NU Ke-16 di Purwokerto, pada 29 Maret 1946 M/ 26 Robi’ul Awal 1465 H.

Nyai. Murtasiah, Ny. Khuzaimah Mansur dan Ny. Aminah Mansur, pendiri Fatayat NU. Fatayat NU didirikan pada 24 April 1950 M/ 7 Rajab 1369 H.

KH. Tholhah Mansur, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pertama yang didirikan pada 24 Februari 1954 M/ 20 Jumadil Akhir 1373 H.

Nyai. Umroh Mahfudzah, Ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) pertama, didirikan pada 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H.

Ila Ruhi para Muassis, para Kyai, para Nyai, para Alim Ulama, Habaib, Sayyid Nahdlatul Ulama Al Fatiha.. Aamiin

Semoga manfaat.