Selasa, 05 Maret 2024

Politik ala NU

 Politik NU: Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan***

====

Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik. 

Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. 

Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. 

Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi  partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. 

Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. 

Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah. 

Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. 

Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. 

Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik. Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). 

Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) 

Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. 

Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya. Organisasi partai identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan ideologi komunis dalam diri PKI. 

Di sisi lain, NU secara kultural juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara. Dalam praktiknya, meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan). 

Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh dalam Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

====

Sumber: https://nu.or.id/fragmen/politik-nu-politik-kebangsaan-dan-politik-kerakyatan-8ix8A

Sabtu, 02 Maret 2024

MENGENAL TOKOH NU

 WARGA NAHDLIYIN HARUS TAHU dan kenal dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi NU yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M memiliki tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.

Bagi yang tidak tahu siapa saja tokoh NU yang memiliki posisi strategis dalam jajaran Syuriah dan Tanfidziah, serta pendiri BANOM (Badan Otonom) NU yaitu :

Syaikhona Kholil Bangkalan, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang menugaskan KH. As’ad Syamsul Arifin untuk memberikan tasbih dan tongkat kepada KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, sebagai isyarat awal pendirian NU. Makam Syaikhona Kholil berada di Bangkalan, Madura, Jombang.

Hadrotusyeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar yang terpilih pada Muktamar NU Ke-1 di Surabaya 1926 sampai Muktamar Ke-17 di Madiun 1947. KH. Hasyim Asy’ari dimakamkan di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Hasan Gipo, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-1 di Surabaya 1926 sampai Muktamar Ke-3 1928. Makamnya di Surabaya.

KH. Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU. Makamnya di Makam Tembok, Surabaya.

Raden Mas Alwi, Pencetus nama NU. Beliau makamnya di Makam Rangkah, Surabaya.

KH. As’ad Syamsul Arifin, pelaku sejarah menjelang pendirian NU sekaligus Musytasyar PBNU. Beliau makamnya di Asembagus, Situbondo.

KH. Achmad Nor, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-4 pada 1926 di Semarang sampai pada 1936 Muktamar di Banjarmasin. Beliau menjabat Ketua Tanfidziyah terpilih dalam 8 kali muktamar.

KH. Mahfudz Siddiq, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-12 pada 1937 di Malang sampai Muktamar NU Ke-12 pada 1940 di Surabaya ( terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU selama 4 kali muktamar)

KH. Nachrowi Thohir, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-16 pada 1946 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-18 pada 1950 di Jakarta.

KH. Wahab Chasbullah adalah Rais ‘Aam yang terpilih pada muktamar NU Ke-18 pada 1950 di Jakarta sampai Muktamar NU Ke-24 di Bandung pada 1967. Beliau makamya di Tambakberas Jombang.

KH. Bisri Syansuri, Rais ‘Aam yang terpilih pada muktamar NU Ke-25 pada 1971 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-26 di Semarang pada 1976. Beliau makamya di Tambakberas Jombang.

KH. Wachid Hasyim, Ketua Tanfidziyah terpilih pada Muktamar NU di Palembang pada 1951. Beliau makamnya di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Muhammad Dahlan, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-20 di Surabaya pada tahun 1954.

KH. Idham Chalid, Ketua Tanfidziyah yang terpilih pada Muktamar NU Ke-21 pada tahun 1954 di Surabaya sampai Muktamar NU Ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Beliau di makamkan di Jakarta.

KH. Achmad Siddiq, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dan Muktamar NU Ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989. Beliau makamnya di Makam Auliya, Tambak, Kediri.

KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Tanfidziyah terpilih pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dan Muktamar NU Ke-29 di Tasikmalaya pada tahun 1994. Beliau makamnya di Tebuireng Jombang Jawa Timur.

KH. Ilyas Ruchiyat, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-29 di Tasikmalaya pada tahun 1994. Beliau makamnya di Cipasung, Tasikmalaya.

KH. Sahal Mahfud, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-30 di Kediri pada tahun 1999 samapi Muktamar NU Ke-32 di Makassar pada tahun 2010. Beliau dimakamkan di Kajen Pati.

KH. Ahmad Mustofa Bisri, Rais ‘Aam meneruskan amanah sepeninggal KH. Sahal Mahfud.

KH. A Hasyim Muzadi, Ketua Tanfidziyah Terpilih pada Muktamar NU Ke-31 pada 2004.

KH. Said Aqil Siradj, Ketua Tanfidziyah Terpilih pada Muktamar NU Ke-32 di Makassar pada tahun 2010 dan Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tahun 2015.

KH. Ma’ruf Amin, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tahun 2015.

KH. Bakri dan KH. Abdullah Ubaid, salah satu diantara tokoh pendiri Ansor NU. Organisasi ini dibentuk pada 24 April 1934 M/ 10 Muharram 1353 H, saat Muktamar NU di Banyuwangi.

Nyai. Khodijah Dahlan (Ketua Muslimat pertama). Muslimat didirikan saat Kongres NU Ke-16 di Purwokerto, pada 29 Maret 1946 M/ 26 Robi’ul Awal 1465 H.

Nyai. Murtasiah, Ny. Khuzaimah Mansur dan Ny. Aminah Mansur, pendiri Fatayat NU. Fatayat NU didirikan pada 24 April 1950 M/ 7 Rajab 1369 H.

KH. Tholhah Mansur, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pertama yang didirikan pada 24 Februari 1954 M/ 20 Jumadil Akhir 1373 H.

Nyai. Umroh Mahfudzah, Ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) pertama, didirikan pada 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H.

Ila Ruhi para Muassis, para Kyai, para Nyai, para Alim Ulama, Habaib, Sayyid Nahdlatul Ulama Al Fatiha.. Aamiin

Semoga manfaat.

Minggu, 04 Februari 2024

Hubbul Wathan minal iman

 HUBBUL WATHAN MINAL IMAN**

===

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan warisan sejarah yang membanggakan. Ini adalah tempat yang menyatukan ragam etnis, agama, bahasa, dan tradisi yang berbeda menjadi satu kesatuan, sebagai satu bangsa, dalam Bhinneka Tunggal Ika. 

Kita semua adalah anak-anak negeri yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keutuhan negara, dan itu dimulai dari satu hal penting: cinta pada Tanah Air.

Cinta Tanah Air adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iman seseorang. Bagaimana kita bisa menyebut diri kita sebagai orang yang beriman jika kita tidak mencintai Tanah Air kita? 

Cinta Tanah Air mengandung makna lebih dalam daripada sekadar cinta pada benda mati seperti batu atau tanah. Itu adalah cinta yang tulus pada segala unit yang membentuk negara kita, yaitu kekayaan alam, sosial, budaya, dan politik.

Mengapa cinta Tanah Air sangat penting dalam iman? 

Hal ini karena itu mengandung nilai-nilai penting yang terkait dengan ketaqwaan manusia kepada Tuhan. Mencintai negeri sendiri berarti mencintai ciptaan Tuhan, termasuk sumber daya alam, kesenangan, dan kesulitan yang mungkin kita hadapi. 

Semua orang diberi kesempatan untuk tinggal dan berkarya di Indonesia oleh Tuhan, dan sebagai manusia yang beriman, kita perlu berterima kasih dan menghormati anugerah ini. Maka dari itu, cinta Tanah Air adalah harmoni antara rasa syukur kepada Tuhan dan pengabdian terhadap sesama manusia.

Cinta Tanah Air juga berkaitan erat dengan rasa patriotisme. 

Seorang patriot adalah seseorang yang membela, mempertahankan, dan berjuang untuk negaranya. Seorang patriot bukan hanya berbicara mengenai cinta Tanah Air tetapi juga tindakan yang mendukung kepentingan dan keamanan negaranya. 

Sebagai seorang patriot, dia harus menghargai simbol-simbol negara seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, serta ikut berpartisipasi dalam perayaan-perayaan nasional. Patriotisme harus dilandasi oleh rasa cinta, bukan hanya karena kewajiban persis apa yang dipikirkan oleh orang lain.

Namun, cinta Tanah Air juga harus dibarengi dengan kritik yang konstruktif terhadap kebijakan negara. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, termasuk hak untuk melihat dengan kritis kebijakan pemerintah. Namun, kritik semacam ini haruslah berniat memperbaiki dan membangun, bukan menjatuhkan atau merusak.

Ketiadaan rasa cinta Tanah Air yang kuat bisa mengancam stabilitas dan keamanan secara keseluruhan. Kita sering mendengar tentang konflik horizontal, seperti perbedaan etnis, agama, dan budaya, yang dapat mengancam integritas nasional. Namun, rasa cinta pada negara dapat menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan dan divergensi yang ada di masyarakat, yang mempunyai potensi untuk mencegah perpecahan dan konflik.

Selain itu, rasa cinta pada negara juga harus merambah seluruh aspek kehidupan sosial, di antaranya mempertahankan kebhinekaan dan menjaga lingkungan hidup. Hutan, sungai, gunung, dan laut yang indah di Indonesia harus dikelola dengan bijak dan dijaga dengan cinta oleh semua orang.

Kesimpulannya, cinta Tanah Air adalah bagian penting dari iman seseorang. Itu bukan hanya cara untuk menunjukkan kecintaan pada Indonesia, tetapi juga bentuk pengabdian kepada Tuhan. Patriotisme, kesetiaan, kritik konstruktif, dan kepercayaan pada kebhinekaan, dan lingkungan hidup merupakan unsur-unsur kunci dari cinta pada negara. 

Ingatlah, hanya dengan rasa cinta yang tulus bisa menjadikan Indonesia yang kita cintai menjadi lebih baik dan maju, dan hanya dengan rasa cinta patria yang kuat kita bisa menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari cintai Tanah Air dengan segenap hati dan buktikanlah bahwa iman dan cinta pada negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.


SEMOGA MANFAAT.