Senin, 16 Oktober 2023

Santri Milenial dan Fatwa Jihad

 

HARI SANTRI:

SANTRI MILENIAL SEBAGAI PELOPOR PERADABAN

Oleh: Saniman el-Kudusi

Pembuka

Mengingat negeri kembali dalam keadaan genting setelah Indonesia diproklamerkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus ‘45, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, Kiyai Hasyim Asy’ari mengundang para ulama dan konsul-konsul Nahdlatul Ulama se Jawa dan Madura untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Datanglah banyak kiyai dari segala lapisan masyarakat tak terkecuali dari Jawa Barat seperti kiyai Abbas Buntet, kiyai Syathori Arjawinangun, kiyai Amin Babakan Ciwaringin Cirebon, dan kiyai Syuja’i Indramayu.

Mereka membahas status hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah dibahas darurat selama 2 (dua) hari dengan pimpinan sidang kiyai Wahab Hasbullah, diambil titik temu dengan berpedoman  pada sumber-sumber hukum Islam. Peserta musyawarah sepakat bahwa kemerdekaan Negara Indonesia adalah sah. Dalam hal ini, KH Hasyim Asy’ari mengatakan: “Statusnya sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankannya”.

Untuk merespon sikap Sekutu yang arogan dan kembali ingin menjajah bangsa Indonesia, Kiyai Hasyim atas nama pengurus besar NU memfatwakan seruan Jihad fi Sabilillah kepada setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan. Bunyi Fatwa itu sebagai berikut:

1.     Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, wajib dipertahankan.

2.     Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.

3.     Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datng kembali dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.

4.     Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali mejajah Indonesia.

5.     Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardhu Ain) yang berada pada jarak radius 94 KM (suatu jarak yang umat Islam diperkenankan shalat jamak dan qosor). Sedangkan mereka yang di luar jarak itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 KM tersebut.

Keesokan harinya, secara resmi organisasi NU menyebar pamflet hasil keputusan NU untuk menyerukan jihad. (Aguk Irawan MN: Penakluk Badai, Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Globlal Media Utama, cet. I: Depok, 2012, hal 410- 411).

Santri adalah seseorang yang sedang belajar di pesantren dengan membawa bekal ilmu agama yang mendalam. Santri pada saat ini memiliki istilah keren sebagai santri zaman now atau santri milenial.  Santri milenial adalah bagian dari generasi milenial yang tentunya tak terlepas dari karakteristik generasi milenial itu sendiri yaitu generasi yang dilahirkan pada tahun 1981-2000. Demikian menurut Hassanudin Ali dan Lilik Purwandi, dalam bukunya yang berjudul Millenial Nusantara.

Sebagai generasi yang lahir dalam kurun tertentu, dalam Millenial Nusantara dijelaskan bahwa setidaknya ada tiga karakteristik yang dimiliki generasi milenial, yaitu confidence (percaya diri), creative (karya akan ide dan gagasan), dan connected (pandai bersosialisasi dalam berbagai komunitas). Karakteristik ini yang tentu juga dimiliki oleh santri masakini sebagai bagian dari santri milenial.

Seorang santri yang menempuh pendidikan di pondok pesantren, mereka tinggal di asrama/ pondok selama menempuh pendidikannya hingga dipandang selesai atau lulus. Sekolah berasrama dengan pendidikan agama yang mendalam menjadi ciri khas pondok pesantren. Sebagai seorang santri harus rela untuk jauh dari orang tua, keluarga serta meninggalkan rumah demi menuntut ilmu dengan harapan menjadi pribadi yang lebih baik lagi di masa depan dalam masalah dunia maupun akhirat. Seorang santri biasanya memiliki ciri khas dalam berpakaian, seperti memakai peci dan memakai sarung bagi lelaki, atau kerudung bagi wanita.

Selain itu, seorang santri juga diajarkan untuk hidup sederhana dan mandiri. Bangun pagi, tidur larut malam sudah menjadi kebiasaan seseorang ketika orang tersebut menjadi santri. Mulai dari sholat tahajud, tadarus Al-qur'an, serta mengaji kitab-kitab yang umumnya ada di pesantren, belum lagi jika mereka memilih untuk menghafal Al-Qur'an. Masyarakat juga memberi kepercayaan kepada santri untuk terjun berdakwah dengan membawa bekal ilmunya yang di ajarkan di pondok pesantren. Bersama-sama belajar dengan masyarakat mengadakan sebuah pengajian, mengajar TPA, menjadi Imam dan sebagainya.

Islam menjadi Agama mayoritas yang dianut masyarakat Indonesia. Di negara ini, banyak sekali sekolah yang berbasis agama atau pondok pesantren yang menyebar ke seluruh pelosok nusantara. Sekolah berasrama dengan pendidikan agama yang mendalam menjadi ciri khas pondok pesantren. Jika kalian sedang menempuh ilmu disini maka kalian disebut sebagai seorang Santri.

Sejarah telah mencatat, peran santri dalam mengabdikan diri bagi umat dan bangsa sejak periode penjajahan sampai periode kemerdekaan dan  sampai hari ini. Dengan pengabdiannya itu, santri telah mampu mewarnai berbagai dinamika kehidupan berbangsa. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dinamika kehidupan berbangsa juga mengalami perubahan, salah satunya disebabkan oleh cepatnya arus informasi melalui berbagai macam media yang berbasis kemutakhiran teknologi. Begitu pula dengan fenomena santri saat ini yang juga tidak terlepas dari pengaruh media dan informasi.

Kemudian, Era digital yang kian memudahkan lalu lintas informasi juga turut mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku santri. Perilaku-perilaku seperti cara berpakaian, musik favorit, kisah asmara, sampai kepada way of life santri mengalami berbagai macam perubahan. Perubahan ini tentu dapat bernilai negatif maupun positif, tergantung bagaimana santri dapat memfilter dampak yang terjadi serta keteguhannya untuk tidak meninggalkan identitasnya sebagai santri. Jika di zaman pergerakan para santri berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maka sudah menjadi tanggung jawab santri pula untuk memajukan bangsa dan negara.

Sementara tantangan terbesar santri, selain harus mampu membumi bersama rakyat, ia juga harus melek teknologi terutama media digital online, dimana ujaran kebencian dan berita hoaks menjadi hal yang meresahkan serta menjadi pemicu disintegrasi bangsa, terutama di tahun politik saat jelang Pilpres. Selain melakukan perlawanan, bagi santri yang memiliki kemampuan menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan, maka sudah  menjadi tugas dan tanggungjawab untuk menulis serta menyebarkan tulisan kepada khalayak yang lebih luas. Tetapi yang perlu diingat kembali, untuk memasuki media digital, santri juga harus dibekali dengan kapasitas diri dan literasi yang baik. Sehingga ketika melakukan counter opini akan mampu menjelaskan kepada publik secara lebih jelas bagaimana dan apa sebenarnya yang terjadi.

Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan seorang santri dalam mempersiapkan diri agar bisa menjadi pelaku sejarah serta pelopor kemajuan peradaban di Indonesia berdasarkan realitas yang ada.

Pertama, santri harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan daya nalar kritis dalam menyikapi setiap persoalan yang ada. Dalam konteks ini, keilmuan santri harus mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman, sehingga tidak lagi dibatasi dengan dikotomi antara keilmuan dunia dan keilmuan akhirat. Santri harus bisa menguasai berbagai bidang keilmuan yang mampu mengantarkan kemenangan di dunia dan akhirat.

Kedua, santri harus mempersiapkan diri agar memiliki entrepreneur skill yang mumpuni dan trampil dalam melihat peluang bisnis yang sangat besar. Menjamurnya start up bisnis dari kalangan pemuda harusnya direspons juga dengan sigap oleh kalangan santri. Santri zaman now tidak cukup hanya berbekal ilmu pengetahuan, tetapi juga harus sukses juga dalam bidang entrepreneur.

Ketiga, di era milenial ini santri harus bisa berdiri di atas keteguhan dan istikomah dalam memegang prinsip dan karakteristik santri. Maraknya kenakalan remaja, kasus kriminal, dan dekadensi moral para pelajar di Indonesia yang diakibatkan kurangnya pendidikan berbasis akhlak atau budipekerti yang seharusnya tidak dialami oleh santri yang bersanad dengan guru yang memiliki keteladanan yang baik.

Jadi, santri harus dapat bangkit menjadi agent of change (gerakan perubahan) bagi negara agar negara yang kita cintai ini dapat lebih maju, dan juga santri milenial dapat lebih semangat di era milenial ini.

Disamping itu, memang suatu keniscayaan bahwa ilmu agama dan pengetahuan memiliki peran yang sangat penting, tetapi tidak berhenti disitu saja, tentunya harus diimbangi juga dengan amal perbuatan yang baik. Oleh karena itu, sebagai seorang santri yang sudah dikenal memiliki perilaku yang baik, sopan dan santun, harus memberikan contoh di lingkungan masyrakat maupun berbangsa dan bernegara tentang bagaimana berperilaku dengan adab yang baik. Terutama di era milenial seperti sekarang ini, banyak orang berperilaku Hidonis, dan membanggakan orangtuanya.

Semoga manfaat.

Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan Hari Santri sejatinya tidak terbatas untuk kalangan pesantren saja, namun diharapkan bisa menjadi ajang untuk meningkatkan toleransi di kalangan santri, umat Islam, dan seluruh bangsa Indonesia.

Dilansir dari situs resmi NU Online, peringatan Hari Santri Nasional pada mulanya diusulkan oleh masyarakat pesantren. Mereka menganggap Hari Santri perlu diperingati sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani perjuangan kaum santri dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.

Sejarah Hari Santri Nasional

Sejarah Hari Santri Nasional yang ditetapkan sejak tahun 2015 dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi jauh sebelumnya. Penetapan Hari Santri Nasional merujuk pada peristiwa saat pahlawan nasional KH. Hasyim Asy'ari membacakan seruan berperang (jihad) kepada masyarakat Indonesia pada tanggal 22 Oktober 1945.

Seruan itu berisi ajakan sekaligus perintah kepada seluruh umat muslim di Indonesia untuk berperang melawan sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan. Saat itu, tentara sekutu yaitu Inggris sebagai pemenang perang dunia II berusaha mengambil alih tanah jajahan Jepang.

Ditetapkannya 22 Oktober 2022 sebagai Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingatkan umat muslim dan bangsa Indonesia pada Resolusi Jihad yang telah dicetuskan KH Hasyim Asy'ari. Peristiwa yang terjadi pada 1945 silam itu mengingatkan bagaimana KH Hasyim Asy'ari menggerakkan santri, pemuda, dan masyarakat untuk sama-sama berjuang melawan pasukan kolonial yang berupaya merusak keutuhan NKRI.

Pada awalnya, penetapan hari santri diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, (27/6/2014). Saat itu Joko Widodo yang berkunjung sebagai calon presiden menandatangani kesepakatan untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri.

Sejalan dengan perkembangannya, PBNU lalu mengusulkan agar Hari Santri ditetapkan tanggal 22 Oktober, bukan 1 Muharram. Usulan itu merujuk pada peristiwa sejarah Resolusi Jihad yang terjadi pada 22 Oktober 1945.

Akhirnya, pada tahun 2015, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional secara resmi oleh Presiden Jokowi. Keputusan ini didasari atas beberapa pertimbangan, yaitu:

Pertama, ulama dan santri pondok pesantren dianggap memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengisi kemerdekaan.

Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.

Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

SANTRI merupakan sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Santri biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Biasanya, setelah menyelesaikan masa belajar di pesantren, santri akan mengabdi ke pesantren dengan menjadi pengurus.

Berkembangnya Islam di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan keberadaan pondok pesantren. Lembaga pendidikan Islam Nusantara ini terus berkembang dengan aneka varian, ada yang tradisional, ada yang modern, ada pula yang memadukan keduanya, tetapi tetap tidak meninggalkan akarnya, yakni menekankan pendidikan agama dan akhlakul karimah.

Di tengah maraknya lembaga pendidikan yang ada saat ini, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang menawarkan berlipat kali keunggulan. Selain dari sistem pendidikan yang sangat disiplin dan efektif, belajar di pesantren juga tentu sangat mengasyikkan. Karenanya, sebagai generasi milenial akan sangat rugi jika hanya mengenyam pendidikan formal. Santri memiliki sejarah tersendiri. Karenanya, ditetapkan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober.

Sejarah penetapan Hari Santri Nasional

Penetapan Hari Santri Nasional berawal dari fatwa yang disampaikan Pahlawan Nasional KH Haysim Asy'ari. Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari memimpin perumusan fatwa Resolusi Jihad di kalangan kiai pesantren.

Melansir dari laman Pendis Kemenag, sejak zaman prarevolusi kemerdekaan, ulama dan santri pondok pesantren menjadi salah satu tonggak perjuangan Indonesia melalui perlawanan rakyat. Kala itu para kiai dan pesantrennya memimpin banyak perjuangan bagi kemerdekaan bangsa untuk mengusir para penjajah.

Fatwa yang ditetapkan pada 22 Oktober 1945 itu berisi kewajiban berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan kolonial yang masih ada di Indonesia. Seruan itu mencapai puncak perlawanan pada 10 November 1945 yang juga dikenal sebagai cikal bakal peringatan Hari Pahlawan.

Sejarah soal Resolusi Jihad diceritakan dari buku berjudul KH. Hasyim Asy'ari Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri terbitan Museum Kebangkitan Nasional. Dalam tulisan Rijal Muumaziq, Resolusi Jihad bermula dari memanasnya kondisi Indonesia pascakemerdekaan.

Ada pula peristiwa perebutan senjata tentara Jepang pada 23 September 1945. Ini membawa Presiden Soekarno berkonsultasi kepada KH Hasyim Asy'ari yang punya pengaruh di hadapan para ulama. Soekarno melalui utusannya menanyakan hukum mempertahankan kemerdekaan. KH Hasyim Asy'ari kemudian menjawab dengan tegas bahwa umat Islam perlu melakukan pembelaan terhadap Tanah Air dari ancaman asing. Pada 17 September 1945, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan para penjajah.

Selanjutnya, para ulama se-Jawa dan Madura menetapkan Resolusi Jihad dalam rapat di Kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945. Adapun keputusan itu kemudian disebarluaskan melalui masjid, musala, bahkan dari mulut ke mulut.

Resolusi Jihad sengaja tidak disiarkan melalui radio atau surat kabar atas dasar pertimbangan politik. Namun resolusi ini disampaikan oleh pemerintah melalui surat kabar Kedaulatan Rakyat pada 26 Oktober 1945.

Baru 70 tahun kemudian, pada 15 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 terkait Hari Santri Nasional. Pendeklarasiannya dilaksanakan pada 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal oleh Presiden Joko Widodo. Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengenang dan menghormati jasa perjuangan ulama melalui tokoh-tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, dan masih banyak yang lain.

Pencetus Hari Santri

Pada 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Usulan tersebut pada mulanya menuai polemik, banyak yang setuju dan ada pula yang menolaknya. Beragam alasan penolakan muncul, mulai dari kekhawatiran polarisasi, hingga ketakutan ada perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri. Namun, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal itu dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015.

Keppres ini ditetapkan dengan menimbang peran ulama dan santri saat memperjuangkan Kemerdekaan RI. Tanggal 22 Oktober dipilih sebagai bentuk pengingat tentang seruan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama di berbagai penjuru daerah. Meski diperingati setiap tahun, Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober tidak termasuk hari libur nasional.

Melansir dari nu.or.id pada perkembangannya, PBNU mengusulkan agar 22 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Santri, bukan 1 Muharram. Hal itu dilatari peristiwa sejarah Resolusi Jihad. Di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh Sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia.

Demi mempertahankannya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Dikutip dari Fatwa dan Resolusi Jihad karya KH Ng Agus Sunyoto, fatwa tersebut berisi tiga poin penting:

1.         Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ialah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir.

2.         Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya ialah mati syahid.

3.         Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang, wajib dibunuh.

Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober sebagai bentuk penghargaan terhadap peran santri dan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Perayaan Hari Santri Nasional biasanya diisi dengan berbagai kegiatan seperti lomba, seminar, dan acara keagamaan.

Pada tahun 2023, berbagai lomba bisa diikuti para santri untuk meramaikan momen Hari Santri. Lomba-lomba tersebut antara lain lomba pidato, lomba cerdas cermat, lomba adzan, dan lomba qira’atul kutub dan lainnya yang tidak bertentatangan dengan prinsip agama.

Fatwa Jihad Hasyim Asy'ari

 

FATWA JIHAD

Mengingat negeri kembali dalam keadaan genting setelah Indonesia diproklamerkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus ‘45, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, Kiyai Hasyim Asy’ari mengundang para ulama dan konsul-konsul Nahdlatul Ulama se Jawa dan Madura untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Datanglah banyak kiyai dari segala lapisan masyarakat tak terkecuali dari Jawa Barat seperti kiyai Abbas Buntet, kiyai Syathori Arjawinangun, kiyai Amin Babakan Ciwaringin Cirebon, dan kiyai Syuja’i Indramayu.

Mereka membahas status hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah dibahas darurat selama 2 (dua) hari dengan pimpinan sidang kiyai Wahab Hasbullah, diambil titik temu dengan berpedoman  pada sumber-sumber hukum Islam. Peserta musyawarah sepakat bahwa kemerdekaan Negara Indonesia adalah sah. Dalam hal ini, KH Hasyim Asy’ari mengatakan: “Statusnya sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankannya”.

Untuk merespon sikap Sekutu yang arogan dan kembali ingin menjajah bangsa Indonesia, Kiyai Hasyim atas nama pengurus besar NU memfatwakan seruan Jihad fi Sabilillah kepada setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan. Bunyi Fatwa itu sebagai berikut:

1.     Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, wajib dipertahankan.

2.     Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.

3.     Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datng kembali dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.

4.     Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali mejajah Indonesia.

5.     Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardhu Ain) yang berada pada jarak radius 94 KM (suatu jarak yang umat Islam diperkenankan shalat jamak dan qosor). Sedangkan mereka yang di luar jarak itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 KM tersebut.

Keesokan harinya, secara resmi organisasi NU menyebar pamflet hasil keputusan NU untuk menyerukan jihad. (Aguk Irawan MN: Penakluk Badai, Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Globlal Media Utama, cet. I: Depok, 2012, hal 410- 411).

Sabtu, 14 Oktober 2023

Mauludan Melineal

 

MASIHKAH NABI SAW. MANJADI USWAH HASANAH ?

(Oleh: Saniman el-Kudusi)

Email: arilgussun8@gmail.com

Blog: http://saniman-elqudsie.blogspot.com

Abstracte

Celebrating the birth of prophet Muhammad SAW. has been tradition in Indonesia long before its declaration of independent in 1945. From what in remember, in vellage mosques, there would be a small feast called: Golok-golok Menthok with traditional snack and treats bough from the local market. The event would take place in the late afternoon after Asar prayer and be attended by children of primery school age.

The title of this article may seem extreme as though it questions firmly-held Islamic beliefs. However in reality people tend to idolize viral figures they see in print or electronic media. Celebrating Maulud (the birthday commemoration of propeth Muhammad SAW.) is celebrated ini mousqe, musolla, langgar, schools and on the place....etc.

Pendahuluan

            Perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. di negeri tercinta ini sudah menjadi tradisi, jauh sebelum Indonesia merdeka 1945. Seingat saya, di masjid-masjid kampung diadakan kenduri dengan kuliner ‘Jajan Pasar’, yakni makanan kecil yang dibeli dari pasar. Acara semacam ini dilaksanakan waktu sore hari selepas Asar yang diberi nama kenduri: ‘Golok-golok menthok’. Acara ini diramaikan oleh anak-anak seusia SD (Sekolah Dasar). Sebelum doa kenduri ini dimulai, Bapak Modin atau pak kiyai atau ustad yang memimpin kenduri memberikan wejangan atau nasehat tentang pentingnya memperingati kelahiran Nabi agung ini yang menjadi suri tauladan, dengan kalimat-kalimat yang disesuaikan tingkat pemikiran anak seusianya. Di samping yang hadir juga ada para pemuda-pemudi, bapak, ibu sambil mengantarkan anak atau adik mereka.

Rutinitas Hura-hura

            Judul tulisan ini tampaknya memang agak ekstrim, seakan-akan menggugat keimanan yang sudah mapan bagi umat Islam. Tapi, realnya di masyarakat, orang mengidolakan tokoh viral yang dilihat di media cetak, maupun elektronik seperti: FB, WA, Twitter, Line, Tik Tok, Snack Video, Youtube, dll. Di samping itu, peringatan Maulud atau Milad (emboh sak karepem olehem ngarani) kelahiran  Nabi Muhammad SAW. diadakan di masjid, mushalla, langgar, pondok, madrasah, sekolahan, baik tingkat Rt, Rw, desa, kota, propinsi sampai pusat, pada menyenandungkan shalawat Nabi dengan lantunan suara yang diiringi pemukulan terbang dan ada yang dibarengi dengan orgen sehingga gemuruh memekakkan gendang telinga. Belum lagi jika di sekitar peringatan ada orang tua yang sakit dan memerlukan ketenangan.

            Saya bukan ahli tafsir maupun hadits, atau seorang mufti (yang mudah mengklaim sesuatu), bahwa peringatan kelahiran Nabi SAW. dengan model seperti di atas, tidak salah, jika ada orang menyebutnya sebagai bid’ah sesat. Namun di tulisan ini dikesampingkan klaim Bid’ah sesat. Itu urusan lain yang perlu didialogkan atau masih bisa diperdebatkan (debatable). Hanya saja, di sini diketengahkan dampak peringatan kelahiran Nabi SAW. pada masyarakat, dan sejauhmana keterpengaruhan masyarakat dengan seorang makhluk paling sempurna yaitu Nabi Muhammad SAW. Peringatan maulid Nabi bukan sekedar rutinitas belaka, yang sudah barang pasti membuang energi dan dana yang tidak sedikit jumlahnya.

            Bagi masyarakat awam, atau jamaah yang hadir bisa dimaklumi. Mereka tidak sempat berpikir akan manfaat, rutinan mauludan di samping Roti-nan yang sudah pasti. Yang penting dapat barokah memperoleh syafaat dari junjungan Nabi kita Muhammad SAW.... Kalau urusan Barokah hasanah memang tidak bisa diukur dan diatur sesuai prosedur. Ini areal keimanan.

            Kemasan mahabbah (cinta) kepada Nabi SAW. yang ditradisikan lewat peringatan Mauludan Nabiy tergantung tradisi daerah setempat yang biasanya dibacakan kitab baku: Ontologi Cinta Nabi yaitu sebuah kitab kumpulan syair kerinduan kepada Kanjeng Rasul yang dikenal dengan sebutan: Al-Barzanjiy baik yang prosa maupun puisi. Sebenarnya nama Al-Barzanjiy hanyalah salah satu Mushannif, penulis kelahiran Barzanj, Irak, yang bernama Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Madani bin Rasul Al-Barzanjiy. Yang lain ada maulid Ad Diba’iy yang ditulis Abdurrahman Ad-Diba’iy, Maulid Syaraful Anam, ada Maulid Al-Azb yang ditulis oleh Muhammad Al-Azb, dan ada Burdah yang ditulis oleh Muhammad Al-Bushiriy dengan Burdah-nya.

Dan ada lagi kitab maulid Simthut Duror yang disusun secara khusus oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyiy, asal Hadhramaut, Tarim, Yaman yang lahir 24 Syawal 1259 H/ 1843 M.- 1333 H./ 1913 M. sebagai kitab maulid tersendiri yang sering ditradisikan dan diviralkan pembacaannya oleh orang-orang yang bergelar Habib dan followernya.

Masih ada lagi kitab maulid yang kurang terkenal susunan Ibnu Jauziy, dari kalangan mazhab Hambali (508 H- 597 H). Dia ahli fikih, ahli tafsir, sastrawan sejarawan, dan seorang dai-sunni. Tulisan beliau jarang kita baca-dengarkan buku maulidnya di masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunniy Syafiiyah.  

            Terlepas dari kitab apa yang dibaca di acara Maulidan itu, kumandang shalawat tetap bergemuruh, baik shalawat yang netral tanpa permintaan yang beraroma duniawi, seperti shalawat Jibril maupun yang tidak netral yang disisipi permohonan, seperti shalawat Asyghil, Thibbul Qulub, Asnawiyah shalawat perjuangan yang disusun oleh KHR Asnawi (orang Kudus biasa mendendangkan ini sebagai rangkaian pembuka acara). Dan masih banyak lagi teks shalawat yang disusun oleh para ulama yang memiki rasa/ dzauq bathiniyah atau Arifbillah (Baca: Kumpulan Shalawat yang dihimpun oleh Syaikh Yusuf bin Isma’il An Nabhaniy, Afdhalush Shalawat Ala Sayyidis Sadat: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, Libanon, 2003).

            Dalam acara maulidan ini tidak ketinggalan ada Mauzhah Hasanah yang didatangkan penceramah dari lokal sendiri, maupun dari luar daerah, baik kiyai kampung maupun kiyai yang viral di youtbe yang tidak tahu kondisi masyarakat yang diceramahi. Lagi-lagi yang penting ramai, bisa ger-geran, membuat hati senang (sekedar dapat melupakan jeratan rentenir, atau bank plecit). Kita lalu membayangkan (berpikir sedikit kritis, kritis sedikit), berapa banyak personel yang terlibat dalam acara ini dengan sekian pengorbanan termasuk finansial/ material.

            Hemat saya, penceramah hendaklah dapat menjadi motivator penggerak kepada audien/ hadirin-hadirat atau pendengar live streaming diuar lokasi agar dalam ceramahnya minimal jamaah dapat mambawa pulang suatu ilmu, yang tidak hanya hura-hura, show of force, atau unjuk kekuatan. Dan perlu dipertimbangkan kembali oleh Sang penceramah, bahwa majlis yang mulia dan strategis ini jangan sekali-kali hanya mengulas repetisi sejarah kelahiran Nabi SAW. di tahun Gajah, tumbangnya balatentara Raja Abrohah oleh pasukan misterius Ababil,  runtuhnya balkon di istana Kisro (raja Persia), atau padamnya api yang sudah lama menjadi sesembahan kaum Majusi, pemeluk agama Zoroaster (Mazdaisme) dan runtuhnya geraja di Buhairah yang diporak-porandakan oleh angin lesus, (puting beliung), pada saat kelahiran Nabi SAW.

Buku standar

            Para penceramah atau dai dalam menyampaikan mauizhah-nya, dari tempat ke tempat lain, bertema sama, monoton, minim perkembangan. Tahun ke tahun, ya sama juga, seperti celebritis yang lagi tampil, minim perobahan yang segnifikan, dan memadai dengan biaya yang dikeluarkan panita. Tanpa adanya perubahan pada masyarakan dari hasil peringatan maulud Nabi, maka acara tersebut menjadi sia-sia.  

Demi mengembalikan kesadaran ber-uswah hasanah pada Nabi SAW., maka para da’i/ penceramah hendaklah menambah wawasan buku atau bahan bacaan. Kitab Sirah Nabawiyah atau kitab As-Syamail Al Muhammadiyyah karya At Tirmidzi (200 H.- 279 H) termasuk genarasi Salafus Shaleh yang sudah di-tahqiq oleh Usamah Ar Rahhal (1999 M), dijelaskan secara gamblang tentang Nabi SAW. dengan detail dari sumber valid, pemaparan tentang fisik beliau, maupun etika dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya, yang berkait dengan ibadah mahzhah maupun ghairu mahzhah. Dalam catatannya, Usamah Ar Rahhal menjelaskannya bahwa, ada 3 hal dalam memahami sirah Nabi ini: (1). Ujian sepanjang masa bagi manusia untuk selalu meng-upgret diri dalam rangka menempatkan dirinya lebih baik dari sebelumnya, (2). Munculnya pertentangan sosial lantaran salah paham terhadap apa yang dikendaki dirinya sehingga menimbulkan berbagai macam adat-istiadat oleh masing-masing daerah yang bertujuan cinta pada Nabi SAW., (3). Menteladani Rasulullah SAW. dalam kehidupan sehari-hari memaksa orang untuk memikiri beliau. sebagai individu manusia agung sejagad, sehingga berpengaruh positip bagi umat untuk mencontohnya.

Di samping itu, ada buku karangan Michael H. Hart yaitu: “The 100: A Rangking of The Most In Influential Persons in History”, yang menempatkan Muhammad SAW. di ranking pertama dari 100 orang yang berpengaruh dalam mengobah tatanan masyarakat yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Informasi ini sebagai acuan motivasi, targhib untuk kita agar tetap mengikuti teladan utama, yaitu Rasulullah SAW. Dan buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Mahbub Junaidi. 

            Sebenarnya banyak tema yang harus dipertimbangkan oleh penceramah dalam mematri Uswah Rasul pada hadirin, dan merenungi sunnah dan perilakunya untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, atau pencarian solusi umat di sekitar yang terdampak masalah untuk dipecahkan. “Man lam yahtamma bi amril muslimina, falaisa minhum” (0rang yang tak peduli masalah yang dihadapi umat Islam, ia tidak termasuk kelompok umat Islam itu sendiri), demikian kata Nabi SAW. meskipun Dhaif secara sanad, tapi misi dalam lafalnya benar yang termasuk kategori Tolong menolong (lihat: QS. 5: 2). Dan Kitab As-Syamail Al Muhammadiyyah karya At Tirmidzi tersebut, mungkin dapat dijadikan juga informasi untuk di-tadabbur-i sunnah Nabi kita sebagai Uswah Hasanah, cermin kehidupan yang tak lapuk oleh zaman. Semisal problem kebodohan dan kemiskinan umat Islam yang menyebabkan terpinggirnya umat Islam di berbagai belahan wilayah.

            Dalam kontek kebodohan bisa diungkap tentang ajaran Islam berkenaan dengan menuntut ilmu dengan segala motivasinya, baik merujuk pada Al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan problem kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya etos kerja, dengan minimnya skill karena rendahnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Maka wajib bagi penceramah menerangkan sejarah Nabi SAW. dari kecil yang sudah hidup mandiri, memiliki etos kerja tinggi dan sudah produktif.

            Dalam setiap acara mauludan Nabi, pasti penceramah mendasari ceramahnya dengan membaca surat Al-Ahzab ayat 21: “Laqad Kana Lakum fi Rasulillahi Uswatun Hasanah...” (Sungguh telah ada pada diri Rasulullah Uswah Hasanah, suri teladan yang baik bagi kalian...), tapi sangat jarang para muballig menjelaskan dengan tuntas ayat tersebut tentang pribadi Rasulullah SAW. yang sudah mandiri dan kratif. Sejak kurang lebih usia 6 tahun beliau sudah memimpin umat, yaitu sekawanan domba biar nggak tersesat. Beliau ulet dan teguh menghadapi tantangan dan hambatan. Malah, dalam surat An Nisa’ ayat 9 disebutkan dengan tegas: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. Ayat ini berpesan kepada setiap orangtua untuk selalu berupaya mendidikdan mengarahkan anak agar kelak menjadi orang yang kuat secara fisik/ jasmani dan mental spiritualnya, serta kuat terjamin urusan duniawi dan ukhrawinya. Dan inilah yang mungkin diisyaratkan oleh Nabi SAW. dalam sabdanya: “...Wa Auladuhu Abraran (Anak yang berbakti/ berkualitas)...”. Sehingga Nabi SAW. perlu menekankan pada orangtua untuk mendidik keturunannya kemandirian dan kreativitas, sebagaimana sabdanya: “‘Allimuu Abna’akum As-Sibahata war Rimayah” (Ajarilaah anakmu berenang dan memanah). Renang, filosofinya adalah mempertahankan diri agar tubuh tidak tenggelam, sebagai ajaran tentang kemandirian, tidan tergantung kepada orang lain. Sedangkan memanah adalah kemampuan fisik dan mental untuk membuat keputusan dan mengeksekusi kemauan dengan tepat. Inilah pemaknaan secara kontektual sebagai ketrampilan dan pengalaman hidup yang terus berjalan.

            Kata kunci kesuksesan antara lain adalah situasi dan kondisi yang terbatas, sehingga memunculkan etos kerja tinggi untuk keluar dari keterbatasan itu. Dari segi ini tampaknya lemah dalam keluarga muslim yang berkaitan dengan pendidikan anak.

Ada kecenderungan orangtua tidak mau membuat iklim terbatas pada anak-anak mereka. Malah sebaliknya, mereka membiarkan anak bebas tak terbatas, dan mencukupi segala fasilitasnya dengan dalih: “Sayang Anak”. Akibat yang timbul pada karakter anak adalah: Manja, tidak mandiri, serba berharap bantuan orang lain, dan hilang semangat mempertahankan diri.

Lihat saja sekarang sebagian para ibu yang sibuk, khususon guru yang mengajak anaknya di sekolahan. Agar si anak tidak rewel ditinggal mengajar, maka si ibu memberi mainan HP Android untuk ditonton anaknya, begitu seterusnya hingga anak selalu manja.

Revolusi Mental

            Nabi SAW. mengakui dirinya diutus oleh Allah SWT. untuk membangun akhlak/ perilaku masyarakat yang lebih baik, baik bidang sosial maupun keyakinan yang distampel sebagai Jahiliyah, dengan sabdanya: “Bu’itstu Li’utammima Makarimal Akhlaq” HR. Shahih dari Abu Hurairah (Aku diutus untuk memperbaiki akhlak). Akhlak disini maksudnya adalah perbuatan yang diulang-ulang sampai menjadi karakter yang sulit diubah, kecuali sedikit demi sedikit. (Baca: Al Akhlak, Ahmad Amin). Karakter bangsa Arab pada umumnya adalah lebih kuat kekufurannya dan kemunafikannya. Ini sangat wajar mereka  tidak mengetahui batas-batas --ketentuan-- yang diturunkan Allah kepada Rasulnya... (QS. At Taubat ayat 97), sebab jauh bimbingan dari Rasul (guru, kiyai, ulama, atau yang semakna).

            Peran terpenting misi kenabian adalah memperbaiki / merevolusi mental umat manusia yang jahiliyah menjadi masyarakat ilmiyah yang kurang dari seperempat abad, tepatnya 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Kalau diringkas tugas nabi (mungkin) seperti berikut:

1.     Menanamkan akidah yang benar

2.     Memperbaiki jiwa

3.     Mengajarkan Al-Qur’an

4.     Membina keterampilan umat.

Jika masing-masing poin tersebut bisa diaplikasikan oleh kita bersama, terutama yang didaulat sebagai tokoh masyarakat, insyaAllah umat Islam maju dan bisa meneladani tokoh panutan, insan kamil sseluruh jagat raya.

#SemogaManfaat

===========

Saniman el-Kudusi, alumni IAIN (sekarang UIN) Su-Ka Yogyakarta

Guru Madin PPYUR Banat Kudus

Anggota Lakpesdam Kudus,