Senin, 07 November 2022

0LIGARKI

 

0ligarki

Sering terdengar pernyataan: “oligarki”, apa itu maksudnya ?

Menurut kamus (KBBI), “oligarki” adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu

Asal mula perkataan  oligarki berasal dari bahasa Yunani oligarkhía yang berarti: "aturan oleh sedikit"; dari olígos, berarti "sedikit", dan arkho yang berarti "mengatur atau memerintah", yaitu dari bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Orang-orang ini mungkin atau mungkin tidak dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik, atau militer.

Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya, dan istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.

Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki" dia menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.

Ada 2 arti Oligark: (1). Sekelompok kecil orang yang memiliki kendali atas suatu negara, organisasi, atau lembaga. (2). Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu

Kesimpulan:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata oligarki adalah sekelompok kecil orang yang memiliki kendali atas suatu negara, organisasi, atau lembaga. Arti lainnya dari oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. (dari berbagai sumber).

Semoga manfaat.

Rabu, 19 Oktober 2022

PIDATO KEMANUSIAAN

 

Pidato Kemanusiaan*

Pada saat berada di Arafah Nabi berpidato, yang kemudian dikenal sebagai Khuthbat al-Wadā‘ (Pidato Perpisahan). Pidato ini merupakan salah satu peristiwa puncak dalam sejarah Islam. Bahkan, kalau dicermati secara lebih mendalam, pidato tersebut berisi tentang perikemanusiaan. Oleh karena itu, keberhasilan kita memahami dan menangkap makna dan semangat Pidato Perpisahan itu adalah bagian sangat penting dari usaha kita memahami dan menangkap pesan-pesan kemanusiaan dalam agama. Sebaliknya, kegagalan dalam hal itu akan sama dengan kegagalan menangkap bagian yang sangat sentral dalam ajaran agama, yang bahkan dapat menjerumuskan seorang pemeluk kepada praktik keagamaan yang kering, tanpa makna kemanusiaan, dan karena itu juga berarti tanpa makna pesan-pesan Ketuhanan yang paling mendalam: Bahwa dalam keberagamaan selalu ada kaitan organik antara segi vertikal (habl-un min-a ’l-Lāh) dalam ibadah dengan segi horizontal (habl-un min-a’l-nās) dalam kerja-kerja kemanusiaan.

Dalam Pidato Perpisahan itu, pertama-tama Nabi menegaskan bahwa manusia mempunyai hak-hak asasi. “Wahai sekalian umat

manusia, tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini, dalam hari apa kamu ini, dan di negeri apa kamu ini?” Mereka menjawab, “Kita semua ada dalam hari yang suci, bulan yang suci, dan tanah yang suci”. Nabi melanjutkan, “Oleh karena itu ingatlah bahwa hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci seperti sucinya hari dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang menghadap Tuhan, dan karena itu tidak boleh dilanggar”.

Dalam versi lain, kemudian Nabi bersabda sambil berteriak, “Apakah sudah saya sampaikan?” “Ya, Nabi! Engkau telah sampaikan”.

“Sekarang dengarkanlah aku. Dengarkanlah aku. Kamu akan hidup tenang. Ingatlah, kamu tidak boleh menindas orang (diucapkan sampai tiga kali), tidak boleh berbuat zalim kepada orang lain, dan harta seseorang itu tidak boleh diambil orang lain kecuali dengan cara sukarela!”

Dari sini jelas bahwa sudah sejak dini Islam menanamkan nilai

harkat kemanusiaan. Maka tidak aneh kalau dalam dokumendokumen

mengenai renaisans, orang Barat mengetahui penghormatan kepada manusia itu justru berasal dari Islam. Pada zaman renaisans, ada seorang filsuf, pemikir kemanusiaan dari Italia bernama Giovanni Pico Della Mirandola. Ketika diminta berorasi ilmiah di hadapan para pemimpin gereja, ia mengatakan bahwa ia mengetahui tentang harkat dan martabat manusia dari orangorang Arab Muslim. Adalah seorang bernama Abdullah ketika ditanya tentang apa yang paling dihormati di muka bumi, dia menjawab “manusia adalah makhluk Tuhan yang tertinggi”. Setelah itu Pico kemudian menguraikan paham kemanusiaannya— yang pada dasarnya menjadi inti dari agama Islam, sebagai agama kemanusiaan.

Salah satu pesan lain Nabi dalam Pidato Perpisahan itu adalah mengenai wanita. “Bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan  wanita, mereka mempunyai hak atas kamu, dan kamu mempunyai hak atas mereka”. Bahwa hak laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak memandang perempuan sebagai properti seperti pandangan jahiliah sebelum Islam. Persamaan demikian juga ditegaskan dalam al-Qur’an, “Mereka adalah pakaian untuk kamu dan kamu adalah pakaian untuk mereka,” (Q 2:187). Jadi, antara pria dan wanita — suami dan istri — saling menjadi pakaian, yang merupakan proteksi dan sekaligus hiasan.

Menurut bahasa al-Qur’an, “pakaian itu ialah untuk rnemelihara badanmu terutama kehormatanmu terutama sebagai perhiasan,” (Q 7:26). Maka, maksud suami dan istri saling menjadi pakaian dalam konsep al-Qur’an itu adalah saling melindungi dan saling menjaga kehormatannya. Karena itu istri atau suami tidak boleh dengan mudah membocorkan rahasia rumah tangga, dan harus saling menjaga nama baik. Nabi memperingatkan, “Jangan boleh ada orang yang tidur di tempat tidurmu kecuali kamu dan istrimu, dan janganlah istrimu mengizinkan orang yang tidak kamu sukai masuk rumahmu”.

Masuk rumah orang haruslah dari depan dengan mengetuk pintu dan memberikan salam, “Janganlah kamu masuk rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu minta izin dan memberikan salam,” (Q 24:27). Itu pun masih harus menunggu izin dari yang empunya rumah. “Dan kalau kamu tidak bisa diizinkan masuk, maka kamu harus pergi,” (Q 24:28). Masuk rumah orang boleh boleh asal selonong saja, ada aturannya, sebab dalam konsep agama Islam rumah adalah suci.

... Dan terhadap perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan tidak setia dan curang, nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah (sedikit). Tetapi bila sudah kembali setia, janganlah kamu mencari-cari alasan mempersulit mereka...,” (Q. 2: 233).  Artinya memberi jaminan hidup nafkah dan pakaian yang benar.

Dalam masalah ini diatur sedemikian rupa karena, seperti dijelaskan dalam sebuah hadis, “kamu mengambil wanita itu dengan amanat Allah, dan kamu dibenarkan bergaul sebagai suami-istri karena kalimat Allah”.

Kemudian Nabi mengatakan, “Barang siapa menerima amanat

hendaklah menunaikannya kepada yang berhak”. Contoh terbaik penunaian amanat adalah yang dilakukan Nabi sendiri, ketika menjadi orang terakhir dalam hijrah. Hal ini dilakukan karena Nabi ingin mengembalikan semua barang titipan kepada yang berhak. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi sesuai dengan gelarnya al-Amīn, orang yang dapat dipcrcaya, menjadi semacam bankir, tempat orang-orang kaya Makkah menitipkan barang-barang berharga meskipun mereka musuh Nabi. Tetapi karena dalam suasana begitu tegang dan ada orang yang ingin membunuh Nabi, maka yang mengembalikan barang-barang titipan adalah Ali ibn Abi Thalib dengan cara sangat rahasia. Berdasarkan fakta ini, tidaklah dibenarkan merampok harta orang kafir.

Kemudian Nabi berkata, “Sudah saya sampaikan, ya?” sampai

tiga kali. Semua menjawab, “Ya, Nabi, engkau telah sampaikan”. Setelah menyampaikan khutbah ini, sore harinya turun firman Allah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu,” (Q 5:3). Dan selang delapan puluh hari kemudian beliau wafat.

Dari pidato Nabi itu jelas bahwa puncak dari keagamaan adalah perikemanusiaan. Itulah yang harus ditangkap ketika orang pergi haji, karena haji tidak lain merupakan demonstrasi kemanusiaan universal, semua orang, kaya-miskin, tua-muda, laki-perempuan, hitam-putih, tidak ada bedanya. Haji merupakan ritus keagamaan yang sangat tegas menekankan masalah persamaan. Haji adalah drama kemanusiaan yang luar biasa. Dan makna ini harus bisa ditangkap, karena hanya dengan begitulah haji kita nanti akan menjadi haji mabrur. Dan oleh karena begitu pentingnya isi Pidato Perpisahan Nabi ini, Nabi berpesan kepada yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir.

 *Salah satu tulisan Norcholis Majid dalam karya lengkapnya dari halaman 4739 s.d 4742

Minggu, 18 September 2022

TELAAH KITAB TAFSIR AL-QURTUHUBIY

 

KITAB TAFSIR AL-QURTHUBI

 

       I.          Pendahuluan:  

Tafsir, menurut bahasa berarti: الإيضاح والتبيين yaitu: menerangkan dan menjelaskan, sebagaimana firman Allah SWT. pada surat Al-Furqan;

وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[1]

Tafsir terambil dari kata: F, S, R, yang berarti: Al-Ibanâtu wal Kasyfu (menjelaskan dan mengungkapkan). Al-Fasru berarti: menjelaskan dan membuka penutup. Ada dua penggunaan kata: Tafsir: (1). Pengungkapan sesuatu lewat indrawi, dan (2). Pengungkapan sesuatu secara rasional. Dan kata Tafsir digunakan dalam ranah kedua justru lebih banyak dari yang pertama.

Adz-Dzahabi dalam kitabnya: At-Tafsir wal Mufassirun[2], mengemukakan beberapa definisi oleh para ulama walau redaksi berlainan, namun maknanya satu. Abu Hayyan mendefinisikan tafsir dalam kitabnya: Al-Bahrul Muhith, sebagai ilmu: “Ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal Al-Qur’an[3], cara mengetahui petunjuknya[4], hukum-hukumnya, yang tunggal kalimatnya maupun yang tersusun[5], maknanya yang terkandung dalam susunan kalimat[6], dan penyempurnaannya untuk itu”[7]

Sedangkan Az-Zarkasyi dalam kitabnya, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, mendefinisikan, bahwa tafsir adalah: Ilmu yang dipakai untuk memahami kitab Allah SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya ...”[8]

     II.          Perkembangan Tafsir:

Bila kita mengikuti makna tafsir seperti tersebut, maka tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan sesuai kondisi zamannya serta pemikiran penulis yang melatarinya. Di samping penafsiran mereka --para ulama tersebut-- dapat mencerminkan perkembangan corak pemikirannya.

Para penafsir Al-Qur’an masa awal, yang disebut dengan Mutaqaddimin (sebelum tahun 300 H) adalah ulama yang hidup sebelum masa abad ke-3 Hijrah. Pada masa ini dapat dipilah-pilah menjadi 3 (tiga) periode:

1.     Periode awal Islam (Rasul dan sahabat) abad ke-1 H.

2.     Periode Tabi’in pada abad ke-1 H. sampai abad ke-2 H.

3.     Periode Tabi’it Tabi’in, abad ke-2 dan ke-3 H.[9]

Sedangkan Muta’akhirin adalah para ulama setelah tahun 300 H, yang hidup dan berkembang setelah abad ke-3 H. sampai abad ke-12 H.

Ulama Mutaqaddimin, dengan kata lain: Salaf, sumber penafsirannya didapat dari Rasul SAW. Penafsiran oleh sahabat dan Tabi’in dikelompokkan tafsir bil ma’tsur. Sedangkan para ulama muta’akhirin (Khalaf) tidak hanya mengikuti corak tafsir bil-ma’tsur, tapi juga mereka berusaha mengembangkan lebih dari itu.[10]  

Dan sampai sekarang, perkembangan tafsir al-Qur’an, baik bentuk dan ragamnya mengalami penyempurnaan, sesuai alur zamannya. Bila ditilik corak penafsiran Al-Qur’an, maka ditemukan ada 4 (empat) kategori sebagai berikut:

 a.      Tahlili (تحليلي)

Penafsiran model Tahlili, yaitu penafsir mengkaji ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutan dengan mashaf Utsmani. Metode semacam ini digunakan oleh ulama masa dahulu, yang menghasilkan karya tafsir berjilid-jilid tebal. Masuk dalam kategori Tahlili ini adalah penafsiran model: Tafsir Bil Ma’tsur, Tafsir Bir Ra’yi, Tafsir ala Shufi, Tafsir Fiqhi, Tafsir Falsafi, Tafsir Ilmiy, dan Tafsir Adabiy,

 b.     Ijmali (اجمالي)

Tafsir Ijmali ini adalah model pebafsiran Al-Qur’an dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar --terkesan bertele-tele--. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti/ teks ayat tanpa menyinggung selain yang dikehendaki.

c.      Muqaron (مقارن)

Tafsir model ini adalah bentuk tafsir perbadingan, yaitu mufassirnya mengambil ayat, lalu dikemukakan beberapa pendapat ulama tentang ayat tersebut, lalu penafsir tersebut mengambil sikap mendukung salah satu pendapat atau malah mengemukakan pendapatnya sendiri.

d.     Maudhu’i (موضوعيّ)

Metode Maudhu’i atau tematik ini oleh mufassirnya disusun tema-tema pokok yang terdapat dalam masyarakat sebagai jawaban atas pertanyaan mereka. Ini adalah model terbaru penafsiran Al-Qur’an untuk menjawab problem masa kini.  

Perkembangan penafsiran terhadap Al-Qur’an seperti tersebut di atas akan dapat diketahui produk tafsir karya mufassir

      III.        TAFSIR AL-QURTHUBI

a.      Nama Tafsir

Nama lengkap tafsir Al-Qurthubi adalah:

            الجامعُ لأحكامِ القُرآنِ والمُبَيّنُ لما تضمنتهُ من السنة وآي الفرقان

(Himpunan hukum-hukum Al-Qur’an  dan menjelaskan  hal-hal yang termuat oleh Sunnah dan ayat-ayat Al-Qur’an)

Kitab tersebut adalah karya besar Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al Qurthubi Al Andalusie yang lahir di Kordoba pada tahun  1214 M. Ia meninggal dunia di Munya Abi'l-Khusavb, Mesir, pada tahun 1273 M/ 671 H. Kitab beliau tersebut ditahqiq oleh DR. Abdullah At Turky (24 jilid). Telah terbit dari "Ar-Risalah Press" yang bermarkas di Bairut - Libanon cetakan pertama (1427 H)

Sesuai dengan namanya, tafsir ini menafsirkan semua ayat-ayat Al Qur'an, bedanya dengan kitab-kitab tafsir lain, ialah konsenterasi menafsirkan secara khusus ayat-ayat yang mengandung hukum di dalam Al Qur'an. Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir terbaik yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al Qur'an. Ia merupakan kitab tafsir lengkap dibidangnya.

 

b.     Metode Tafsir Al Qurthubi:

Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan metode seperti berikut:

1.     Menjelaskan sebab turunnya ayat,  

2.     Menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta menjelaskan tata bahasanya,

3.     Mengungkapkan periwayatan hadits,

4.     Mengungkapkan lafaz-lafaz yang gharib di dalam Al Qur'an,

5.     Memilah-milih perkataan fuqaha, dan mengumpulkan pendapat ulama salaf dan para pengikutnya.

Dan argumentasi yang digunakan beliau banyak dikuatkan dengan sya'ir arab, mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir pendahulunya setelah menyarikan dan mengomentarinya, seperti Ibnu Jarir, Ibnu Athiya, Ibnul- Arabi, Ilkya Al Harasi, Al Jasshash dll....

Al Qurthubi juga dalam metode penafsirannya menconter kisah-kisah ahli tafsir, riwayat-riwayat ahli sejarah dan periwayatan-periwayatan israiliyat, sekalipun banyak juga mengambil dari sisi-sisi itu dalam tafsirnya. Dan ia pula menantang pendapat-pendapat filosof, mu'tazilah dan sufi kolotan serta aliran-aliran lainnya. Ia menyebutkan pendapat-pendapat ulama mazhab dan mengomentarinya, ia juga tidak ta'assub (fanatik) dengan mazhab Malikiahnya. Sebaliknya Al Qurthubi terbuka dalam tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkatnya, serta penguasaan ilmu syariat yang mendalam (rasikh).

Kitab tafsir ini sangat bagus dibanding dengan kitab-kitab tafsir ahkam Al Qur'an sebelumnya, karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu, mencakup segala aspeknya. Kitab ini tentunya sangat dibutuhkan oleh dunia intelektual, terlebih lagi bagi mereka yang menempuh Program Pasca Sarjana Universty of Wahid Hasyim Semarang, serta para santri dan cendekia-cendekia muda Nahdliyin, yang bangkit dan membangkitkan diri dalam ketiduranpemikirannya.  

 

c.      Contoh penafsiran Al-Qurthubi dalam surat Al-Fatihah:

Tentang Basmalah bukan ayat dari surat Al-Fatihah atau surat lainnya kecuali dalam surat An-Namel, (27): 30 . Setelah dikemukakan pendapat para ulama, Al-Qurthubi menjelaskannya, bahwa Basmalah boleh dibaca lirih dalam Al-Fatihah oleh Abu Hanifah dan Ats-Tsauri. Di bawah ini ada tertulis:

 

الرابعة ... وقد اختلف العلماء في هذا المعنى على ثلاثة أقوال:

          )الأول) ليست بآية من الفاتحة ولا غيرها؛ وهو قول مالك.

          )الثاني) أنها آية من كل سورة؛ وهو قول عبد الله بن المبارك.

          )الثالث) قال الشافعي: هي آية في الفاتحة؛ وتردد قوله في سائر السور؛ فمرة قال: هي آية من كل سورة، ومرة قال: ليست بآية إلا في الفاتحة وحدها. ولا خلاف بينهم في أنها آية من القرآن في سورة النمل.

الخامسة: الصحيح من هذه الأقوال قول مالك؛ لأن القرآن لا يثبت بأخبار الآحاد وإنما طريقه التواتر القطعي الذي لا يختلف فيه. قال ابن العربي: ويكفيك أنها ليست من القرآن اختلاف الناس فيها، والقرآن لا يختلف فيه

Demikian contoh penafsiran Al-Qurthubi dalam tafsirnya, dan masih banyak lagi tentunya yang sedikit beda di telinga kita.

 

d.     Kesimpulan:

Berikut kesimpulan sementara yang dapat kami kemukakan, sbb.:

1.     Al-Qurthubi adalah orang yang ahli tafsir bermazhab Malik, yang lahir di Kordoba dan meninggal di Mesir.

2.     Spisifikasi Kitab tafsirnya adalah beraroma hukum dalam bidang kajiannya

3.     Tafsirnya menggunakan system Tahlili.

4.     Beliau adalah tokoh Ahlissunnah wal Jamaah, penerus mazhab Malik, salah satu imam mazhab dalam ASWAJA.

Sekian



[1] QS. Al-Furqan, 25: 33

[2] Adz-Dzahabi, DR. Muhammad Husain, At-Tafsir wal Mufassirun, I: 5 (Maktabah Syamelah ishdar tsani). Baca juga: Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an, I: 13

 

[3]Ilmu Qira’at

[4] Petunjuk lafal, yakni vocabulary atau kosa kata.

[5]Yang berkaitan dengan ilmu shorof, i’rab,  badi’ dan bayan.

[6]  Makna hakikat/ majaz

[7]Dalam rangka mengetahui nasakh-mansukh, asbabun nuzul, kisah-kisah yang diungkap dalam Al-Qur’an, dll. 

[8]Az-Zarkasyi, Muhammad bin Bahadur bin Abdullah,  Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, (Bairut: Darul Ma’rifah, 1391), I: 13 (Maktabah Syamelah ishdar tsani)

[9]Al Munawar, Prof. Dr. H. Said Agil Husin, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Abdul Halim (ed), (Jakarta: Ciputat Press, 2004), cet. 3, hal. 61

[10] Ibid, hal. 62