KAUM MUSLIM DAN
PART ISIPASI SOSIAL-POLITIK
Masalah Hak-hak Individual dan Sosial
yang Tak Teringkari
(0leh: Norcholis Majid)
Dari berbagai sudut tinjauan, di
mata banyak para pengamat, proses demokratisasi di negeri kita merupakan
keharusan yang hampir tak terelakkan. Alasannya, kemajuan tertentu yang telah
dicapai oleh negeri kita, khususnya peningkatan dan pemerataan kecerdasan
rakyat banyak, telah memperlebar jalan bagi kemungkinan adanya partisipasi
sosial-politik, atau, setidaknya, mempertinggi tuntutan partisipasi itu jika
struktur sosial-politik resmi yang ada belum memberikannya.
Sebagai proses, pertumbuhan
demokrasi di negeri kita bisa terhambat, dengan segala konsekuensinya, jika
kita semua sebagai warga negara maupun sebagai penguasa tidak mampu mendeteksi gejala
perubahan kualitatif yang terjadi pada masyarakat kita, sehingga kita
kehilangan daya untuk membuat antisipasi dan inisiatif menghadapi masa depan.
Kecerdasan umum yang jelas sekali saat ini cukup jauh lebih tinggi daripada
sekitar dua dasawarsa yang lalu tentu membawa serta meningkatnya berbagai
tuntutan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dan terutama tuntutan untuk partisipasi
sosial-politik. Bangunan atas (upper structure) yang tidak bersesuaian dengan perkembangan masyarakat dan
perubahannya itu akan dengan sendirinya berdampak menghambat laju proses demokratisasi
itu tidak akan berjalan lancar dan terarah dengan baik jika tidak didukung oleh
kesadaran bagian terbesar warga negara yang terdiri dari kaum Muslim akan hak
dan kewajiban sosial-politik mereka.
Partisipasi politik itu sendiri
sesungguhnya cukup problematik. Jangankan di suatu negeri yang masih sedang
berkembang seperti negeri kita, di negeri yang telah maju pun, atau bahkan
paling maju semisal Amerika, partisipasi politik itu merupakan problem. Tentang
Amerika itu, umpamanya, Robert Dahl mengatakan bahwa rendahnya partisipasi
politik di New Haven, Connecticut, bukanlah hal luar biasa, melainkan merupakan
kenyataan umum di Amerika yang cukup mengherankan. Dahl mengatakan yang menjadi
pusat perhatian rakyat pemilih di New Haven, sebagaimana di Amerika pada
umumnya, bukanlah masalah-masalah politik, baik lokal, negara bagian, nasional
maupun internasional. Semuanya itu, kata Dahl, berada di pinggiran luar
perhatian, minat, kepentingan, dan kegiatan warga masyarakat. Yang menjadi
pusat perhatian dalam hidup kebanyakan orang ialah kegiatan-kegiatan primer yang
menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan, tempat
berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan sebangsanya. Dua
pertiga para pemilih terdaftar menyebutkan perhatian pokok mereka ialah
masalah-masalah pribadi tersebut, dan hanya seperlima dari mereka menunjukkan minat
kepada politik.1
Kutipan yang relevan dari seorang ahli itu kita kemukakan sebagai
peringatan agar kita tidak mempunyai bayangan dan angan-angan yang kurang
realistis mengenai kemungkinan bentuk dan tingkat partisipasi politik di negeri
kita di masa datang.
Islam dan Partisipasi Politik
Di zaman modern ini, suatu kebiasaan di kalangan kaum Muslim dalam
pembicaraan mengenai cita-cita politik ialah menyebutkan masa-masa al-Khulafā’
al-Rāsyidūn (para khalīfah yang bijaksana) sebagai masa-masa teladan. Meskipun cara
penglihatan yang dilakukan terhadap masa-masa itu banyak yang merupakan hasil rekonstruksi
yang tidak sedikit mengalami idealisasi, namun, menurut Robert N. Bellah, tetap
mengandung berbagai alasan yang cukup substantif. Bahkan, menurut ahli
sosiologi agama terkemuka ini, sebagaimana telah sering kita kemukakan dan bahas
di tempat lain, masyarakat Islam klasik itu modern secara mencolok (remarkably
modern) begitu rupa sehingga tidak bertahan
lama (hanya sebatas pada masa empat khalīfah pertama saja yang berlangsung sekitar tidak lebih dari tigapuluh
tahun), dan “gagal” (maksudnya, sistem itu digantikan oleh sistem lain yang
“tidak modern” karena bersifat kekabilahan [tribal] dari tatanan politik rezim
Banu Umayyah di Damaskus). “Kegagalan” tersebut karena saat itu belum ada
infrastruktur sosial untuk menopangnya.2
Ada beberapa hal yang membuat Bellah
menilai bahwa masyarakat Islam paling dini itu modern. Di antaranya, tingkat
partisipasi politik yang terbuka dan tinggi dari seluruh jajaran anggota
masyarakat. Juga keterbukaan dan kemungkinan posisi pimpinan masyarakat itu
untuk diuji kemampuan mereka berdasarkan ukuran-ukuran yang universal (berlaku
bagi semua orang), yang dilambangkan dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidak
berdasarkan warisan atau keturunan, tetapi berdasarkan pemilihan (apa pun bentuk
teknis pemilihan itu pada masa tersebut).3
Pangkal kesadaran yang amat asasi
ini cukup umum, dan dicerminkan antara lain dalam diktum, “al-i‘tibār-u fī
’l-jāhilīyat-i bi l-ansāb-i wa
’l-i‘tibār-u li ’l-islām-i bi ’l-a‘māl-i” =الاعتبار في
الجاهلية بالأنساب والإعتبار للإسلام بالأعمال) Penghargaan
di masa Jahiliyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan di masa
Islam berdasarkan hasil kerja [prestasi)”. Dengan perkataan lain, dalam jargon
ilmu sosial modern, sistem masyarakat Islam adalah universalistik dan terbuka,
karena menggunakan tolok ukur prestasi untuk menilai seseorang; sedangkan
masyarakat Jāhilīyah
atau yang sejenis itu adalah masyarakat askriptif dan tertutup, karena
menggunakan tolok ukur seperti faktor keturunan untuk menilai seseorang.
Seperti diungkapkan Ibn Taimiyah, masyarakat Arab Jāhilīyah mengutamakan anggota keluarga para kepala suku (ahl bayt
al-ru’asā’), sebagaimana masyarakat Persia
mengutamakan anggota keluarga raja (ahl bayt al-mālik).4
Karena keterbukaannya, ciri utama
masyarakat universalistik seperti Islam ialah adanya kesempatan bagi
partisipasi sosialpolitik yang luas, sedangkan masyarakat partikularistik
membatasi partisipasi itu hanya kepada kalangan tertentu yang memenuhi syarat
menurut ukuran-ukuran askriptif tertentu.
Dari masa dini Islam itu, tingkah laku politik Umar ibn al-Khaththab,
Khalifah II, selalu dirujuk sebagai teladan dalam partisipasi politik yang
meliputi seluruh warga. Namun sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Umar (dan
Abu Bakr sebelumnya, sebagaimana dituturkan kembali dengan baik sekali oleh
Thaha Husayn, seorang sastrawan Arab Mesir modern, dalam bukunya al-Syaykhānī), kurang lebih hanyalah replika dari apa yang telah diteladankan
oleh Sunnah Nabi sendiri, sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Suci. Sebab,
partisipasi sosial-politik itu sesungguhnya adalah wujud lain ajaran tentang
musyawarah atau syūrā, sebagaimana
menjadi gambaran ideal dalam Kitab Suci tentang masyarakat kaum beriman, “...dan segala
perkara mereka (diselesaikan melalui sistem)
musyawarah antara sesama mereka....,” (Q
42:38). Memberi komentar atas firman suci ini, A. Yusuf Ali mengatakan sebagai
berikut: “Musyawarah.”
Inilah kata-kata kunci dalam surat ini, dan menunjukkan cara ideal yang harus
ditempuh oleh seorang yang baik dalam berbagai urusannya, sehingga, di satu
pihak, kiranya ia tidak menjadi terlalu egoistis, dan, di pihak lain, kiranya
ia tidak dengan mudah meninggalkan tanggung jawab yang dibebankan atas dirinya
sebagai pribadi yang perkembangannya diperhatikan dalam pandangan Tuhan...
Prinsip ini sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau, baik
pribadi maupun umum, dan sepenuhnya diikuti oleh para penguasa Islam masa awal.
Pemerintahan perwakilan modern adalah suatu percobaan — yang tidak bisa disebut
sempurna— untuk melaksanakan prinsip itu dalam urusan Negara.5
Penegasan Yusuf Ali bahwa Nabi saw.
selalu melaksanakan musyawarah dalam segala perkara (selain perkara keagamaan
murni, tentu saja) itu sejalan dengan gambaran Thaha Husayn: Adapun bila beliau
(Nabi) bermusyarawah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang
tidak disebutkan dalam al- Qur’an, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat
perintah (langsung) dari atas, maka hak mereka (para sahabat) itu untuk memberi
pendapat dan juga untuk mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah
pasti akan melakukannya. Contohnya ialah ketika Nabi saw. menempatkan (pasukan)
sahabat beliau pada suatu posisi sewaktu Perang Badar, kemudian al- ubab ibn
al-Mundzir ibn al-
Jamuh (seorang sahabat) bertanya, “Ini perintah yang diturunkan Allah
kepada engkau ataukah pendapat dan musyawarah?” Nabi menjawab,
“Ini hanyalah pendapat dan musyawarah.” Maka dia (al- ubab)
menyarankan kepada beliau (Nabi) posisi lain yang lebih cocok
untuk kaum Muslim, dan beliau menerima sarannya itu.6
Jadi Nabi saw. telah meletakkan
dasar-dasar sistem sosial-politik yang terbuka,
yang memberi keleluasaan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman.
Inilah yang dimaksudkan Bellah bahwa dasar-dasar yang diletakkan oleh Nabi itu
kemudian dikembangkan oleh para pengganti (khalīfah) sesudahnya, dan menghasilkan tatanan sosial-politik yang untuk
ruang dan waktunya sangat modern.7.
Tingkah laku kepemimpinan politik
Umar, misalnya,
dilukiskan oleh Thaha Husayn sebagai berikut:
Dan Umar itu jika dihadapkan kepada suatu masalah, ia akan mencarinya
dalam Kitab Allah, maka jika ditemukannya pemecahan bagi
masalah itu ia akan melaksanakannya tanpa ragu; dan jika tidak ditemukannya
dalam Kitab Allah, ia akan mencarinya dalam Sunnah Nabi saw., maka jika
ditemukannya di situ pemecahannya ia akan melaksanakannya, juga tanpa ragu; dan
jika tidak ditemukannya, ia akan berijtihad dengan pendapatnya sendiri dan ia
akan laksanakan apa saja yang akan membawa kebaikan orang-orang Muslim. Dan Umar
selalu mengajak bermusyawarah para sahabat Nabi saw. kalaukalau ada pada
seseorang dari mereka suatu hadis dari sunnah Nabi, atau kalau-kalau ada
sebagian dari mereka bisa memberi saran dengan suatu pendapat yang akan membawa
kebaikan dan kesejahteraan kaum Muslim. Umar memerintahkan para gubernur dan
para hakim untuk bertindak seperti tindakannya itu, dan agar tidak seorang pun
dari mereka berijtihad dengan pendapatnya sendiri kecuali setelah meneliti dengan
seksama al-Qur’an dan Sunnah kemudian tidak menemukan di dalamnya sesuatu yang
dapat digunakan untuk mengambil keputusan; saat itulah ia harus berijtihad dan
bermusyawarah.8
Masalah Hak Individual dan Sosial yang Tak Teringkari
Adanya tingkat partisipasi sosial-politik yang tinggi dalam Islam itu
berakar dalam adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh diingkari.
Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanya tanggung jawab bersama
terhadap kesejahteraan para warga, dan hak masyarakat itu atas pribadi para
warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat.
Jadi hak dan
kewajiban adalah sesungguhnya dua sisi dari satu kenyataan hakiki
manusia, yaitu harkat dan martabatnya. Oleh karena itu hak
yang mengandung makna kebebasan itu merupakan milik paling berharga manusia,
dan kewajiban yang menjadi sisinya itu merupakan kehormatannya. Sebuah adagium
mengatakan:
لا شيء أثمن من
الحرية ولا سعادة أكبر من القيام بالواجب
“Tidak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kebebasan, dan tidak
ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menunaikan kewajiban”.
Hak perorangan yang tak teringkari itu berpangkal pada prinsip
bahwa pada instansi paling akhir, tanggung jawab manusia kepada Tuhan dalam
Pengadilan di Hari Perhitungan (Yawn al- Hisāb), yakni, Hari Kiamat, akan dilakukan sepenuh-penuhnya oleh
masing-masing pribadi. Kita dapatkan berbagai gambaran yang
menegaskan individualitas tanggung jawab manusia dalam Pengadilan
Ilahi itu dalam Kitab Suci. Antara lain:
“Wahai manusia! Bertakwalah kamu sekalian kepada
Tuhanmu! Dan waspadalah kamu semua terhadap Hari (Kiamat) ketika tidak sedikit pun
seorang orangtua dapat menolong anaknya dan seorang anak dapat menolong
orangtuanya; sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terlaksana), maka
janganlah kamu semua terkecoh oleh kehidupan duniawi (kehidupan rendah), dan
janganlah al-gharūr (kekuatan jahat
yang selalu menggoda, yakni, setan) itu sempat menggoda kamu sekalian tentang
Allah,” (Q 31:33).
“Dan waspadalah kamu semua terhadap Hari
(Kiamat) ketika seorang pribadi (jiwa) tidak akan dapat menolong pribadi (jiwa)
yang lain, dan ketika dari dia itu tidak akan diterima perantaraan, juga dari dia
itu tidak akan diambil tebusan, lagi pula mereka itu semua tidak akan dibantu
(oleh siapa pun),” (Q 2:48).
“Wahai sekalian
orang yang beriman! Dermakanlah sebagian dari harta yang Kami (Allah)
karuniakan kepadamu itu sebelum tiba Hari (Kiamat) yang saat itu tidak lagi ada
transaksi, juga tidak ada persahabatan (solidaritas) dan tidak pula ada
perantaraan (intersesi). Dan mereka yang kafir (menolak seruan ini) adalah
orang-orang yang zalim,” (Q 2:254).
Individualitas
tanggung jawab manusia dalam Pengadilan Ilahi itu membawa
sisi lain prinsip hidup manusia, yaitu bahwa manusia tidak akan
dituntut pertanggungjawaban kecuali atas apa yang pernah ia lakukan sendiri,
baik langsung maupun tidak langsung. Maka penting
sekali kita menyadari prinsip ini, seperti ditegaskan dalam Kitab
Suci:
“Belum
pernahkah ia (individu manusia) mendapat keterangan tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci Musa,
dan (lembaran-lembaran suci) Ibrahim yang setia?! Bahwa tidak seorang pun penanggung beban (dosa)
akan menanggung beban (dosa)
orang lain mana pun juga, dan bahwa
manusia tidak mendapat sesuatu kecuali yang ia usahakan, dan bahwa usahanya itu (kepadanya) akan
diperlihatkan, kemudian akan
dibalas dengpn sepenuh-penuh balasan,” (Q 53:36-41).
Maka
salah satu konsekuensi amat penting dari individualitas tanggung jawab
manusia di hadapan Tuhan — suatu tanggung jawab dalam instansi yang final itu —
ialah adanya praanggapan bahwa seorang individu
berkemungkinan dan mampu memilih sendiri secara bebas
keyakinannya tentang apa yang benar dan baik.
Jika
kebebasan serupa itu tidak ada baginya, akan menjadi
mustahil dan absurd untuk
menuntut suatu pertanggungjawaban dari dia atas apa yang diperbuatnya (secara
terpaksa). Sebab, tuntutan seperti itu akan merupakan kezaliman dari pihak
penuntut, atau akan menjadi perlakuan tidak
adil kepada yang dituntut.
Kebebasan memilih dan menentukan sendiri keyakinan pribadi adalah
hak yang paling asasi pada manusia. Itulah sebabnya mengapa agama dan keyakinan
tidak boleh dipaksakan, sebab pemaksaan dalam hal itu akan dengan sendirinya
menghilangkan nilai keyakinan itu sendiri. Hendaknya setiap pribadi memilih
keyakinannya dengan bebas dan penuh tanggung jawab atas segala risiko dan
konsekuensinya, dan untuk itu manusia telah dibekali dengan kemampuan mengenali
kebenaran dari kepalsuan, dan kebaikan dari kejahatan (konsep fithrah dan hati nurani). Di samping itu, jalan hidup yang benar itu
sendiri telah dibuat jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat, sehingga
sesungguhnya tidak ada alasan bagi seorang individu untuk terjebak ke dalam
tindakan “salah pilih”, asalkan ia betul-betul menggunakan kemampuan akal dan
hati nurani untuk membuat pertimbangan:
“Kalau seandainya Tuhanmu (wahai Muhammad)
menghendaki, maka pastilah beriman semua orang di bumi; karena itu apakah
engkau akan memaksa umat manusia sehingga mereka menjadi beriman semua?” (Q 10:99).
“Tidak ada paksaan dalam agama; kebenaran telah
jelas berbeda dari kepalsuan. Barang siapa menolak tirani kejahatan dan
beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang dengan tali yang kukuh
yang tidak bakal putus. Allah itu Maha
Pendengar dan Mahatahu,” (Q 2:256).
“Katakan (wahai Muhammad), ‘Kebenaran itu datang
dari Tuhanmu sekalian.’ Maka
barang siapa menghendaki, biarlah ia percaya (beriman); dan barang siapa menghendaki, biarlah ia
menolak (kafir). Sesungguhnya
Kami (Tuhan) telah menyediakan neraka untuk mereka yang zalim (jahat)...,” (Q 18:29).
“Janganlah engkau (masing-masing) pribadi
mengikuti sesuatu yang engkau tidak
mengerti mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semuanya itu,
akan dituntut pertanggungjawaban atas sesuatu
(yang kau ikuti) itu.” (Q 17:36).
Begitulah
beberapa dasar hak kebebasan pribadi untuk memilih keyakinan dan
kegiatan sesuai dengan keyakinan itu, sebagaimana diajarkan dalam Kitab Suci.
Jika hak itu tidak terdapat dalam masyarakat atau negara, maka setiap individu
warga negara itu berkewajiban menuntutnya, sejalan dengan diktum “al-haqq-u
yuthlab-u lā yu‘thā” (Hak itu dituntut, tidak diberikan). Pasalnya, dalam
teori politik dan kekuasaan, boleh dikatakan tidak ada penguasa yang akan
dengan suka rela memberikan kepada rakyatnya hak-hak yang menjadi milik mereka.
Sebab, pemberian hak-hak serupa itu akan dapat berarti pengurangan bagi
kekuasaan mereka. Dan menuntut hak pribadi
yang asasi itu merupakan salah satu bentuk partisipasi sosial-politik yang amat
penting dalam suatu tatanan masyarakat.
Jika
kebebasan telah dituntut namun tidak juga terwujud, maka individu bersangkutan
lepas dari tanggung jawabnya atas perbuatan dan sikap yang dilakukannya secara
terpaksa:
“Sesungguhnya
mereka yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah itu telah menciptakan
kepalsuan. Mereka itulah kaum pembohong. Yaitu siapa saja yang ingkar kepada
Allah sesudah beriman, kecuali yang terpaksa namun hatinya mantap dalam iman.
Tetapi barang siapa membuka dadanya
untuk kekafiran, maka mereka akan mendapat murka dari
Allah, dan bagi mereka adalah azab yang besar,” (Q 16:105-106).
Jadi
ditegaskan dalam firman itu bahwa tiadalah tanggung jawab
jika orang
dipaksa atau terpaksa. Tanggung jawab hanya ada pada orang yang
“membuka dadanya” (artinya, bersikap bebas dan sukarela)
terhadap sesuatu yang ia yakini. Namun demikian,
itu semua tidaklah berarti individu manusia dapat dibiarkan
atau diperbolehkan bertindak semau-maunya.
Pilihan
kepada suatu sistem keyakinan yang dilakukan secara bebas sesuai dengan hak asasi itu mengandung dalam dirinya kewajiban untuk mewujud-nyatakan tuntutan keyakinan itu dalam amal perbuatan atau
tindakan. Tanpa usaha perwujud-nyataan itu, suatu keyakinan tidak memiliki
makna apa-apa, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain.
Sekarang, begitu seorang individu
melangkahkan dirinya dari tahap keyakinan ke tahap perbuatan atau tindakan, maka ia tidak lagi
berada semata-mata sebagai individu yang lepas dan bebas sepenuhnya. Ia kini
berada dalam jaringan pergaulan dengan individuindividu lain,
dan ia harus memperhitungkan mereka itu dalam perbuatan dan
tindakannya. Karena itu tindakannya haruslah bernilai “saleh” (shālih), yang makna etimologisnya ialah “cocok” atau “sesuai”, yakni,
antara lain, cocok dan sesuai dengan hak dan kepentingan individu-individu lain
itu, dengan bukti membawa hasil kebaikan bersama.
Agar ketentuan itu terwujud, maka
mau tidak mau seorang individu, dalam hubungannya dengan individu yang lain, harus memperhatikan
dan mempertimbangkan hak individu itu, sehingga terjalinlah
hubungan antarindividu yang disusun melalui pemenuhan hak
dan kewajiban masing-masing secara seimbang.
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas, hak dan kewajiban adalah dua sisi dari kenyataan asasi manusia. Hak merupakan milik primordial seorang
individu, dan kewajiban merupakan wujud pembatasan hak individual itu oleh hak
individual orang lain. Ini digambarkan dalam sebuah diktum terkenal, “hurrīya-u
’l-mar’I mahdūd-un bi hurrīyat-i siwāh-u”
(Kebebasan seorang individu dibatasi
oleh kebebasan individu lainnya).
Maka amal perbuatan selalu bersifat
sosial, sekalipun titiktolaknya ialah motivasi yang selalu bersifat pribadi. Meskipun dalam kehidupan
sehari-hari biasa terjadi pembicaraan tentang motivasi seseorang dalam
perbuatannya, namun sebenarnya mustahil kita mengurusi motivasi itu, karena
motivasi atau niat dengan sendirinya berada dalam lubuk hati yang bersangkutan
(“Dalam laut dapat
diduga, dalam hati siapa tahu?”). Karena itu pada tingkat sosial kita
berurusan dengan tindakan-tindakan lahiriah lebih banyak daripada
dengan tindakan-tindakan batiniah.
Namun demikian, dan lebih jauh,
semua prinsip tersebut tidaklah berarti dibenarkannya membiarkan masing-masing individu dalam
masyarakat untuk bertindak sesuka hatinya. Justru aspek amat
penting dari tanggung jawab itu, yang merupakan hak sosial atau masyarakat
terhadap individu-individu warganya, ialah agar
masing-masing orang bersedia meletakkan dirinya dan amal
perbuatannya dalam jaringan pengawasan masyarakat (social control). Sebab, suatu kenyataan yang tidak mungkin diingkari ialah
keterbatasan kemampuan seorang individu manusia untuk menangkap dan memahami
persoalan hidup ini secara tepat dan
benar. “... kamu tidaklah diberi pengetahuan melainkan sedikit saja,”
(Q 17:85). Karena itu selalu ada kemungkinan, persepsi seseorang
tentang yang benar dan salah serta yang baik dan buruk, itu
keliru. Dan hal itu lebih-lebih lagi akan menjadi serius jika yang bersangkutan
kebetulan adalah seorang penguasa.
Dari situlah antara lain berpangkal
ajaran dan perintah untuk bermusyawarah, di mana para warga saling memberi isyarat atau saran
tentang apa yang benar dan baik. Dan ini menjadi pangkal adanya hak masyarakat
terhadap individu, yaitu individu itu harus memperhatikan dan memperhitungkan
kepentingan masyarakat. Maka, selanjutnya, guna memungkinkan adanya proses musyawarah yang
sehat dan benar, dalam masyarakat diperlukan adanya mekanisme
dan tatanan yang memungkinkan terjadinya dialog dan tukar
pikiran secara bebas, dalam kerangka saling memberi dan
menerima saran tentang apa yang benar dan baik. Inilah yang menjadi
salah satu maksud atau tafsir tentang apa yang disebut dalam
surat al-‘Ashr
“... dan saling berpesan sesamanya tentang
kebenaran...,” (Q 103:3). Dan itu pula dasarnya sehingga bahkan Nabi saw. pun,
dalam urusan kemasyarakatan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, juga
menjalankan musyawarah, sesuai dengan petunjuk Ilāhī, “... Dan bermusyawarahlah
engkau (wahai Muhammad) dengan mereka (para sahabatmu) dalam segala perkara
(kemasyarakatan); maka jika engkau telah mengambil keputusan, bertawakallah
kepada Allah,” (Q 3:159).
Jadi, adanya musyawarah adalah hak
masyarakat terhadap para warganya, dan para warga itu mempunyai kewajiban untuk
mengindahkan dan melaksanakan hasil musyawarah itu dengan penuh pasrah dan
tawakal kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Sikap penuh pasrah dan tawakal
kepada Allah itu amat diperlukan, karena mungkin sekali, dan memang acapkali
terjadi, pelaksanaan hasil suatu musyawarah bersama itu berat, terutama bagi
yang kebetulan “kalah” (yang juga dialami oleh Nabi sendiri dalam musyawarah
untuk menentukan strategi Perang Uhud). Tetapi sikap pasrah dan tawakal kepada
Yang Mahakuasa itu juga amat diperlukan, karena usaha bersama menciptakan masyarakat
yang baik selalu menuntut ketabahan, keuletan, jiwa perjuangan dan pengorbanan,
kemampuan melihat masa depan yang jauh, dan kesediaan menunda banyak
kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Maka dari itu, bergandengan
dengan ketentuan “saling berpesan sesamanya tentang kebenaran” tersebut tadi
ialah ketentuan “saling berpesan sesamanya tentang kesabaran,” (Q 103:3). Dan barangkali
pesan kesabaran atau ketabahan itu meliputi keharusan membuat
usaha atau gerakan bersama yang tersusun, dengan perencanaan dan
strategi jangka panjang dan jangka pendek.
Dilihat dari perspektif tersebut,
surat al-‘Ashr
yang amat dikenal dan dihafal kaum Muslim itu meringkaskan prinsip
tentang kehidupan yang akan membawa kepada kebahagiaan, yaitu iman yang menjadi
sumber dasar bagi adanya komitmen kepada nilainilai luhur, kemudian amal yang
saleh sebagai pengejawantahan sosial komitmen itu, lalu harus ada pengawasan
sosial dalam tatanan yang memungkinkan adanya kebebasan saling menyatakan apa yang
benar dan baik, dan diakhiri dengan saling mengingatkan di antara sesama warga
untuk tabah dan sabar dengan menanamkan orientasi masa depan yang jauh, di mana
masing-masing individu dituntut kesediaannya untuk mengorbankan kepentingan
dirinya sendiri
demi kepentingan bersama.
Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian itu kiranya dapat disimpulkan, partisipasi sosial-politik
bagi kaum Muslim adalah berakar dalam ajaran agamanya, dan bersangkutan dengan
prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban masing-masing orang dalam masyarakat
itu. Partisipasi itu juga merupakan bagian dari perintah Allah untuk “al-amr-u bi ’l-ma‘rūf-i wa ’l-nahy-u
an-i ’l-mankar-i” (menganjurkan kebaikan
dan mencegah kejahatan) yang cukup banyak disebutkan dalam Kitab Suci. Berkenaan dengan
ini, salah satu ilustrasi tentang masyarakat kaum beriman ialah sebagai
berikut: “Kaum
beriman lelaki dan kaum beriman perempuan itu adalah sebagian mereka pelindung
bagian yang lain: mereka saling menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan,
menegakkan salat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah serta Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan mendapat rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah itu Mahamulia lagi
Mahabijaksana,” (Q 9:71).
“... Sebagian dari mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain”
adalah ungkapan Kitab Suci yang persis sejalan dengan sabda Nabi saw. “Semua kamu
adalah pemegang tanggung jawab dan setiap pemegang tanggung jawab akan ditanya
tentang tanggungannya.” Atau,
dalam istilah yang telah dikenal, “setiap rā‘ī akan diminta pertanggungjawabannya atas ra‘īyah (rakyat)-nya.”
Maka sesuai dengan fungsinya sebagai
pemegang tanggung jawab atau rā‘ī, setiap pemerintah yang berkuasa wajib memperhatikan kesejahteraan
tanggungan atau ra‘īyah (rakyat)-nya
dengan mengusahakan kesejahteraan mereka itu sebagaimana sering sekali
dikemukakan contohnya dari perbuatan Khalifah Umar.9
Maka seorang Muslim harus aktif
melibatkan diri dalam usaha bersama mengembangkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dan inilah
pangkal tolak partisipasi sosial-politiknya. Etos keaktifan dalam
masyarakat itu merupakan salah satu sifat utama masyarakat Islam,
yang, seperti diamati oleh Bellah, bersesuaian dengan etos zaman
modern.10
=============
Catatan kaki:
1. Robert
A. Dahl, Who Governs? (New
Haven & London: Yale University Press, 1978) h. 277. Berikut ini kutipan
langsungnya:
“...
in New Haven as in the United States generally one of the central facts of
political life is that politics — local, state, national, international — lies
for most people at the outer periphery of attention, interest, concern, and
activity. At the focus of most man’s lives are primary activities involving
food, sex, love, family, work, play, shelter, comfort, friendship, social
esteem, and the like. Activities like these — not politics — are the primary concerns
of most men and women. In response to the question, ‘What things are you most
concerned with these days?’ Two out of every registered three voters in our
sample cited personal matters, health, jobs, children, and the like; only about
one out of Five named local, state, national or international affairs.”
2 “When
the structure that took shape under the prophet was extended by the early
caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is
something that for its time and place is remarkably modern.... In a way the
failure of the early community, the relapse into pre-Islamic principles of
social organization, is an added proof of the modernity of the early
experiment. It was too modern to succeed. The necessary social infrastructure
did not yet exist to sustain it.... The effort of modern Muslims to depict the
early community as a very type of equalitarian participant nationalism is by no
means entirely an unhistorical fabrication.” (Robert N. Bellah “Islamic
Tradition and the Problem of Modernization” dalam Beyond Belief [New York: Harper and Row, 1970], h. 150-151).
3.
It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation
expected from the rank-and-file members of the community. It is modern in the
openness of its leadership position to ability judged on universalistic grounds
and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary
leadership. (Ibid.)
4.
Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah, 4 jilid (Riyadl: Maktabat al-Riyadl
al-Haditsah,
t.t), jil. 3, h. 269.
5.
A. Yusuf Ali, Holy Quran Text, Translation and The Commentary
(Jeddah: Dār al-Qiblah for Islamic Literature, 1403 H.), h. 1317, catatan
4579.
6.
Thaha Husayn, al-Syaykhānī (Kairo:
Dar al-Ma‘arif, 1966), h. 49.
7.
Lihat catatan No. 2 di atas. Dalam teori sosiologi modern, khususnya yang
dikembangkan oleh Talcott Parsons dari Amerika (Universitas Harvard), dikenal
apa yang disebut “pattern variables” yang membedakan antara masyarakat tradisional dan
masyarakat modern. Variabel pola partikularisme dan universalisme, misalnya,
mengidentifikasi masyarakat tradisional sebagai masyarakat yang berpola
partikularistik dan askriptif (seperti penentuan nilai seseorang dari faktor
keturunan) dan masyarakat modern sebagai masyarakat yang berpola universalistik
(seperti penentuan nilai seseorang melalui prestasi, bukan
keturunan, dan lain-lain). Maka, menurut konsep itu, tradisional dan modern
bukanlah masalah waktu (dulu dan sekarang) atau tempat (timur dan
barat, misalnya), melainkan masalah variabel pola yang dominan. Robert Bellah
melihat tatanan masyarakat Islam klasik dalam perspektif teori ini. Maka
dapatlah dibenarkan penilaiannya bahwa masyarakat Islam klasik itu adalah
“modern”, khususnya, seperti dikemukakan dalam pembahasan, jika dilihat dari
tingginya tingkat partisipasi sosial-politik seluruh jajaran anggota
masyarakatnya tanpa diskriminasi berdasarkan pertimbangan askriptif.
8.
Husayn, h. 230.
9.
Lihat, misalnya, Husayn, hh. 198-9.
10.
The dominant ethos of this community was this-worldy, activist, social
and
political, in these ways also closer to ancient Israel than to early
Christianity,
and
also relatively accessible to the dominant ethos of the twentieth century.
(Bellah,
h. 152).
(Dibaca dan ditulis kembali ke dalam Word dari karya Dr. Norcholis
Madjid pada halaman 1199)