Dinamisasi Nahdlatul Ulama dalam kehidupan sosial dan politik
Oleh: Saniman*
Mukoddimah
Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi sosial
yang berperan dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia, sejak masa pra
kemerdekaan hingga saat ini.
Dalam beberapa tahun ini, jumlah
warga NU atau yang mengaku Nahdliyin disebut-sebut mencapai sekitar 60 atau 70
juta. Bahkan beberapa lembaga survei menyebut jumlah Nahdliyin mencapai 90 juta
hingga 120 juta orang. Organisasi tsb. merayakan 93 tahun kelahiran pada 31 Januari
2019 tahun ini, (dan Kalender Hijri sudah mencapai 96 tahun pada 16 Rajab 1440
H).
Dalam perjalanannya, NU, sempat
menghadapi dilema untuk bergerak sepenuhnya di bidang sosial atau ikut terjun dalam
kehidupan politik. Sempat menyatakan kembali ke Khittah NU dan tidak terjun ke
persaingan politik, Nahdlatul Ulama kemudian diwakili beberapa partai setelah
kebijakan Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1982 di bawah pemerintah Presiden Soeharto.
Masa awal
Ketika Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, sebagian kalangan
pesantren, yang selama ini membela keberagaman, dan menolak pembatasan
bermazhab. Karena sikap yang berbeda itu, kalangan pesantren dikeluarkan dari
anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925 dan tidak dilibatkan sebagai
delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah
yang akan mengesahkan keputusan tersebut (KH. A. Busyairi Haris, Drs; M.ag, Islam
NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, 2010, cet. 1, h.
102-103).
Raja Ibnu Saud belakangan
mengurungkan niatnya, dan di Mekah --hingga kini-- bebas dilaksanakan ibadah
yang sesuai dengan mazhab masing-masing, berkat nota protes kalangan pesantren,
yang dikirimkan kepada Raja Saud tertanggal 5 Syawwal 1346 H dan mendapat
jawaban memuaskan dari penguasa kedua Tanah Haram tersebut (Aguk Irawan MN, Penaklul
Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Depok: Global Media Utama, 2012,
cet 1, h. 263- 273). Itulah peran kalangan pesantren internasional yang pertama
yang telah sepakat membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama --Kebangkitan
Ulama-- pada 31 Januari 1926 (Ahad Pon, 16 Rajab 1344 H) dengan dua tokoh
utamanya: Kiai Hasyim Asy'ari (Wafat 25 Juli 1947) dan Kiai Wahab Hasbullah (Wafat 29 Desember
1971).
Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar dengan Khittah NU sebagai dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
Kebangsaan
dan Kemasyarakatan
Pada masa penjajahan, NU bersama
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam lainnya --sepeti Serikat
Dagang Islam dan Muhammadiyah-- secara terbuka menentang kolonialisme. NU
antara lain mengeluarkan pernyataan yang menolak kerja rodi maupun milisi.
Cikal bakal NU --yang disusun oleh
Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah-- memang berupa organisasi
pergerakan seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.
Kemudian dua organisasi lain berdiri, yaitu Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan
Pedagang) dan sekolah Tashwirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (Kebangkitan
Pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri.
Ketiganya menjadi latar belakang kebangkitan kaum santri sebelum NU berdiri.
Nilai-nilai ketiga lembaga itu yang menjadi sebuah dasar untuk NU ke depan.
Dengan nilai-nilai tersebut, maka
politik kebangsaan dan kerakyatan di Nahdlatul Ulama tidak bisa ditawar-tawar
lagi. NKRI sabagai harga mati tidak perlu dipersoalkan lagi, telah mengakar
pada diri kaum Nahdliyin. Kemudian politik kerakyatan, bagaimana memberdayakan
masyarakat pedesaan menjadi masyarakat madani yang kokoh adalah tujuan yang
hendak dicapai.
Partai
politik
Pada tahun 1952, Nahdlatul Ulama
meninggalkan Masyumi dan setelah melalui perdebatan internal yang hangat, NU
memproklamasikan diri sebagai partai politik pada tahun 1954. Tarik menarik
kondisi sosial politik saat itu memang membuat NU terjebak dalam pusaran politik
praktis dengan segala untung-ruginya. Setahun kemudian, dalam pemilu 1955,
Partai Nahdlatul Ulama berhasil meraih suara terbesar ketiga dari 29 peserta
pemilu: di bawah PNI dan Masyumi namun di atas PKI serta PSI (Partai Syarekat
Islam).
Dalam pemilu 1971, NU bahkan
berhasil berada di urutan kedua, di bawah Golkar yang menikmati sejumlah
fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.
Realitas ini menunjukkan ketika
terjun menjadi partai politik resmi, banyak lembaga-lembaga di NU, misalnya
tentang dakwah dan yang lainnya menjadi terbengkelai. Sehingga ada yang
menilai, bahwa NU terjun dalam politik praktis tidak (atau: kurang) bermanfaat
dalam pengembangan visi kebangsaan dan kerakyatan.
Kembali ke
khittah
Gagasan NU kembali ke khittah 1926
sebenarnya sudah mulai muncul pada Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun
1979, setelah rejim Soeharto tahun 1975 menetapkan asas tunggal dalam partai
politik dengan menyederhanakan peserta pemilu menjadi: Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedang NU berfusi pada
PPP, dengan 56 anggota NU dari total 99 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan di
DPR, dan sudah muncul keinginan untuk keluar dari partai politik berlambang Ka’bah
tersebut.
Dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo
tahun 1984 akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 dan keluar dari
area politik praktis.
Sejalan dengan reformasi politik
pasca jatuhnya Presiden Soeharto, muncul Partai Kebangkitan Bangsa, PKB, yang
merupakan saluran politik dari orang-orang dengan latar belakang NU. Namun, di
tingkat akar rumput terjadi persaingan keras dikalangan warga NU yang ada di
PPP dan PKB, yang nyaris (kalau tak dikatakan: terjadi) bentrok fisik dan
narasi di podium yang nihil etika, sehingga warga NU terbelah gegara polah
politikus yang kokoh mempertahankan status quo di salah satu partai (-nya orang
NU) tersebut.
Tokoh
sentral Penggerak NU
Tahun 1984, NU memilih Kyai Haji
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Kepemimpinan Gus Dur di NU juga mengantarkan dia sebagai tokoh nasional
dengan gagasan toleransi kebangsaaan yang menjalin hubungan antar umat
beragama.
Gus Dur bahkan kemudian terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 pada (20 Oktober) tahun 1999, sebelum
dijatuhkan oleh MPR pada (23 Juli) tahun 2001. Atau menjabat 1 tahun 9 bulan 3
hari; atau hanya 642 hari saja. Warga NU di saat kepresidenan Gus Dur
benar-benar mendapat anugerah dan kenikmatan besar, sehingga orang yang tidak
sejalan dengan Toriqoh (laku) NU bersikap nyinyir.
Dalam
perjalanan sejarahnya, NU selalu bergumul dengan orang-orang yang tidak sejalan
atau tidak mengerti khittah NU. Pernah negara ini akan terseret ke Blok kiri (Blok
Timur yang berhaluan komunis), maka NU menolak kehadiran PKI. Maka PKI meradang
menuduh NU sebagai kelompok reaksioner, kontra revolusi bahkan para kiai
dituduh sebagai Setan Desa. Jalan tengah menyelamatkan bangsa dan Republik ini
dipilih NU secara ideologis, karena itu riosiko apapun dan pengorbanan apapun
telah ditempuh. Berbagai tuduhan dialontarkan mulai dari tuduhan kafir,
tradisional, irasional dan reaksioner. Tetapi tuduhan itu tidak tepat dan tidak
relevan sebab NU punya khittah (garis sendiri), punya strategi budaya sendiri,
yang kebetulan beberapa hal sejalan atau bertentangan dengan pemerintah atau
dengan organisasi lain. Semua peristiwa itu baik prestasi maupun tantangannya
dicatat oleh sejarah, NU yakin bahwa hari-demi hari sejarah akan terus membuktikan
relevansi dan tepatnya langkah NU itu, sehingga para pengkritik yang sekadar
mengkritik itu akan kehilangan argumen dan terpaksa mengakui kebenaran sikap
yang diambil NU.
Selanjutnya
tahun 1990-an NU menyelenggarakan Rapat Akbar Kesetiaan pada Pancasila.
Demikian juga NU menolak rezim Soeharto yang militeristik, tetapi NU mendorong
negara untuk memperkuat militer dan badan intelijennya. Kalu tidak negeri ini
seperti sekarang ini. Kedaulatan negara dilanggar tetapi tentara tidak bisa
berbuat apa-apa karena tidak memiliki alutsista yang memadai.
Sebagai
tanggungjawab kebangsaan mempertahankan Republik hasil Proklamasi dengan beaya
berapapun pertahanan negara harus diperkuat. Semua dokumen sejarah, bahwa sikap
politik kebangsaan dan kenegaraan NU diambil bukan berdasarkan kepentingan
jangka pendek. (ABDUL MUN’IM DZ, Politik Kebangsaan NU)
Politik
bagi NU
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/politik.html), politik
diartikan sebagai: (1). pengetahuan mengenai ketatanegaraan, (2). segala urusan
dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, (3). cara
bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Sedangkan menurut
definisi/ takrif, bahwa politik (Yun: politikos; Arab: siyasah) adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara (lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik). Sedangkan para ahli memberikan takrif politik dengan berbagai
redaksi yang intinya tentang kekuasaan untuk mengatur pemerintahan (lihat: https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-politik.html ).
Politik bagi NU adalah politik
tingkat tinggi, bukan tingkat rendahan. Maksudnya adalah politik kebangsaan,
politik kerakyatan. Itulah yang dipegangi NU. Bukan politik kekuasaan atau
politik praktis. (https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-4159235/gus-mus-ingatkan-nu-tak-berurusan-dengan-politik-praktis).
Memang,
NU harus berpolitik. Tapi, NU tidak berpolitik praktis, sebagaimana pesan Rois
Am PBNU KH. Sahal Mahfudh (al-mukarram). Sebab, berpolitik pada hakikatnya
adalah bentuk pengkaderan NU kepada warganya, sehingga NU tidak dijadikan
kendaraan oleh orang lain. (Ahmad Baso, “Agama NU” untuk NKRI, Pustaka
Afid, Jakarta, cet.1, 2013, h. 81-84). Di
bawah ini beberapa langkah berpolitik bagi warga NU agar tidak terjebak pada
politik rendahan:
1.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
2.
Politik
bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju
integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat
adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju
kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3.
Politik
bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki
dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan
tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan
Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi
persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral
agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang
disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan
masalah bersama.
6.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional,
dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah wal Jamaah.
7.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.
8.
Perbedan
pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap
berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama
lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di
lingkungan Nahdlatul Ulama.
9.
Berpolitik
bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik
dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan
perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu
melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan
aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. (H.A. Mustofa Bisri, 3
Pedoman Warga NU, Yayasan Mata Air, Jakarta, cet.2, 2010, hal. 53 - 56;
atau dapat dibaca di: http://www.nu.or.id/post/read/94013/pedoman-berpolitik-warga-nu
)
Kecerdasan
Pilihan
Tanpa mengurangi rasa hormat, ada
baiknya tips dibawah ini dapat dipakai pertimbangan menentukan pelihan untuk memilih
seorang pemimpin (organisasi, pemerintahan, atau lainnya), sbb.:
1.
Visi-
misi dari calon pemimpin. Setiap visi-misi yang diketengahkan/ dipaparkan dalam
debat tentunya semuanya bagus. Hanya perlu dicermati mana di antara calon yang
berani menandatangani kontrak untuk melaksanakan visi-misinya bila terpilih
nanti.
2.
Rekam
jejak dari calon pemimpin. Mana di antara calon yang bersih dari korupsi dan
mendukung adanya pemerintahan bersih dari KKN.
3.
Pemimpin
yang dapat merangkul berbagai suku dan agama/ kepercayaan. Karena Indonesia ini
negeri yang majmuk, banyak suku, etnis dan agama, sehingga diharapkan pemimpin
yang terpilih adalah yang dapat mengayomi rakyat.
4.
Pemimpin
yang sederhana, berbicara apa adanya, dan akrab dengan rakyat jelata. Ini dapat
terlihat perilaku kesehariannya tanpa basa-basi.
Jika
kita mampu berpikir sedikit cerdas dengan tips tersebut, kita akan memiliki
seorang pemimpin yang (paling tidak mendekati) sempurna. Amin.
=========
Referensi:
Abdul Mun’im
DZ, Politik Kebangsaan NU.
Aguk Irawan MN, Penaklul Badai Novel Biografi KH.
Hasyim Asy’ari, Depok: Global Media Utama, 2012, cet 1.
Ahmad Baso, “Agama
NU” untuk NKRI, Jakarta:
Pustaka Afid, cet.1, 2013.
----------------,
Pesantren Studies 4a, Jakarta: Pustaka Afid, 2013, juz I.
Busyairi Haris,
Drs, M.Ag, KH, Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya:
Khalista, 2010, cet. 1.
Mustofa Bisri, 3
Pedoman Warga NU, Jakarta: Yayasan Mata Air, 2010, cet.2.
_____________________________________________________
*Saniman
el-Kudusi, anggota LTN (Lajnah Ta’lif wan Nasyr) NU Kudus dan Syuriyah MWC NU
Kaliwungu, Kudus.