Menyongsong
Satu Abad: NU dalam Pergumulan
Oleh: Saniman el-Kudusi
Perubahan
zaman yang demikian cepat diluar prediksi banyak kalangan, wajib disikapi
dengan bijak. Salah satunya adalah mencari formula agar keberadaan Nahdlatul
Ulama (NU) lestari dengan baik tanpa membanggakan diri atas jumlah warga yang
banyak.
Dalam
memasuki era milenial seperti sekarang ini, gerakan dan khidmat NU juga harus
menyesuaikan diri dengan tantangan yang ada, tanpa tergerus oleh pengaruh yang
datang dari luar yang justru menjauh dari nilai ke-Aswaja-an yang selama ini
menyatu.
Strategi
gerakan dakwah NU yang semestinya menjadi titik sentral bagi pemangku kebijakan
dalam ormas terbesar di negeri (khususon Kudus dengan tagar GusJiGang-nya) ini
adalah pada generasi milenial. Pengabaian terhadap mereka akan berakibat fatal
bagi kelangsungan NU di masa depan. NU hanya akan menjadi pajangan sejarah
Indonesia saja.
Ada beberapa Tantangan yang harus
menjadi prioritas garapan bagi NU adalah:
Pertama, Pesantren:
Bahan baku (herbal) NU adalah
pesantren dengan beberapa radiknya (Kiyai, Pondok, Masjid dan santri). Nahdlatul
Ulama dapat diibaratkan layaknya sebuah pesantren besar. Ada beratus ulama dan
berjuta santri di dalamnya yang saling terhubung satu sama lain. Sabda kiai
menjadi kekuatan organisasi terbesar di dunia ini. Karenanya, dalam pemaknaan
lebih luas, semua Nahdliyyin disebut juga sebagai santri. Santri KH. Hasyim
Asy'ari, santri KH. Wahab Hasbulloh, santri KH Bisri Sansuri, dan santri para
pendiri serta masyayikh Nahdlatul Ulama.
Santri sebesar ini membutuhkan penangan serius dari pengurus/ pengelola
pesantren sesuai perkembangan zaman sebagai yang terungkap dalam: Al-Muhafazhatu
alal-Qadimis Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (Melestarikan hal lama
yang masih relevan dan menerima hal baru yang paling sesuai/ layak diterapkan).
Ini dapat tercapai bila antar pengurus terjadi kesepahaman/ ittifaq dalam
pengelolaannya. Tanpa ini pesantren akan bubar pada tahun 2030.
Kedua,
Jaringan Santri
Atas
dasar kaidah di atas --Al Muhafazhah--, pemikiran NU sebenarnya mampu
mengakomodir perkembangan zaman meski dengan fasilitas kitab klasik yang dikaji
dalam pesantren. Tengoklah para pendiri NU di masa awal yang telah merintis dan
menyediakan wadah organisasi perjuangan, baik duniawi --kegiatan ekonomi,
pengetahuan, pendidikan-- maupun yang bersifat ukhrowi --kegiatan tarekatan,
istighatsah-- dan lainnya, mampu mensinergikan kaum muda dan tua dari
berbagai kalangan dan lapis sosial yang berbeda. Apalagi saat ini perkembangan serbadigital
tak lagi dapat dibendung oleh benteng apapun. NU wajib menggunakan daya
juangnya sekuat tenaga, jika tak mau melihat generasi muda NU tercebur dalam
arus yang justru andil memusuhinya.
NU --tidak boleh tidak-- wajib menyiapkan
diri pada warganya dalam menghadapi perubahan teknologi dan revolusi digital
yang memberi banyak kemudahan, tetapi sekaligus mengancam peran-peran
kemanusiaan. Inilah tantangan yang harus dipikirkan oleh NU. Bagaimana
menumbuhkan literasi digital dan menyiapkan jutaan petani, buruh, dan kelompok
masyarakat yang terpinggirkan menghadapi perubahan yang semakin meminimalisasi
peran-peran mereka. Nasib jutaan orang, tergantung pada apa yang kita lakukan
hari ini. Inilah peluang sekaligus tantangan NU yang harus kita siapkan hari
ini agar dapat terus berperan di masa mendatang.
Karena itu, tugas para pengurus NU makin berat.
Tantangan internal dan eksternal yang mengharuskan warga nahdliyyin waspada.
Gerakan memecah-belah Indonesia dilakukan dengan cara membenturkan antar warga
NU, karena NU adalah organisasi sosial keagamaan yang paling istiqomah dalam
mempertahankan Pancasila dan NKRI. Di samping hadirnya organisasi
tran-nasional yang berusaha mengobok-obok keutuhan NKRI yang nyata-nyata
bersikukuh hendak mengganti idiologi negara: Pancasila. (Sekian semoga manfaat).