Selasa, 13 Agustus 2024

KISAH TONGKAT DAN TASBIH (berdirinya NU)

 Berdirinya NU

Secara spiritual berdirinya NU ditandai dua peristiwa penting yang menurut sebagian ulana merupakan hidayah dari Allah. Hidayah tersebut berupa tongkat dan tasbih yang diceritakan oleh Al-MaghfurLah KHR. Asad Syamsul Arifin sebagai berikut:

“Berdirinya NU itu tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan perizinan dari Bupati atawa (atau) Gubernur, tapi langsung dari Allah SWT. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para wali sembilan (songo). Karena itu, di dalam simbul NU terdapat bintang berjumlah sembilan. Itu menandakan berdirinya NU tidak lepas dari perjuangan wali sembilan”

            Tidak seperti mendirikan organisasi pada umumnya. Asal ada ide, organisasi macam apa saja bisa dibentuk. NU lain, tidak seperti itu. Sekalipun ide itu ada, terutama datang dari KH. Abdul Wahab Hasbullah, namun KH. Hasyim Asy’ari sebagai sesepuh ulama waktu itu tidak langsung menyetujuinya. Kiyai Hasyim memohon petunjuk dulu kepada Allah, memusatkan perhatiannya dengan melakukan shalat istikharah. Namun rupanya petunjuk Allah tidak langsung diberikan kiyai Hasyim. Berkali-kali beliau melakukan istikharah, hasilnya tetap saja nihil.

            Petunjuk Allah itu rupanya diberikan melalui perantara waliyullah KHM. Khalil Bangkalan. Dan saya (Kiyai Asad) merasakan hal itu. Sebab saya sendiri yang diperintah Kiyai Khalil untuk mengantarkan lambang-lambang itu kepada KH. Hasyim.

            Peristiwa itu terjadi dalam tahun 1924. Saya dipanggil oleh kiyai Khalil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng Jombang. Ceritanya, suatu hari (entah hari apa dan tanggal berapa sudah lupa), saya dipanggil ke ndalem (rumah kiyai). Kiyai berkata: “Asad, tomgkat ini antarkan ke Tebuireng, dan sampaikan langsung kepada kiyai Hasyim Asy’ari”. Saya langsung berangkat. Mana ada santri berani menolak perintah kiyai. Tapi kata kiyai Khalil, ada syaratnya. Syaratnya kamu (Asad) harus hafal ayat 17-23 surat Thaha. Sambil berangkat, saya menghafal ayat-ayat yang menerangkan dua macam mu’jizat Nabi Musa As. itu:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآَرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى (21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آَيَةً أُخْرَى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آَيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)

17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?

18. Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya".

19. Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, Hai Musa!"

20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

21. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,

22. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mukjizat yang lain (pula),

23. Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar,

 

            Sesampainya di Tebuireng, Tongkat saya serahkan. Sambil menerima tongkat itu Kiyai Hasyim bertanya: “Apa tidak ada pesan dari Kiyai Khalil ?”. Langsung saya jawab dengan hafalan ayat tadi. Dan Kiyai Hasyim kemudian berkata: “Oh .. ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jamiyah ulama”.

            Ternyata perintah sang guru tidak hanya sekali itu. Kira-kira pada pertengahan tahun 1925 saya dipanggil lagi untuk maksud yang sama. Bedanya, tugas yang kedua ini bukan mengantarkan tongkat, melainkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Kiyai Khalil berupa bacaan Asma’ul Husna: Ya Jabbar Ya Qahhar 3 kali, yang berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa. يا جَبَّارُ يا قَهَّارُ .

            Cara menyampaikan tasbih itupun menggambarkan betapa tunduknya santri zaman dulu kepada kiyainya. Tasbih itu dikalungkan di leher saya oleh Kiyai Khalil. Dan sampai di Tebuireng, posisi tasbih masih tetap terkalungkan di leher. Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di perjalanan banyak orang menertawakan. Dikira saya gila. Sesampainya di Tebuireng, saya bertemu kiyai Hasyim dan menyerahkannya sambil membungkuk. Kiyai Hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.

            Saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Terlebih setelah menyerahkan tasbih berikut pesan sang guru berupa bacaan Asma’ul Husna tadi, kiyai Hasyim langsung meminta saya untuk membantu mengantarkan surat kepada beberapa ulama terkemuka di Madura. Dan selain saya ada beberapa nama lagi yang juga diutus untuk tugas yang sama. Waktu itu, saya dengar kiyai Mahfudz Siddiq dari Jember juga diminta menghubungi beberapa ulama di Jawa. Surat Kiyai Hayim itu belakangan saya ketahui berisi pemberitahuan mengenai rencana akan didirikannya jam’iyah ulama.

            Dan benar. Pada tanggal 31 Januari 1926 (bertepatan pada 16 Rajab 1344 H), berkumpullah beberapa ulama terkemuka dari Jawa, Madura, Kalimantan, di Surabaya untuk mendirikan organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama yang kini dikenal dengan NU.

            Jadi berdirinya NU itu tidak gampang. Minta izin dulu kepada Allah SWT. Kiyai Hasyim meminta petunjuk kepada Allah SWT. dan petunjuk itu diberikan melalui Kiyai Khalil Bangkalan, Madura. Dan saya sendiri ikut andil sekalipun hanya mengantarkan tongkat dan tasbih serta beberapa surat. Bahkan kira-kira dua bulan sebelum Kiyai Hasyim Asy’ari wafat (25 Juli 1947 M./ 7 Ramadhan 1366 H) beliau datang ke Sukorejo (rumah kiyai Asad) untuk menitipkan NU. Jadi tak ada orang yang bisa membubarkan NU. Dan siap yang khianat kepada NU pasti akan hancur sendiri.

            Itulah cerita sejarah yang leput dari pengamatan kebanyakan warga NU. Cerita ini diungkapkan oleh Kiyai Asad, justru ketika NU dalam keadaan kritis. Ada kemungkinan Kiyai Asad terpaksa menceritakan pengalamannya guna memulihkan kembali keutuhan NU. Terbukti setelah cerita itu terungkap di media massa, semua perhatian tertuju ke Situbondo. Dan di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah itu pula, lahir sejarah baru kembalinya NU ke Khittah 1926.

=====Saniman el Kudusi====

Sumber:

Hasan Basri, KHR. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994, cet. 1, hlm: 35-38

Busyairi Harits, Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, 2010, Cit. 1, hlm. 97-101