Berdirinya NU
Secara spiritual berdirinya NU ditandai dua peristiwa penting yang
menurut sebagian ulana merupakan hidayah dari Allah. Hidayah tersebut berupa
tongkat dan tasbih yang diceritakan oleh Al-MaghfurLah KHR. Asad Syamsul Arifin
sebagai berikut:
“Berdirinya
NU itu tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan
perizinan dari Bupati atawa (atau) Gubernur, tapi langsung dari Allah SWT. Dan
izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para wali sembilan
(songo). Karena itu, di dalam simbul NU terdapat bintang berjumlah sembilan.
Itu menandakan berdirinya NU tidak lepas dari perjuangan wali sembilan”
Tidak seperti
mendirikan organisasi pada umumnya. Asal ada ide, organisasi macam apa saja
bisa dibentuk. NU lain, tidak seperti itu. Sekalipun ide itu ada, terutama
datang dari KH. Abdul Wahab Hasbullah, namun KH. Hasyim Asy’ari sebagai sesepuh
ulama waktu itu tidak langsung menyetujuinya. Kiyai Hasyim memohon petunjuk
dulu kepada Allah, memusatkan perhatiannya dengan melakukan shalat istikharah.
Namun rupanya petunjuk Allah tidak langsung diberikan kiyai Hasyim.
Berkali-kali beliau melakukan istikharah, hasilnya tetap saja nihil.
Petunjuk Allah itu
rupanya diberikan melalui perantara waliyullah KHM. Khalil Bangkalan. Dan saya
(Kiyai Asad) merasakan hal itu. Sebab saya sendiri yang diperintah Kiyai Khalil
untuk mengantarkan lambang-lambang itu kepada KH. Hasyim.
Peristiwa itu
terjadi dalam tahun 1924. Saya dipanggil oleh kiyai Khalil untuk mengantarkan
sebuah tongkat ke Tebuireng Jombang. Ceritanya, suatu hari (entah hari apa dan
tanggal berapa sudah lupa), saya dipanggil ke ndalem (rumah kiyai). Kiyai
berkata: “Asad, tomgkat ini antarkan ke Tebuireng, dan sampaikan langsung
kepada kiyai Hasyim Asy’ari”. Saya langsung berangkat. Mana ada santri
berani menolak perintah kiyai. Tapi kata kiyai Khalil, ada syaratnya. Syaratnya
kamu (Asad) harus hafal ayat 17-23 surat Thaha. Sambil berangkat, saya
menghafal ayat-ayat yang menerangkan dua macam mu’jizat Nabi Musa As. itu:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى
(17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي
وَلِيَ فِيهَا مَآَرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ
أَلْقِهَا يَا مُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ
خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى (21) وَاضْمُمْ يَدَكَ
إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آَيَةً أُخْرَى (22)
لِنُرِيَكَ مِنْ آَيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)
17. Apakah itu yang di
tangan kananmu, Hai Musa?
18. Berkata Musa: "Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya".
19. Allah berfirman:
"Lemparkanlah ia, Hai Musa!"
20. Lalu dilemparkannyalah tongkat
itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
21. Allah berfirman: "Peganglah
ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,
22. Dan kepitkanlah tanganmu ke
ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai
mukjizat yang lain (pula),
23. Untuk Kami perlihatkan kepadamu
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar,
Sesampainya di
Tebuireng, Tongkat saya serahkan. Sambil menerima tongkat itu Kiyai Hasyim
bertanya: “Apa tidak ada pesan dari Kiyai Khalil ?”. Langsung saya jawab dengan
hafalan ayat tadi. Dan Kiyai Hasyim kemudian berkata: “Oh .. ya, berarti ini
berkaitan dengan rencana mendirikan jamiyah ulama”.
Ternyata perintah
sang guru tidak hanya sekali itu. Kira-kira pada pertengahan tahun 1925 saya
dipanggil lagi untuk maksud yang sama. Bedanya, tugas yang kedua ini bukan
mengantarkan tongkat, melainkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun
disertai pesan Kiyai Khalil berupa bacaan Asma’ul Husna: Ya Jabbar Ya Qahhar
3 kali, yang berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa. يا جَبَّارُ يا قَهَّارُ .
Cara menyampaikan
tasbih itupun menggambarkan betapa tunduknya santri zaman dulu kepada kiyainya.
Tasbih itu dikalungkan di leher saya oleh Kiyai Khalil. Dan sampai di
Tebuireng, posisi tasbih masih tetap terkalungkan di leher. Saya tidak berani
mengubahnya, meskipun di perjalanan banyak orang menertawakan. Dikira saya
gila. Sesampainya di Tebuireng, saya bertemu kiyai Hasyim dan menyerahkannya
sambil membungkuk. Kiyai Hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher
saya.
Saya tidak bisa
melupakan kejadian itu. Terlebih setelah menyerahkan tasbih berikut pesan sang
guru berupa bacaan Asma’ul Husna tadi, kiyai Hasyim langsung meminta saya untuk
membantu mengantarkan surat kepada beberapa ulama terkemuka di Madura. Dan selain
saya ada beberapa nama lagi yang juga diutus untuk tugas yang sama. Waktu itu,
saya dengar kiyai Mahfudz Siddiq dari Jember juga diminta menghubungi beberapa
ulama di Jawa. Surat Kiyai Hayim itu belakangan saya ketahui berisi
pemberitahuan mengenai rencana akan didirikannya jam’iyah ulama.
Dan benar. Pada
tanggal 31 Januari 1926 (bertepatan pada 16 Rajab 1344 H), berkumpullah
beberapa ulama terkemuka dari Jawa, Madura, Kalimantan, di Surabaya untuk
mendirikan organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama yang kini
dikenal dengan NU.
Jadi berdirinya NU
itu tidak gampang. Minta izin dulu kepada Allah SWT. Kiyai Hasyim meminta
petunjuk kepada Allah SWT. dan petunjuk itu diberikan melalui Kiyai Khalil
Bangkalan, Madura. Dan saya sendiri ikut andil sekalipun hanya mengantarkan
tongkat dan tasbih serta beberapa surat. Bahkan kira-kira dua bulan sebelum
Kiyai Hasyim Asy’ari wafat (25 Juli 1947 M./ 7 Ramadhan 1366 H) beliau datang
ke Sukorejo (rumah kiyai Asad) untuk menitipkan NU. Jadi tak ada orang yang
bisa membubarkan NU. Dan siap yang khianat kepada NU pasti akan hancur sendiri.
Itulah cerita
sejarah yang leput dari pengamatan kebanyakan warga NU. Cerita ini diungkapkan
oleh Kiyai Asad, justru ketika NU dalam keadaan kritis. Ada kemungkinan Kiyai
Asad terpaksa menceritakan pengalamannya guna memulihkan kembali keutuhan NU.
Terbukti setelah cerita itu terungkap di media massa, semua perhatian tertuju
ke Situbondo. Dan di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah itu pula, lahir
sejarah baru kembalinya NU ke Khittah 1926.
=====Saniman el Kudusi====
Sumber:
Hasan Basri, KHR. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan
Perjuangannya, Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994, cet. 1, hlm: 35-38
Busyairi Harits, Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia,
Surabaya: Khalista, 2010, Cit. 1, hlm. 97-101