Selasa, 16 Agustus 2011

RM. Sosrokartano


R.M Panji Sosrokartono
Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897,
mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan
di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang
Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga
membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Tempo menelusuri jejak
sang intelektual dan spiritualis ini dari orang-orang yang pernah
bersinggungan dengan Sosrokartono, juga dari berbagai bukunya, termasuk
surat- surat Kartini dan adik-adiknya, dan dari naskah pidatonya yang
masih tersimpan di Leiden. Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis.

FOTO hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu
Kartini Pudjiarto masih delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti Hadiwati
dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji Sosrokartono di
rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik
Sosrokartono.
Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah
kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April
selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati
Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode
1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki
delapan anak.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu dipotret pada
1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini
memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro lebih sering duduk di
kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh,” ucapnya kepada Tempo pekan
lalu. Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah panggung yang dindingnya
terbuat dari bambu itu, ia selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang Sosro
sering berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. “Eyang sering hanya
minum air kelapa,” tutur Kartini.

Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya
memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai
kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing,
hingga mengobati berbagai macam penyakit.
Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan secarik
kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini
Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi
goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro. “Katanya buat
jaga-jaga,” ujar Kartini.
Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan
“Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa
ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/
Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di
dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan
keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa
Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari “wajah mistik”
Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di
Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono
lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap
dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau
De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda,
lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan
Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf
Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk
Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan
pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad
sisa umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra,
Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu.
Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan
wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh
setelah minum air putih yang diberikan Kartono.
Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah
Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu
sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang
buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di
Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa Tengah. Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono merupakan rumah
panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun
memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Bangunan itu tepat
berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa sekarang.
Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti, begitu
juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak
1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9 ketika
ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok pengobatan milik
Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.
Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, masih
ingat: Darussalam tak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda,
pribumi, hingga Cina peranakan. Ia pernah melihat Bung Karno datang
menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan huruf Alif di atas kertas
putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam peci Bung Karno,
entah untuk apa. Bung Karno pula, menurut penuturan ayahandanya, kerap
datang untuk belajar bahasa kepada Sosrokartono.
Kartono, menurut Kayanto, tidak pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap
berwarna putih lengan panjang, sebuah topi (mirip mahkota) warna hitam,
dan mengalungkan tasbih yang menggantung hingga dadanya. Janggutnya
sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih banyak diam.
Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah perpustakaan.
Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat- surat
Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005) menceritakan selain
mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA
Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. “Perpustakaan ini
tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari
suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang
berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono.
Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan
kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua
orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. “Semboyannya
tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan,
tiada perselisihan,” ucap Kartono.
Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap
bahasa, sastra, dan budaya Jawa Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
mengatakan Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa Bandung. Kartono
diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik Ki Hajar
Dewantara. “Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan Nationale
Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa,” ujar
Budya.
Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan Indonesia sering berkumpul,
termasuk Ir Soekarno. Bung Karno juga diminta mengajar di sekolah itu
bersama Dr Samsi dan Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai
Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie
pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.
Kepeloporan Kartono sebagai tokoh pendidikan inilah yang hendak dikenang
Sukadiah Pringgohardjoso, mantan Duta Besar RI untuk Denmark (1981-1984).
Sukadiah kini aktif sebagai pembina Yayasan Pendidikan Anak Sehat
Sosrokartono di Cengkareng Barat, Jakarta. Yayasan ini didirikan oleh
Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo–adik Kartono. “Kami
lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan
keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan,” ujar Sukadiah.
Kartono tak pernah beku. Di Belanda, selain kuliah, ia menjadi koresponden
liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald, cikal bakal The
New York Herald Tribune. Agar bisa lebih masuk ke kancah perang, ia
menerima pangkat mayor dari tentara Sekutu, tapi menolak dipersenjatai.
Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah
ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang
menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca: Wartawan Mooie dari
Hindia Belanda).
Sebagai koresponden perang, tulis Mohammad Hatta dalam Memoir, Kartono
bergaji US$ 1.250 sebulan. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup
sebagai seorang miliuner di Wina. Menurut cerita ia bergaul dalam
lingkungan bangsawan,” tulis Hatta.
Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, mudah diterima
kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia
berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab,
Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa
Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Hatta.
Dengan pengetahuan dan kecakapan berbahasa itu, Kartono memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum
berangkat ke Batavia untuk memangku jabatannya yang baru. Solichin Salam
dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan
Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemuan tersebut Kartono meminta kepada Rooseboom untuk benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.

Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden,
kemudian mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa
dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam
kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai
negara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia
Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan.
Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di
Indonesia), Kartono antara lain mengungkapkan: “Dengan tegas saya
menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita
(Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan
menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci.
Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
Keluhuran tradisi itulah yang menurut Kartono mesti dipertahankan
orang-orang pribumi di mana saja berada. Dengan cakrawala pengetahuan yang
terbuka–Kartono meminta pemerintah jajahan agar bahasa Belanda dan bahasa
internasional lain diajarkan di Hindia Belanda–kaum pribumi bisa
mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri mereka.
Setelah 29 tahun melanglang Eropa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah
Jawa itu pun pulang. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana dicita-
citakan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga ingin mendirikan perpustakaan.
            Untuk menghimpun modal, pada mulanya ia melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran itu sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain.

Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartono menyatakan
kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh
pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang
saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono. “Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya
dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis,
dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang lebih saya inginkan
daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian
yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” ucap Kartono.
Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di
Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu
mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa
Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di kota
ini.
Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang kelaparan dan
diserang berbagai macam penyakit. Kartono pun kemudian menjalankan laku
puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang juga diderita
saudara-saudaranya. Ia juga menjadikan Darussalam sebagai rumah
pengobatan.
Cerita air putih, Alif, dan wejangan-wejangan hidup dalam bahasa Jawa,
kemudian mengalir dari sini dan menjelmakan Kartono sebagai seorang
penyembuh. Walaupun tak memiliki murid, di kemudian hari Kartono memiliki
“pengikut”. Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Di Yogyakarta, paguyuban ini juga membuka rumah pengobatan.
Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu,
Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ibunya
Nyai Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat.

Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan huruf Alif dalam
bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono mengenakan
setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata- kata
terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah
kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap
keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat
jahat, tidak perlu takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap
tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam
sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).

disarikan dari lilis ploso
24 Oktober, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar