Selasa, 06 Desember 2011

Penguatan NU


Catatan dari Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur

Oleh: Choirul Anam

Rabu pekan lalu, saya diundang keluarga besar Ciganjur yang tergabung dalam Yayasan Bani Abdurrahman Wahid, the Wahid Institute dan Yayasan Puan Amal Hayati, untuk menjadi pemrasaran tamu dalam simposium tentang “Kristalisasi Prinsip Pemikiran Gus Dur”. Diskusi nasional yang berlangsung tiga hari (16-18 November) itu, digelar di Hotel Best Western, Mangga Dua, Jakarta Utara.

Hampir semua kerabat dan karib Gus Dur hadir dalam acara pembukaan. Ada KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Said Aqil Siroj (Ketum PBNU), Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD., intelektual Djohan
Effendi, Muslim Abdurrahman, Greg Barton, Romo Benny, Franz Magnis-Suseno dan masih banyak lagi. Sejumlah Gus Durian juga ikut menjadi partisipan aktif. Saya sendiri diminta berbicara seputar “Gus Dur dan NU” bersama KH. Mustafa Bisri (kini wakil Rais Aam Syuriyah PBNU) dan Imam Aziz ( salah seorang Ketua PBNU).

Pak Mahfud dalam kata sambutan mewakili sahabat Gus Dur melukiskan, betapa besar pengaruh tokoh Gus Dur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Betapa besar bangsa Indonesia mencintai Gus Dur. Dan itu semua terekam jelas ketika Gus Dur berpulang ke Rahmatullah (Rabu petang, 30 Desember 2009). Pak Mahfud menyaksikan dengan mata kepala sendiri berjubelnya ribuan manusia di RSCM (tempat Gus Dur menghembuskan nafas terakhir), di rumah duka Ciganjur dan di sepanjang jalan menuju tempat peristirahatan terakhir (dari Bandara Juanda ke Tebuireng-Jombang).

Puluhan ribu massa dari segala lapisan, mulai dari yang tua,
muda dan remaja sekolah, berjajar di sepanjang jalan dengan melambai-lambaikan tangan seolah larut dalam kesedihan atas kepergian sang guru bangsa. Di Pesantren Tebuireng sendiri bak lautan manusia yang susah dibendung. Ini menandakan betapa banyak orang mencintai Gus Dur, dan betapa banyak pula orang yang merasa kehilangan atas wafatnya Gus Dur.

Pak Mahfud lalu mengingatkan, hanya ada empat orang di dunia ini yang mampu menyedot perhatian jutaan manusia saat meninggal dunia. Pertama, Mohandas Karamchand Gandhi, pemimpin India yang popular dengan julukan Mahatma Gandhi (meninggal terbunuh oleh orang Hindu ekstrem, Januari 1948). Kedua, John Fitzgerald Kennedy, presiden AS (meninggal terbunuh oleh tersangka Lee Harvey Oswald, November 1963). Ketiga, Ayatullah Ruhullah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran (wafat Juni 1989), dan keempat adalah Gus Dur.

Gus Mus dalam kata sambutan yang memancing ger-geran, juga menempatkan Gus Dur sebagai
sosok yang unik. Sebagai orang yang paham betul tentang sosok Gus Dur, kiai yang suka berpuisi ini mengakui kesulitan mencari padanannya. “Gus Dur ya Gus Dur. Sulit dicari duanya. Saya kira sampai saat sekarang ini belum ada orang yang seperti dia,” ujar Gus Mus. “Gus Dur itu cerdas, pandai dan berani. Ya… seperti saya inilah…Cuma minus beraninya,” kata Gus Mus disambut tawa hadirin. Banyak orang pintar, cerdas, tapi jarang yang punya keberanian menanggung resiko. Sebaliknya, “Banyak orang berani tapi bodoh…ya …jadinya ngawur semua,” kata Gus Mus.

Saya sendiri mengikuti Gus Dur sejak 1978—sejak Gus Dur belum di NU—hingga akhir hayatnya. Dalam kaitannya dengan NU (Nahdlatul Ulama), saya katakan bahwa Gus Dur sesungguhnya tidak terlalu tertarik ikut mengurusi NU. Bahkan ketika sang kakek (KH. Bishri Syansuri—kala itu Rais Aam PBNU) memintanya untuk membantu mengurus NU, Gus Dur tidak merespon. Sampai beberapa kali Mbah
Bishri mengulang perkataannya dalam berbagai kesempatan, namun sang cucu tetap saja bergeming. Baru setelah ibunda Nyai Hj. Solichah Wahid memintanya untuk menerima nasihat sang kakek, Gus Dur menyatakan sam’an wa tho’atan. Dan pada muktamar NU ke-26 di Semarang (Juni 1979), Gus Dur masuk dalam struktur kepengurusan Syuriyah PBNU.

Tetapi, yang perlu digarisbawahi, ketika Gus Dur masuk PBNU, kondisi NU tidak sebesar seperti sekarang. Ibarat manusia, kondisi NU waktu itu benar-benar mati suri. Tokoh – tokoh NU (semisal almaghfurlah KH. Moenasir Ali) menyebutnya wujuduhu ka ‘adamihi—adanya NU seperti tidak ada. NU tidak punya pengaruh apa-apa dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. La yamutu wa la yahya—hidup segan mati tak mau.

Bukan hanya itu. Tubuh NU seolah sudak terkoyak-koyak akibat kebijakan politik Orde Baru. Orang-orang tua NU pasti masih ingat betapa pedih dan perihnya mengibarkan panji NU pada Pemilu 1971. Semua
parpol hancur dihantam kebengisan Golkar, dan hanya NU yang mampu bertahan meski banyak tokohnya yang babak belur digebuki tentara. Dalam situasi menghadapi keganasan Golkar seperti itu, NU (satu-satunya parpol) yang bertahan dan justru memperoleh tambahan 13 kursi di parlemen (dari 45 kursi pada pemilu 1955 menjadi 58 kursi pada pemilu 1971).

Namun, pemerintah Orba di bawah kepemimpinan Soeharto dan Golkarnya merasa tidak nyaman melihat NU masih bisa bernafas. Akhirnya, pada 1973 diberlakukanlah kebijkan politik penyederhanaan partai hanya ada dua: PDI dan PPP dan satu Golkar. Melalui kebijakan ini (dan dengan dalih membangun sistim politik yang mapan dll—seperti juga yang dikemukakan Golkar kini dalam upaya memaksakan PT (parliamentary threshold 5%), NU dipaksa melebur diri (fusi) ke dalam PPP bersama MI, SI dan Perti.

Nah, dengan fusi tersebut, eksistensi NU menjadi hilang. Kiai Moenasir waktu itu sempat bertanya-tanya: lantas NU
sekarang di mana? Apa sudah bubar, sudah habis? KH. Achmad Sjaichu (salah seorang ketua PBNU) segera mencari formulasi baru untuk menjawab pertanyaan Kiai Moenasir.

Menurut Kiai Sjaichu, “leadership NU memang sudah masuk ke dalam mekanisme organisasi PPP. Tetapi, bukan berarti NU sudah selesai, sudah habis. Karena itu, supaya tidak terjadi kevakuman di NU, perlu ditegaskan kembali bahwa fusi NU ke dalam PPP itu hanya fusi dalam aspek dan gerakan politik saja. NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah, sebagai mana saat didirikan, tetap eksis dan hidup”.

Penegasan KH. Achmad Sjaichu tersebut kemudian dijadikan sikap resmi NU dan menjadi headline di berbagai media nasional. Selanjutnya, untuk menghidupkan kembali eksistensi NU, digelarlah Kombes NU di Jakarta ( Mei 1975) dengan mengundang Presiden Soeharto. Namun, Pak Harto berhalangan hadir dan mengutus Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali untuk menyampaikan pesan atas nama
pemerintah.

Dalam pidatonya, Mukti Ali menyatakan: “Pemerintah mengakui eksistensi NU sebagaimana isi pernyataan resmi PBNU yang tersiar di berbagai media massa, bahwa fusi NU ke dalam PPP adalah fusi dalam aspek dan gerakan politik praktis semata. Sedang NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan Islam, tetap eksis, hidup dan harus bergerak,”tegas Menteri Agama Mukti Ali kala itu. Nah, dari sinilah NU baru mulai menggeliat. Tetapi apakah perjalanannya akan mulus-mulus saja dan bagaimana peran Gus Dur kala itu?

Mulai Terlibat Penyelesaian Konflik Internal-Eksternal (dengan PPP)

Perjalanan NU pasca-fusi ke dalam PPP, ternyata, tidak seindah yang diharapkan. Pasalnya, posisi dominan NU secara berangsur dan sistematis digunduli hingga plontos. Mula-mula dibuat konsensus dalam Munas PPP
(1975) yang intinya, pembagian kursi dan kepemimpinan harus berpedoman pada perimbangan perolehan suara pada pemilu 1971. Seperti diketahui, pada pemilu 1971 NU memperoleh hampir 70% dari total suara partai Islam yang bergabung dalam PPP. Wajar, jika kemudian politisi NU mesti dominan dalam kepemimpinan dan kedudukan di kursi parlemen.

Tetapi apa yang terjadi? Ketika PPP dipimpin H.J. Naro dan Soedardji (dari MI—Muslimin Indonesia/Parmusi) sebagai operator lapangannya, tokoh-tokoh NU sekaliber KH. Masjkur, KH. Yusuf Hasyim, Rachmat Mulyoamiseno, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Hasyim Latief, Drs. Choliq Ali dan masih banyak lagi, didepak keluar dari ring kepemimpinan PPP. Meski Ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid kala itu menempati posisi presiden partai, operasi “menghabisi” politisi tangguh NU tak bisa dia cegah. Pak Idham seperti terkena sihir kehebatan H.J. Naro yang mendapat restu Pemerintah Orba.

Bukan cuma digunduli. Politisi yunior di
kalangan NU juga diracuni “politik panjat pinang”. Sehingga, saling serang dan saling menjatuhkan di internal NU (guna mendapatkan posisi strategis di PPP) semakin tak bisa dibendung. Dalam kondisi carut marut itu, NU kemudian menggelar muktamar ke-26 di Semarang (Juni 1979). Para kiai senior seperti KH. Achmad Sjaichu, KH. Achmad Siddiq dan KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Machrus Ali, bersama kelompok muda yang dimotori Gus Dur, berupaya keras membuat program kerja lima tahun NU dan mengembalikan organisasi para ulama ini ke khittah asalnya—sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah.

Menjelang muktamar seolah sudah ada kesepakatan pembagian tugas bagi yang tertarik “bermain” di politik praktis silakan memperkuat PPP, tetapi yang ingin mengabdikan diri pada masalah kemasyarakatan (pendidikan, dakwah dan sosial) segera merapat ke NU. KH. Idham Chalid sendiri waktu itu mempersilakan KH. Achmad Sjaichu
untuk memimpin NU ke depan. Pak Idham menyatakan akan mundur dari pencalonan sebagai Ketua Umum PBNU dan memberikan kesempatan kepada yang lain. Mendengar pernyataan Pak Idham yang jelas-jelas tidak akan mencalonkan diri lagi, KH. Achmad Sjaichu langsung bergerak untuk menyukseskan muktamar. Maklum, kiai asal Surabaya ini sangat paham karakter dan posisi NU kala itu.

Namun, apa yang terjadi? Kelompok politisi merasa tidak bisa leluasa “memanfaatkan” NU jika KH. Idham Chalid tidak lagi memimpin NU. Maka, dengan segala daya dan upaya, mereka mendesak Pak Idham untuk mencalonkan kembali sebagai Ketua Umum PBNU. Dan benar, menjelang sidang pemilihan, Pak Idham menarik kembali pernyataannya dan bersedia dicalonkan kembali. Terpilihlah kembali Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU. Dan hampir semua pengurus PBNU (kelompok politisi) masuk dalam struktur PPP.

Muktamar yang diharapkan bisa menyelesaian berbagai masalah internal, terutama untuk
membangun kembali eksistensi NU, akhirnya menjadi sia-sia dan malah menimbulkan persoalan baru. KH. Achmad Sjaicu menyatakan mundur dari segala aktivitas PBNU dan memilih mengurusi bidang dakwah dengan membentuk “Ittihadul Muballighin”. Masih beruntung, kepengurusan hasil muktamar Semarang mencantumkan nama Abdurrahman Wahid (di jajaran katib Syuriyah), KH. Achmad Siddiq (di jajaran mustasyar) dan KH. Moenasir Ali (sebagai Sekjen). Ketiga tokoh inilah (bersama kelompok muda NU seperti Dr. Fahmi Saifuddin, Achmad Bagdja, Slamet Effendi Yusuf, dll.) berpikir keras untuk menyelesaikan kemelut di tubuh NU. Gus Dur sendiri hampir tak ada hentinya bersafari keliling menemui kiai-kiai sepuh seperti KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH. Achmad Siddiq (Jember, dan biasanya berdiskusi sampai bermalam di rumah KH. Muchith Muzadi—kakak kandung KH. Hasyim Muzadi), KH. Machrus Ali (Lirboyo) dan KH. Moenasir Ali (Mojokerto). Selanjutnya, perjalanan
diteruskan ke Jawa Tengah, Yogyakarta, menemui KH. Ali Maksum, dan terus ke Jawa Barat, Cirebon, menemui KH. Abdullah Abbas.

Di saat Gus Dur sedang berfikir keras dan bergerak cepat untuk menyelesaikan kemelut di tubuh NU, tiba-tiba terdengar kabar Rais Aam PBNU KH. Bishri Syansuri berpulang ke Rahmatullah (Jumat 25 April 1980). Kubu politik yang disimbolkan pada diri Idham Chalid semakin leluasa memainkan peran karena tidak ada lagi yang mengawasi. Kelompok ini kemudian menyatakan pendapatnya agar jabatan Rais Aam dibiarkan kosong, dan kalau toh harus diisi menggunakan sistem urut kacang, yakni mengukuhkan KH. Dr. Anwar Musaddad (Wakil Rais Aam kala itu) menjadi pejabatan Rais Aam PBNU.

Pandangan kelompok politisi tersebut berbeda dengan pikiran para ulama sepuh. Menurut AD/ART NU, jabatan Rais Aam dipilih langsung oleh para ulama NU seluruh Indonesia melalui muktamar (atau forum ulama yang setingkat). Di sinilah Gus Dur dan kelompok muda
berpikiran progresif, mulai memainkan peran sangat strategis. Akhirnya, digelarlah Munas Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta (30 Agustus-2 September 1981) dan berhasil “memaksa” KH. Ali Maksum menjadi Rais Aam PBNU—menggantikan almaghfurlah KH. Bishri Syansuri. Warna peran Gus Dur terlihat jelas dan tampak dominan tercermin dalam pendapat Munas mengenai gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto.

Seperti dimaklumi, saat itu, sedang gencar-gencarnya (berbagai elemen masyarakat) memberikan gelar Bapak Pembangunan kepada Pak Harto. Tetapi Munas Ulama NU tidak ikut latah dan terjebak dalam isu politik yang menggelora itu. Munas berpendapat:”Jabatan tertinggi pemerintahan Negara adalah Kepala Negara, yang menurut UUD 1945 disebut Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, sedang menurut MPR adalah Mandataris. Agar tidak mengurangi martabat tersebut, maka tidak diperlukan tambahan sebutan-sebutan lainnya. Adapun tentang pencalonan
presiden untuk tahun 1983 nanti, Munas berpendapat, hendaknya diajukan secara konstitusional dalam SU-MPR hasil pemilu 1982 tepat pada waktunya.”

Para pengamat yang membaca putusan Munas tersebut, memberikan acungan jempol. Inilah sikap politik yang santun, dewasa, dan mendidik. Tetapi apakah putusan itu cukup berarti bagi kaum politisi NU? Ternyata tidak! Sehari setelah Munas, kubu politisi yang dimotori Drs.H.A. Chalid Mawardi (Ketua Umum PP GP Ansor kala itu) langsung menggelar Kombes GP Ansor di Semarang (3-6 September 1981), dan mengeluarkan penyataan politik: “Pemberian gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto adalah gagasan wajar dan penting bagi integrasi bangsa. Dan Kombes juga menyatakan kepada DPRRI untuk membuat memorandum kepada MPR untuk mempercayakan kepemimpinan nasional kepada jenderal Soeharto.”

Nah, perseteruan antara kubu politik (yang kemudian disimbolkan sebagai kubu Cipete) dan kubu ulama (yang
disimbolkan sebagai kubu khittah atau kubu Situbondo), akhirnya mencuat ke permukaan. Sementara itu, konflik antara NU-MI dalam PPP juga tak kunjung padam. Saling serang dan saling jegal di parlemen maupun saat penyusunan daftar caleg, terus saja menghiasi halaman koran.Wajah NU benar-benar terlihat kusut dan warga nahdliyin seolah dihinggapi rasa was-was. Untuk mengatasi persoalan rumit itu, Gus Dur kemudian mendorong PB Syuriyah untuk menggelar rapat pleno di kediaman KH. Masjkur (29 Januari 1982). Rapat menghasilkan kesepakatan tiga hal: 1) Kemelut yang terjadi dalam tubuh NU dan PPP harus diselesaikan tuntas; 2) NU akan mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP pada saat yang tepat, jika asas musyawarah, solidaritas intern, dan prinsip-prinsip organisasi tidak dapat ditegakkan; 3) Umat Islam senantiasa dalam kebaikan, sedangkan kelemahan berada dalam tubuh kepemimpinannya—al muslimuna ala khair, ad-dhu’fu fil qiyadah.

Kala itu, saya juga sempat bertanya kepada Gus Dur, kira-kira bagaimana penyelesaian terbaik atas konflik yang berkepanjangan di tubuh NU? Apa jawab Gus Dur? “Sekarang ini saya dan kawan-kawan sedang mencari jalan agar konflik segera berakhir. Jangan sampai timbul perpecahan. Perlu dicari jalan tengah agar tercapai titik temu yang sama-sama melegakan kedua pihak.” Kira-kira bentuknya seperti apa Gus? “Kuncinya terletak pada penyelesaian yang tidak menurunkan martabat ulama dan Pak Idham sendiri, ya semacam win win solution. Kalau masih tidak bisa, ya diselesaikan sesuai tradisi dan watak NU, yaitu dengan istikharah,”kata Gus Dur waktu itu.

Konflik Berakhir Melalui Forum Tahlilan

Di saat perseteruan kubu Cipete vs Situbondo (kubu politisi vs kubu ulama) kian memuncak, isu
penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas Parpol dan Golkar menggelinding bak bola salju. Bermula dari pidato kenegaraan Presiden Soeharto ( 16 Agustus 1982) yang meminta Parpol dan Golkar hanya mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas partai. Tetapi, pidato Pak Harto itu, juga dinilai banyak pihak sebagai isyarat akan diberlakukannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua Ormas (organisasi kemasyarakatan) yang hidup di bumi nusantara. Sebelum itu, kasus beredarnya buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) juga sempat menghebohkan karena semua agama dianggap sama, sehingga dinilai oleh para ulama NU sebagai upaya pemerintah untuk “merusak” aqidah ummat Islam.

Karena sudah menyangkut masalah keimanan, para ulama sepuh NU merasa perlu mendapat penjelasan langsung dari Presiden Soeharto, terutama mengenai pengertian (makna) sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Apakah pemahaman pemerintah terhadap sila pertama itu sama dengan
yang dipahami ummat Islam Indonesia atau tidak? Persoalan ini perlu diperjelas dulu, sebelum beleid asas tunggal itu diberlakukan. Nah, dalam kaitan tabayyun/klarifikasi itulah, para ulama sepuh NU harus menemui Presiden Soeharto.

Gus Dur yang, kala itu, sudah dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam moderat dan dekat dengan sejumlah perwira tinggi ABRI, tidaklah merasa sulit untuk mengatur pertemuan para ulama dengan Pak Harto. Terlebih kedekatannya dengan Jenderal L. Benny Moerdani (baik ketika Pak Benny masih Asintel Dephankam merangkap Asintel Kopkamtib dan Waka Bakin maupun setelah ia diangkat menjadi Panglima ABRI—23 Maret 1983), dapat dimanfaatkan sebagai pintu pembuka pertemuan ulama dan Pak Harto.

Selain itu, posisi Gus Dur sendiri yang (kala itu) sebagai Manggala (penatar tingkat tinggi) BP7 (baik dalam artian Badan Panitia Penasehat Presiden tentang P4 maupun BP7 dalam pengertian Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P4),
cukup bisa dipahami pemerintah jika harus mengatur pertemuan para ulama dengan Pak Harto. Walhasil, pada awal Agustus 1983, KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo) diterima Pak Harto di Istana Negara. Setelah mendapat penjelasan dari Kepala Negara, Kiai As’ad menyimpulkan bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipahami Pak Harto adalah sama dengan yang dipahami ummat Islam Indonesia selama ini, yakni “tauhid”.

Bagi NU, kata Kiai As’ad kepada Pak Harto, apa yang digagas pemerintah untuk memberlakukan asas tunggal, tidak ada masalah. Cuma, masih kata Kiai As’ad, karena masalah asas tunggal ini terjadi pro-kontra, maka akan dibahas dalam Munas Ulama NU di Situbondo (18-21 Desember 1983). Selain soal asas, Munas juga akan membahas pemantapan dan penetapan NU kembali ke khittah 1926—sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyah (organisasi sosial kemasyaratan dan keagamaan). Tidak lagi berurusan dengan politik praktis dan tidak lagi
terkait dengan organisasi sosial politik mana pun. Pemantapan serta penetapan kembali ke khittah ini akan diputuskan dalam muktamar NU ke-27 di Situbondo (Desember 1984), dengan menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia muktamar.

Mendengar kabar Kiai As’ad diterima Pak Harto dan berencana menggelar Munas Ulama serta merencanakan muktamar, kubu politisi (Cipete) tak mau ketinggalan momentum. Kubu Cipete yang memang ahli dalam “politik cari muka” ini, langsung menggelar rapat pleno PBNU (7-8 Desember 1983) dan memutuskan: Menerima Pancasila sebagai asas Jam’iyyah NU. Selain itu juga merencanakan menggelar muktamar NU ke-27 (direncanakan April 1984) dengan menunjuk Drs. H.A. Cholid Mawardi sebagai ketua panitia. Coba! Siapa yang tidak ngeri melihat konflik NU kala itu.

Untungnya, para ulama tetap arif dan tidak melayani “gempuran” kubu Cipete. Munas Ulama yang dijadwalkan 18-21 Desember 1983 (meski sudah didahului kubu Cipete), tetap
berlangsung sesuai rencana. KH. Achmad Siddiq dan tim perumus khittah yang dikomandani Gus Dur, berpikir keras dan bekerja lembur dalam tataran konsep. Di depan para ulama peserta Munas, Kiai Achmad Siddiq dengan sangat piawai memaparkan pandangannya (dengan kajian mendalam dari segi historis maupun sudut pandang agama) mengenai asas Pancasila. Sehingga, para ulama yang semula ragu berubah menjadi sepakat bulat menerima Pancasila sebagai asas organisasi NU.

Begitu pula dalam hal khittah. Kiai Achmad menguraikannya sangat meyakinkan sampai kemudian peserta Munas sepakat, NU harus kembali ke khittah 1926. NU harus menetapkan kembali pilihan bidang garapannya sebagaimana saat didirikan. Dalam hal politik praktis, politik kekuasaan, perebutan kursi di DPR maupun eksekutif, NU harus mampu menjauhinya. Dengan kata lain, secara organisatoris, NU tidak boleh lagi terkait dengan Orsospol manapun juga. Sedangkan warga NU—sebagai warga negara—bebas
masuk atau tidak masuk Orsospol yang manapun. Seperti halnya warga NU bebas masuk atau tidak masuk organisasi profesi, bisnis, olah raga dll. NU hanya berpesan, jika harus masuk dunia politik, hendaknya berupaya menumbuhkan budaya politik yang sehat, baik, dan bermoral, yang dilukiskan dengan ungkapan ahlaqul karimah. Mengapa?

Sebab, menurut pandangan NU, budaya politik yang ditumbuhkan selama ini masih sangat rendah, kotor, tidak dilandasi semangat kejujuran dan jiwa kenegarawanan. Politik yang dilakukan adalah poitik curang, akal-akalan, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Nah, sejak Munas Ulama NU Situbondo (Desember 1983), NU sudah lepas dari keterikatan dengan Orsospol manapun. Jika sekarang ada tokoh-tokoh politik yang masih saja mengait-kaitkan NU dengan partai politik tertentu, dengan dalih keterkaitan historis, ideologis, kesamaan kultur, dan atau dengan menyebut “rumah lama” dst., itu hanyalah rayuan
agar NU kembali terjerembab lagi dalam lubang yang sama. Di sinilah perlunya diperingatkan kepada para pengemudi NU kini, untuk selalu berhati-hati agar jerih payah para ulama dalam memposisikan NU di negeri ini tidak menjadi sia-sia.

Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, dalam pandangan NU adalah menuntaskan pola hubungan antara agama dan negara. Dengan kata lain, di mata NU sudah tidak ada lagi kata “alternatif” dasar maupun bentuk negara. Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 serta NKRI adalah final. Proses penerimaannya sendiri sangat berbeda jauh dengan yang dilakukan kelompok Cipete. Kubu Cipete terkesan hanya untuk manuver politik guna menarik simpati pihak pemerintah. Sebaliknya kubu Situbondo melalui kajian mendalam mengenai hubungan agama dan negara serta maksud dan tujuan pemerintah, baik dari segi historis, sosiologis, budaya maupun hukum Islam. Baru setelah itu penerimaan asas Pancasila diformulasikan secara tepat dan
disepakati secara bulat.

Usai Munas, Kiai As’ad Syamsul Arifin kembali menemui Presiden Soeharto (19 Februari 1984). Setelah itu, bersama KH. Ali Maksum, KH. Masjkur dan KH. Achmad Siddiq mengadakan pertemuan lanjutan dengan Mendagri Soepardjo Rustam dan Menteri Agama Munawir Sjadzali (26 Februari 1984). Di sini Kiai Achmad menjelaskan panjang lebar mengenai latar belakang, maksud dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai Munas Ulama dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Dari pertemuan tersebut lantas ada isyarat kuat bahwa pemerintah ada di belakang kubu ulama Situbondo. Tetapi, pemerintah juga berharap agar KH. Idham Cholied (kubu Cipete) diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya sesuai prosedur organisasi, walau akhirnya harus mundur.

Melihat tanda-tanda pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete segera menemui Pak Harto. Bahkan Menteri Agama Munawir Sjadzali sempat menemui KH. Idham Cholied di kediamannya.
Selain itu, Nuddin Lubis dan Imam Sofwan yang ditugasi sebagai penghubung dengan pihak pemerintah, sempat menemui Mendagri Soepardjo Rustam. Hasilnya? Rupanya terjadi kompromi-kompromi, dan pemerintah ikut mendorong terjadinya kerukunan di antara kedua pihak yang saling bertikai.

Singkat cerita, rekonsiliasi yang pernah dijanjikan Gus Dur, akhirnya benar-benar terjadi. Melalui undangan “Tahlilan” di kediaman KH. Hasyim Latief, Ketua PW NU Jatim, di Sepanjang, Sidoarjo (10 September 1984), lahirlah “Maklumat Keakraban” yang isinya, antara lain, sepakat mengakhiri konflik, saling memaafkan dan sepakat menyukseskan muktamar NU ke-27 di Situbondo (Desember 1984). Maklumat bersejarah itu ditandatangani tujuh orang ulama terkemuka: KH.R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Maksum, KH. Idham Cholied, KH. Machrus Ali, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri dan KH. Achmad Siddiq. Saya sendiri ikut menyaksikan penandatanganan naskah keakraban tersebut, meski
hanya sebagai tukang laden.

Memasuki muktamar ke-27 di pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo (8-12 Desember 1984), NU sudah terbebas dari konflik. Inilah muktamar paling bersejarah karena tidak agenda Laporan Pertanggungjawaban PBNU. Ketika saya tanyakan kepada Gus Dur, jawabnya: itu bagian dari kompromi. Selain itu, sistem pemilihan juga diubah ke pemilihan zaman Nabi, yakni sistem ahlul halli wal aqdi—memilih seorang ulama yang berkompeten (terpilih KH. As’ad Syamsul Arifin), yang kemudian menunjuk enam ulama untuk membantu menyusun kepengurusan PBNU. Akhirnya, lewat muktamar bersejarah inilah, KH. Achmad Siddiq terpilih sebagai Rais Aam  dan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.

Memang, naiknya Gus Dur ke puncak tangga kepemimpinan PBNU, tidak melalui kaderasi dari bawah semisal ketua MWC, Cabang (PC) maupun Wilayah (PW) sebagaimana ditempuh KH. Hasyim Muzadi. Namun, sejarah NU telah mencatat, peran Gus Dur yang
begitu dominan dalam penyelesaian konflik tanpa ada yang merasa dipermalukan, dan (lebih dari itu) Gus Dur berupaya keras menempatkan posisi NU dalam konfigurasi kekuatan nasional secara tepat. Lantas bagaimana langkah Gus Dur memimpin NU di era pemerintahan Orba tersebut?

Memposisikan NU sebagai Penjaga Keutuhan Bangsa dan Negara

Seusai muktamar ke-27 di Situbondo, Gus Dur berencana membentuk semacam badan otonom yang memegang kendali kegiatan. Misalnya, untuk bidang pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada Lembaga Pendidikan (LP) Maarif tetapi dengan didukung tenaga ahli. Begitu pula untuk bidang pertanian, perburuhan dan perekonomian, rencananya dibentuk badan khusus yang didukung berbagai tenaga ahli yang berpengalaman.

Namun, mungkin sekali, karena kabinet bentukan muktamar belum sepenuhnya sesuai harapan, maka, ide-ide besar Gus Dur terasa sulit untuk diwujudkan. Dalam kaitan ini, Gus Dur sempat berucap: “Tugas NU sangat berat. NU harus mampu mengadakan modernisasi tuntas ummat Islam. Harus mampu mengatasi dampak negatif untuk berfungsi integratif ke hadapan bangsa. Untuk itu, perlu orang yang benar-benar mampu menggarap, dan bukan sekedar orang yang bisa bicara”.

Dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur memposisikan NU sebagai kekuatan besar masyarakat yang berfungsi sebagai “penjaga keutuhan bangsa dan negara”. Seringkali dalam ceramahnya di hadapan nahdliyin (warga NU), Gus Dur mengutip putusan muktamar NU di Banjarmasin (Juni 1936) tentang penamaan negara Indonesia (kala itu disebut tanah Betawi dan Jawa) menurut Islam disebut apa? Atas pertanyaan itu, muktamar memberikan jawaban: Negara Indonesia dinamakan negara Islam, karena pernah dikuasai oleh orang Islam. Meskipun kemudian dikuasai oleh penjajah, nama negara Islam tetap melekat selamanya. Semua wilayah, di mana muslim bebas dan otonom menjalankan syariat Islam, maka wilayah tersebut dinamai daerah Islam. Apalagi fakta demografis Indonesia mayoritas muslim.

Maksud Gus Dur mengutip putusan muktamar Banjarmasin tersebut, tentu saja, agar warga nahdliyin memahami benar posisi NU dalam konteks bernegara. Mengapa? Sebab, sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU memiliki sejarah panjang dalam ikut mendirikan dan mengabdikan diri kepada negara. Kesejarahan itu bisa dilacak, misalnya, setahun setelah muktamar Banjarmasin (1937), NU bersama para tokoh pergerakan Islam mendirikan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian mendorong terbentuknya GAPI (Gabungan Politik Indonesia) menuntut Indonesia berparlemen.

Ketika Belanda menyerah kepada Jepang, ditandai dengan penandatanganan dokumen penyerahan (antara Panglima Tentara Sekutu di Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten dan Letnan Jenderal Imamura) di lapangan terbang Kalijati, Jawa Barat, dan lalu pemerintahan militer (Guisenkan) resmi menduduki Batavia yang kemudian mengganti nama menjadi Jakarta (8 Maret 1942), semua organisasi di nusantara dibekukan kecuali MIAI yang dibiarkan hidup (berkat diplomasi para elitenya). Meski akhirnya dibubarkan juga (Oktober 1943), karena kepiawaian diplomasi KH. Wahid Hasyim diizinkan membentuk organisasi baru bernama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).

Masyumi inilah yang kemudian menjadi wadah pergerakan para guru agama, alim ulama, para kiai yang di zaman kolonial Belanda dipinggirkan. Melalui Masyumi, para tokoh pergerakan Islam mulai mendapatkan peluang untuk menduduki jabatan di badan pemerintahan khusus bidang keagamaan (Shumubu—cikal bakal kementerian agama ssekarang). Bukan hanya itu, ketika Jepang mulai kewalahan menghadapi perang Asia Timur Raya, sehingga harus membentuk Peta (Pembela Tanah Air) sebagai tentara cadangan, maka KH. Wahid Hasyim mengusulkan kepada opsir Jepang yang beragama Islam (Abdul Hamid Ono) untuk melatih kemiliteran para santri guna keperluan pertahanan dalam negeri.

Maka lahirlah organisasi semi militer di kalangan santri dan kiai yang kemudian populer disebut Hizbullah dan Sabilillah. Dan untuk pertama kalinya Hizbullah dan Sabilillah disebut oleh Panglima Jepang Kamakichi Harada (dalam sebuah pertemuan resmi pemerintahan militer Jepang (8 Desember 1944).

Sejak itu, Masyumi yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari mengumumkan berdiri Hisbullah dengan menunjuk Zainul Arifin sebagai panglima dan Mohammad Roem sebagai wakilnya. Semboyan khas Hizbulla adalah ‘isy kariman au mut syahidan (hidup merdeka (mulia) atau mati syahid, yang kemudian dikenal dengan pekik “Merdeka atau Mati” demi mempertahankan kemerdekaan NKRI.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, tokoh-tokoh NU juga terlibat langsung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan ikut pula aktif merumuskan bentuk dan dasar negara. KH. Wahid Hasyim—salah seorang Ketua Muda PBNU kala itu—tercatat dalam panitia sembilan yang meremuskan “Pembukaan UUD 1945”. Seperti diketahui, UUD 1945 bisa dan boleh diamandemen, tetapi “Preambule UUD 1945” tidak bisa dan tidak boleh diubah oleh siapapun dan lembaga manapun.

Karena, mengubah “Preambule” sama halnya dengan mengubah bentuk dan dasar negara. Nah, keterlibatan KH. Wahadi Hasyim (representasi NU kala itu) dalam merumuskan dan menandatangani “Preambule UUD 1945” adalah bukti otentik NU punya andil dalam mendirikan NKRI.

Karena itu, konsistensi sikap, peran dan pandangan NU terhadap NKRI sudah final, akan terus dipertahankan selamanya dengan gaya dan cara khas NU. Ketika tentara Sekutu mendaratkan pasukannya di Surabaya, misalnya, dan dicurigai akan menjajah kembali dengan membonceng Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (the Netherlands East Indies Civil Administration—NICA) yang dibentuk di Australia (1944), ulama NU se Jawa-Madura berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya (22-23 Oktober 1945), mengeluarkan Resolusi Jihad—perang sabil melawan Sekutu untuk mempertahakan kemerdekaan NKRI.

Resolusi Jihad inilah yang kemudian menjadi inspirasi meletusnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diabadikan sebagai hari pahlawan. Pertempuran Surabaya berhasil mengangkat moral bangsa sejajar dengan bangsa lain di dunia. Dan ketika pemerintah RI sedang terganggu oleh kelompok sparatis DI/TII, PRRI/Permesta dan juga PKI, para ulama NU mengadakan konferensi ulama (1954), memberikan dukungan kepada Presiden Soekarno sebagai “waliyul amri dloruri bisy-syaukah”—dengan maksud dan tujuan agar tidak ada “matahari kembar” dalam pemerintahan NKRI.

Begitu pula ketika meletus G 30 S/PKI (1965), seluruh kekuatan NU dikerahkan membantu ABRI untuk menyelamatan negara dari ancaman komunisme. Dan ketika Presiden Soeharto kewalahan menghadapi pro-kontra pemberlakuan asas tunggal Pancasila, NU juga yang kemudian tampil menyelesaikan hubungan agama dan negara dengan menerima Pancasila sebagai asas jam’iyyah.

Konsistensi sikap, peran dan pandangan NU terhadap NKRI ini memang tidak tercatat dalam sejarah
nasional yang dipelajari anak-anak sekolah. Namun, sejarah panjang itu diimplementasikan kembali oleh Gus Dur ketika memimpin PBNU. Gus Dur memposisikan NU sebagai “penjaga keutuhan bangsa dan negara”. Dalam bahasa agak satir, Gus Mus mengaku pernah menanyakan kepada Gus Dur mengenai fungsi dan peran NU “kok seperti Satpam. Ada rame-rame Satpam datang, ada maling Satpam tampil, ada kekacauan Satpam mengamankan, lama-lama NU ini ‘kan kayak Satpam Gus”. Apa jawab Gus Dur: “Apa masih kurang terhormat NU menjadi Satpamnya Negara Indonesia?, kata Gus Dur balik bertanya.

Karena posisisi sebagai “Satpam” itulah, langkah-langkah Gus Dur senantiasa menghormati kemajemukan bangsa (baik etnik, agama maupun budaya), menghidupkan sekaligus memberi contoh toleransi, menolak diskriminasi dan kekerasan dalam bentuk apapun dan kepada siapapun, serta membangun hubungan dengan semua elemen masyarakat manapun secara integratif, tanpa perasaan curiga sedikitpun. Langkah-langkah ini kemudian menjadikan sosok Gus Dur dan NU sebagai pengayom, sebagai “Bapak Bangsa”-- sebagai penjaga keutuhan bangsa dan negara.

Meski terjadi pro-kontra terhadap langkah-langkah tersebut, kecintaan warga NU kepada Gus Dur makin meninggi. Terbukti pada muktamar ke 28 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta (25-28 November 1989), Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU untuk yang kedua kalinya. Padahal gerakan kolaboratif (internal-eksternal) yang menghadang Gus Dur kala itu, sangat luar biasa. Usai muktamar Yogya, Gus Dur mulai fokus menyeroti sistem demokrasi. Gus Dur membagi periodesasi gerakan NU menjadi tiga: Pertama, transformasi sosial budaya. Ini sudah dilakukan pada era pra dan revolusi kemerdekaan, Kedua, transformasi sosial politik, dilakukan pasca kemerdekaan hingga terjun ke kancah politik praktis. Ketiga, transformasi sosial ekonomi. Untuk yang terakhir ini, menurut Gus Dur, harus ada demokrasi.

Demokrasi, menurut Gus Dur, tidak akan pernah sempurna dan memuaskan. Karena itu, perlu menghidupkan tekad untuk mengusahakan perbaikan terus menerus agar menghampiri kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi kemerosotan apalagi penyimpangan dan ketimpangan yang tidak perlu. Pengertian dan penghayatan, bahwa demokrasi adalah suatu proses, yakni proses yang ajeg tiada hentinya, adalah pengertian yang dinamis tentang demokrasi. Dalam arti, demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan sempurna, atau boleh dikata, dalam keadaan menjadi dan dianggap pasti (taken for granted).

Kondisi demokrasi bisa berubah-ubah, berkembang baik atau meresot kebawah, tergantung dari perimbangan kekuatan yang berlaku. Karena itu, perlu memupuk kekuatan yang berpihak pada demokratisasi. Adanya demokrasi, tidak cuma ditentukan oleh adanya lembaga-lembaga konstitusional atau badan-badan resmi suatu sistem demokrasi. Adanya DPR bukan langsung berarti berfungsinya perwakilan. Ada MPR belum berarti rakyat berdaulat. Ada pers belum tentu ada kontrol sosial. Ada pengadilan belum memastikan keadilan. Walhasil, adanya lembaga-lembaga demokrasi belum menjamin adanya demokrasi itu sendiri. Artinya, proses demokrasi tidak cukup hanya disalurkan melalui lembaga-lembaga itu saja. Hak rakyat untuk menyatakan dan menyatukan pandangannya secara langsung, merupakan bagian penting dalam mekanisme demokrasi.

Dalam konteks perjuangan demokrasi ini, Gus Dur bersama sejumlah eksponen bangsa membentuk Forum Demokrasi (April 1991), yang menggetarkan panggung politik Indonesia. Pikiran kritis Gus Dur terhadap pemerintah, menjadi titik lemah untuk bisa berhubungan dengan pusat kekuasaan. Terbukti, permohonan audensi PBNU hasil muktamar Yogya, tidak kunjung dijawab Pak Harto. Tetapi karena kepiawaian Gus Dur dalam bermanuver politik, akhirnya Presiden Soeharto bersedia menerima PBNU di Bina Graha ( 26 Maret 1990). Dalam pertemuan tersebut, Gua Dur justru mengusulkan diadakan dialog nasional antara konglomerat dan pengusaha kecil untuk mengatasi kesenjangan sosial. Pro-kontra pikiran Gus Dur ini pun membuat heboh perguruan tinggi, kalangan birokrasi, ekonom, intelektual, politisi dan praktisi bisnis. Tetapi Gus Dur dengan enteng saja mengatakan:”Faktanya, rakyat tambah miskin.

Kesenjangan sosial makin melebar. Saya usulkan dialog nasional untuk mencari cara memperkecil jarak pendapatan, karena perbedaan pendapatan itulah penyebab terjadinya kesenjangan sosial. Kalau peredaran ekonomi hanya dikuasai konglomerat, nasib rakyat kecil akan semakin lemah. Harus ada tekad dan kemauan dari semua pihak—terutama konglomerat dan pemerintah—untuk mengubah wajah perekonomian nasional ke depan agar tidak terjadi keresahan dan selanjutnya memicu terjadinya gejolak sosial yang tidak kita inginkan.”

Nah, pikiran demokrasi Gus Dur jika dikaitkan dengan pembelaannya terhadap kaum lemah dan miskisn, patut mendapat porsi lebih dalam simposium “Kristalisasi prinsip pemikiran Gus Dur”. Sebab, Gus Dur jelas tidak menerima bulat-bulat demokrasi Barat yang berakar pada individualisme, liberalisme, yang berujung pada kapitalisme. Selain ada demokrasi politik, Gus Dur juga menginginkan adanya demokrasi ekonomi—seperti yang pernah dikemukakan proklamator Mohammad Hatta.

http://dutaonline.com/berita.php?id=20111203220442&kategori=20110622102211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar