Minggu, 29 Mei 2011

Arti Pembelajaran


LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Pengertian Belajar:
            Untuk memahami makna Belajar, kami akan memberikan ilustrasi/ contoh praktis, sbb.:
            Seorang bapak memerintahkan anaknya pergi ke sekolah. Beliau menunggu kedatangan anaknya dari sekolahannya sejak pagi, dan menanyakannya dengan rasa cemas apa yang dipelajarinya itu ? Sang bapak merasa senang jika anaknya dapat menjawab angka-angka yang ditanyakannya dari angka 1 (satu) sampai 10 (sepuluh). Atau si anak mampu menjawab huruf-huruf/ abjad dari huruf Alif sampai Ya’ (A- Z). Apa yang terjadi baginya ?
            Seorang guru memberi pelajaran kepada peserta didiknya dengan cara berulang-ulang, baik angka-angka ataupun huruf-huruf/ abjad (misalnya). Sedangkan siswa/ peserta didik tersebut mempelajarinya sedikit-demi sedikit. Lalu mereka ditanya satu-persatu oleh gurunya. Kadang-kadang mereka menjawab benar, dan kadang pula salah. Mereka pun terkadang  mengadakan diskusi tentang suatu permasalahan untuk mendapatkan sebuah jawaban.
            Sewaktu mereka (para peserta didik) kembali ke rumah, ayahnya merasa bahwa di sana (tempat pembelajaran) ada sesuatu yang baru yang diketahui seorang anak, atau ada  faktor lain yang membuat munculnya perubahan pada diri seorang anak. Seorang anak menjadi giat berubah ke arah positif secara evolusi.
            Contoh lain. Anak-anak atau orang dewasa turun ke laut untuk belajar berenang. Ia tenggelam ke dalam air dan minum sedikit air laut. Kemudian ia latihan lagi berenang, kadang-kala dilatih seorang palatih renang. Setelah beberapa lama, ia telah mahir berenang dengan mudah lagi gampang. Sungguh, ia telah belajar berenang.
            Secara definitif, istilah Belajar dalam Ilmu Jiwa (psychology) lebih luas pengertiannya daripada pengertian yang berlaku di kalangan awam, yaitu tidak hanya terbatas pada ruang belajar secara klasikal; atau belajar yang hanya diperlukannya saja. Justru, pengertian belajar menurut Ilmu Jiwa (psychology) mengandung makna yang paling tinggi, yaitu meliputi ranah kognitif, pskomotorik maupun afektif yang mesti dilakukan oleh seseorang. Baik secara verbal, logika maupun etika, sehingga berhasil lewat metode legal maupun ilegal.
            Dengan pemahaman seperti ini, maka Belajar adalah identik dengan usaha dan pembiasaan secara luas. Usaha untuk memperoleh cita-cita yang dibingkai dengan nilai-nilai etika, moral akan menjadi sempurna bila dihasilkan melalui belajar.

Bagaimana Seorang Belajar:
1. Kebiasaan dan Keterampilan :
            Kebiasaan dan keterampilan ini meliputi (misalnya: melangkah, berjalan, menubruk, keatas, kebawah, dan lain-lain yang bersifat pekerjaan tubuh, termasuk kerja secara reflek. Demikian juga yang menghasilkan suara, tulisan, suara petikan gitar, yang termasuk keterampilan tangan, khususnya jari-jemari (tulisan di mesin ketik/ kompputer); dan pembedahan yang dilakukan oleh seorang dokter.
            Keterampilan adalah serangkaian pembiasaan gerak yang mempunyai tujuan tertentu, seperti keterampilan menulis di alat tulis. Sedangkan Pembiasaan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang dengan cara yang mudah dan gampang oleh adanya pengulang-ulangan kegiatan. Dan terkadang Pembiasaan tersebut terjadi lewat kegiatan penalaran (baca: logika). Cara memakai pakaian akan menjadi kebiasaan seseorang. Demikian juga cara menyulut rokok, cara duduk, cara berjalan, cara tidur, dll.
            Hubungan antara kebiasaan dan keterampilan adalah sangat erat/ kuat. Menulis dengan tangan kanan adalah suatu kebiasaan dan keterampilan. Sedangkan tertawa dengan suara keras adalah masuk dalam ranah Kebiasaan, bukan suatu keterampilan. Dan tertawa dengan suara keras seperti itu dapat masuk dalam ranah keterampilan bila berada di tempat/ arena pertunjukan.

2. Realita dan Makna
            Seseorang mengusahakkan sesuatu sejak ia dilahirkan terhadap realita dan makna dengan cara kontinyu, terus menerus, sampai ia mampu melaksanakan secara budaya bersama dengan pribadi lainnya. Sebab, ia mempelajari nama-nama manusia, binatang, tempat-tempat dan hal-hal lainnya, sebagaimana ia mempelajari bahasa, dan hitungan. Ia mengetahui kejadian-kejadian yang bernilai sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, dan hal yang bersifat kontradiksi. Sebagaimana kejadian khusus yang dapat diingatnya.
            Inilah dan realitas lainnya dapat diusahakan seseorang dengan cara belajar. Masuk juga realitas-realitas yang dapat dihasilkan dari pemberitaan seseorang yang dapat membantu mengurai problematika, sebagaimana dapat terbantu memecahkan masalah untuk solusi di masa mendatang.

3. Metode Kemasyarakatan:
            Manusia adalah Humane Society, (kecenderungan untuk bermasyarakat, berkumpul dengan sesamanya. Ia selalu dalam melaksanakan kegiatan budayanya dengan yang lain sesama individu. Ia belajar di tengah-tengah realita. Bagaimana ia dapat mengaktualkan kegiatannya; bagaimana kegiatan tersebut dapat mempengaruhi individu dan individu itu dapat berimbas pada masyarakat. Oleh karena itu, ia dapat mengarahkan visi dan misinya, pemikirannya dan hal-hal seputar kehidupan. Seperti seorang anak, seorang siswa, dan para penduduk negeri.

4. Pribadi yang Spesial:
            Maksudnya adalah individu yang berbeda dengan lainnya, seperti tanda yang dimiliki oleh orang tertentu yang berbeda dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan ini dapat membedakan seseorang dengan jelas dan gamblang, seperti cara orang tertawa, berbicara, berjalan, sebagian gerakan-gerakan fanatik (yang melekat selalu) yang dilakukan seseorang, seperti mengangkat kedua alis, menggerakkan sebagian wajah atau tubuh. Semua aktivitas ini dapat diusahakan dan dapat dipelajari oleh seseorang sebagai hasil pemberitaan masyarakat.

Devinisi Belajar:
          Mungkin, kami dapat memberikan definisi atas dasar kriteria yang telah tersebut di atas, sebagai berikut:
            Belajar, adalah perubahan atau keseimbangan langkah-langkah kehidupan, yang dapat menghantar orang untuk melaksanakan macam kegiatan, dengan syarat bahwa perubahan atau keseimbangan ini bukan hasil dari sesuatu yang sudah sempurna, atau warisan perselisihan, atau keadaan yang insidentil, seperti lelah, atau pingsan.

Hasil Pembelajaran
          Belajar adalah kegiatan dalam diri individu, yang tidak mungkin dideteksi secara langsung. Hanya saja, kami dapat menetapkan adanya pengaruh dan hasil dari pembelajaran tersebut. Adapun hasil dari pembelajaran itu dapat kami deteksi, kami lihat dan bandingkan.
            Tidak diragukan lagi, bahwa kegiatan pembelajaran adalah  paling banyak dibutuhkan manusia di mana saja ia berada. Sebab, manusia hidup hidup di lingkungannya yang jauh dari tradisional/kuno. Sedangkan kami hidup dalam ikatan masyarakat modern, yang mempunyai aturan hidup secara umum maupun khusus, yang jauh dari kondisi tradisional.
            Anak, dalam perkembangannya, belajar hal-hal banyak    misalnya, mengingat-ingat pekerjaannya, menguasai bahasa dan gaya bagi seseorang. Kami tidak akan menjawab masing-masing topik dalam jawaban tertentu. Artinya, bahwa kami tidak terpatok pada gaya saja, tapi kami berusaha untuk menentukan langkah. Langkah tersebut adalah Kebiasaan.
            Kebiasaan adalah cara atau gaya tertentu yang dapat dipelajari seseorang di tengah-tengah kehidupannya, sesuai/ cocok di tempat yang berbeda di mana ia hidup. Kebiasaan, setelah dilakukan, dapat menempatkan seseorang di tempat yang besar. Sebab, manusia yang pandai adalah ungkapan suatu himpunan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi bagian kepribadiannya. Maka, setiap orang dari kita, adalah memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu yang berkait-erat dengan tempat makan, dan pakaian, cara menulis, atau berjalan di jalan. Sebagaimana ia mempunyai cara berfikir tertentu, yakni suatu metode yang dapat dipakai untuk berfikir dan memecahkan permasalahan. Sebagaimana ia mempunyai intuisi tertentu yang dapat digunakan untuk mengasihani, mencintai, membenci, dll.
            Adat-Kebiasaan mampu mendatangkan tujuan hidup pada kehidupan manusia. Sebab, kebiasaan tersebut minimal dapat membantu penyesuaian diri dalam masyarakat secara nyata, dan proses yang mendominasi diri mampu melakukan aktivitas tanpa pikir panjang. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk memperhatikan secara khusus pembentukan kebiasaan yang baik bagi anak dalam usia perkembangan (pancaroba). Sejauh pandangan kami bahwa mereka (anak dalam masa perkembangan) selalu dalam kebiasaan yang baik akan tumbuh menjadi pemuda yang baik, yang pada akhirnya mereka menjadi orang yang saleh di tengah-tengah masyarakat di mana saja berada.
            Atas dasar itu, lembaga pendidikan (formal maupun non-formal) hendaklah memperhatikan ini, tidak terbatas pada mengajarkan dasar-dasar bembaca, menulis, menghitung dan pengetahuan umum saja, tapi haruslah meluas pada andil positif dalam merealisasikan cita-cita pendidikan secara umum, di samping pendidikan secara khusus (Takhassus, spesialisasi).

Matang dan Proses Pembelajaran
          Kami akan mengetengahkan perbedaan tentang kematangan individu, dan proses pembelajaran. Yang dimaksud dengan: Kematangan individu adalah perubahan yang terjadi pada unsur dalam (intrinsic) dalam suatu kehidupan, atau individu seseorang yang dikembalikan pada faktor psychology dan biology, khususnya dalam ranah keturunan. Sedangkan perubahan yang didasarkan pada kematangan pribadi adalah perubahan yang mendahului proses pengetahuan dan pembelajaran. Yaitu hasil yang terjadi pada unsur dalam(intrinsic) bagi setiap individu, tidak menyangkut faktor luar.

Latihan dan Kematangan
            Perlu kami membedakan antara Kematangan dengan Latihan. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah Belajar bahasa bagi anak. Seorang anak tidak belajar berbicara, sampai pada waktunya. Tapi, bahasa yang dipelajarinya adalah bahasa yang didengarnya. Artinya bahwa kemampuan seorang anak mempelajari bahasa apapun syarat utama adalah kemampuan asasi untuk mendengarkan suara dan berfungsinya akal seseorang. Adapun bahasa yang dipakai untuk berbicara, baik bahasa Arab, Inggris, maupun Prancis itu tergantung adanya latihan. Bila hidup dalam lingkungan orang yang berbicara dengan bahasa Arab, maka ia akan belajar bahasa Arab. Sedangkan kematangan ini belum cukup. Dan kematangan itu belum cukup untuk mengaplikasikan belajar, walau syarat-syaratnya terpenuhi.
Kematangan ada dua:
  1. Kematangan Jasmani:
Yang dimaksud dengan kematangan jasmani adalah tumbuh-kembangnya tubuh secara biologi yang berkaitan dengan fungsi di mana seseorang mesti mempelajari karenanya. Seorang anak, misalnya, tidak akan mampu berjalan bila tidak kuat otot kakinya. Termasuk salah besar, kalau kita paksa anak untuk berjalan bila ia belum sampai pada kematangan kedua atot kakinya. Sehingga dalam kondisi seperti ini akan berbahaya melatih berjalan kepada anak sebelum mampu.

  1. Kematangan Ruhani:
Maksud di sini adalah kematangan akal sesuai tingkat pertumbuhan fungsi-fungsi akalnya pada umumnya. Anak pada usia 9 tahun, misalnya, dapat mengerjakan perkalian tanpa dapat memahami jalannya perkalian itu. Cukup baginya menempuh tahapan ini dengan cara kita minta mengerjakan perkalian tanpa harus kita menanyakannya  secara terperinci. Setelah tahapan pendahuluan seperti itu, si anak akan mampu menelusuri perkalian: 7 x 9, adalah merupakan himpunan 7 yang berulang sampai 9, atau 9 yang berulang sampai 7.
Kematangan ruhani itu sekitar usia Murahiq (10- 11 tahun, atau sebelum mimpi basah bagi lelaki), yang ditandai dengan perkembangan akal, seperti dapat menetapkan sesuatu, memberikan alasan, dapat memahami, mengingat-ingat sesuatu, bangun tidur sendiri, dan bertambah sensitif pancaindranya, misal sentuhan, rasa atau pendengarannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan hubungan antara kematangan individu dan pembelajaran sbb.:
  1. Pembelajaran terhadap obyek tertentu, tergantung pada kematangan jasmani dan berfungsinya rohani/ rasio, yang menjadi titik tolak pertanggungjawaban seseorang dalam mempelajari suatu perkara. Termasuk kesia-siaan adalah mengubah potensi kemampuan untuk mengerjakan sesuatu bila belum ada kematangan individu. Dengan demikian, kematangan individu adalah syarat bagi adanya  pembelajaran. Maka dari itu, tidak mungkin mengajarkan membaca kepada anak, kecuali bila telah ada kesiapan dan kematangan seseorang untuk menerima dan mempelajarinya. Yakni, ia memiliki kesiapan bacaan dan membaca.
    Kematangan rohani itu sendiri, belum cukup untuk mengujudkan kegiatan pembelajaran. Tapi, mesti dibarengi kelengkapan syarat-syaratnya. Artinya, bahwa seorang anak dalam usia 7 tahun memiliki kematangan untuk menulis dan membaca. Tapi, ia belum mampu mengujudkan hal tersebut kecuali dengan cara pengalaman dan latihan (experience and practice).

  1. Bentuk-bentuk kegiatan yang merupakan keharusan bagi makhluk hidup, seperti berjalan bagi manusia dan hewan, berenang bagi ikan, atau terbang bagi burung mempunyai pengaruh sedikit bila dilatih. Terlalu dini melatih berjalan kepada anak, terkadang dapat membuat si anak terhambat pertumbuhannya. Tapi, melatih si anak pada usia 12 atau 13 bulan (misalnya) sangat berguna baginya untuk keseimbangan kepala yang bergerak-gerak.
  
  1. Motivasi:
Mungkin, dasar pembelajaran yang paling vital adalah motivasi. Sebab, menurut survey dijelaskan bahwa, binatang yang lapar itu lebih cepat menerima pembelajaran daripada binatang yang tidak lapar. Adanya hadiah materi atau non-materi dapat membantu menambah semangat para pekerja dan menambah banyak produksi mereka. Pemberian hadiah (ganjaran), baik berupa materi atau yang lainnya sangat membantu peningkatan prestasi siswa.
Pihak madrasah/ sekolah biasanya memberi cara-cara untuk memperoleh hadiah. Tentunya, siswa ada yang memperolehnya dan ada pula yang tidak. Ini sangat berpengaruh pada siswa untuk berlomba-lomba mendapakannya.

1. Pahala dan Hukuman (Reward and Punishment):
  1. Pahala/ ganjaran itu lebih baik daripada siksa. Dan sanjungan itu lebih baik daripada hujatan, pada umumnya.
  2. Pahala/ hadiah dapat membuat seseorang memperolehnya berulang kali. Sedangkan siksa atau hujatan sering tidak mampu untuk mencegah berulangnya kesalahan. Bahkan, malah membuat berulang kali tindak kesalahan. Seorang anak yang kencing tanpa disengaja, akan bertambah buruk bila mendapatkan siksa/hukuman/hujatan. Seorang anak yang menginjak akil balig (dewasa) cenderung melakukan banyak lamunan. Pukulan dan hujatan tidak akan berguna baginya untuk menghentikan mimpi-mimpinya itu.

  1. Hukuman (baca: hujatan) membangkitkan gairah belajar. Tapi, pengaruh ini berbeda untuk setiap orangnya. Metode seperti ini hendaklah tetap memperhatikan nilai-nilai rasionalitas. Sebab, memberikan hukuman yang melebihi batas, terkadang dapat memberi kesan negatif, membuat kebencian terhadap guru, atau kepada pelajarannya, dan menurunkan kepercayaan diri.
  2. Balasan yang tergesa-gesa, baik berupa pemberian hadiah maupun penerapan hukuman adalah sangat bermanfaat daripada menundanya.

  1. Hukuman dalam bentuk larangan tersendiri, terkadang bermanfaat pada suatu kali. Di samping harus memperhatikan kondisi yang terkena larangan tersebut dalam menerapkannya. Seperti halnya larangan tidak boleh memakai sandal bagi orang yang terkena hukuman.

  1. Menghujat/ memarahi seseorang siswa secara tersendiri   --tidak di depan umum-- adalah satu-satunya bentuk hukuman yang sangat baik dan berguna untuk membuat siswa jera. Di samping adanya kesadaran pengakuan dari si terhukum.
   
  1. Hukuman dapat menambah bahaya dan tak terkesan memberi jera lantaran kesombongan dan tidak ada rasa malu dari si terhukum. Dan kenyataannya, bahwa hukuman itu bersifat negatif yang terkadang dapat membawa seseorang  untuk menjauhi kesalahan. Tapi, agak langka dapat menjelaskan secara gamblang yang seharusnya dilakukan oleh si terhukum. Berbeda dengan bentuk pemberian hadiah. Oleh karena itu dapat dijelaskan, bahwa pemberian hukuman itu bersifat individual, tidak disiar-siarkan kepada khalayak ramai.  

2. Pujian dan Hinaan (Praising and Blaming):
            Pujian, adalah bentuk lain dari suatu pemberian/ hadiah. Sebagaimana Hinaan, yang diberikan oleh guru kepada siswa adalah bentuk lain dari hukuman.
            Menurut eksperimen yang dilakukan oleh Harlock, menjelaskan bahwa pengaruh kedua metode tersebut bersifat relatif. Sangat mungkin, seseorang berada di kelompok yang satu terhung baik. Tapi, bila di kelompok lainnya terkenal jeleknya. Pujian itu dapat mendatangkan kesuksesan yang lebih baik, dibandingkan dengan Hinaan.  

3. Sukses dan Gagal (Success and Failure)
            Sukses dapat dipandang sebagai pahala, seperti halnya Gagal, dipandang sebagai hukuman. Kesuksesan itu hanya dapat dilihat dari segi kejiwaan seseorang dan pandangan yang ditempuhnya. Karena itu, kesuksesan tidak dapat dipasang kepada orang tertentu. Begitu juga yang namanya kegagalan, tidak dapat diterapkan kepada orang lain.
            Beberapa eksperimen menetapkan, bahwa kesuksesan itu akan dapat mendatangkan kesuksesan yang lain. Hanya saja sebagian ahli pendidikan memandang bahwa, seorang anak akan memperoleh kesuksesan justru dari kegagalan. Sebab, ia akan keluar untuk menuju ke lingkungan yang memungkinkan kesuksesan. Karena itu, para ahli pendidikan tidak memandangnya sebagai bahaya, bila seorang siswa mengalami kegagalan untuk satu ujian. Kemudian setelah itu, ia dapat menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan sebagai renungan untuk kesuksesan. Sehingga ia dapat merasakan nikmatnya kesuksesan setelah kegagalan. Orang mengatakan: ”Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”.
            Pembelajaran bagi seorang anak dilaksanakan secara bertahap sesuai tingkat kematangan jiwa. Sehingga pembelajaran untuk anak kecil (belum dewasa) tidak dapat diterapkan sebagaimana untuk orang dewasa. Oleh karena itu, kesuksesan atau kegagalan adalah bentuk kesimpulan sementara yang mendasarkan pada aturan-aturan kemasyarakatan lokal di mana ia hidup (tinggal). Tidak dinyatakan dengan dasar senang atau tidak senang. Tapi dengan kenyataan/ realita bukan fiksi, dan memperhatikan yang lainnya, bukan egoistik.
============  

Rabu, 18 Mei 2011

NASEHAT IMAM GHAZALI


Nasehat Imam al-Ghazali
Written By Henri Shalahuddin
"Ilmu itu cahaya", demikian petuah masyhur dari para Hukama' dan orang-orang saleh. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam kalbu.
Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi). Nabi juga bersabda: "Terdapat dua golongan dari umatku, apabila keduanya baik, maka manusia pun menjadi baik dan jika keduanya rusak maka rusaklah semuanya, yakni golongan penguasa dan ulama" (HR. Ibnu 'Abdil Barr dan Abu Naim dengan sanad yang lemah).
Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.
Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)
Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah)
Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah". Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin)
Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.
Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Maraknya aksi corat-coret baju seragam, iring-iringan konvoi dan beragam ekspresi negatif lainnya ketika merayakan kelulusan ujian, menjadi bukti bahwa kualitas pendidikan kita masih difokuskan untuk pemenuhan komuditas perut yang sarat dengan nilai-nilai hedonis. Padahal Ali bin Abi Talib ra., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab.

Jumat, 06 Mei 2011

Berhaji (2)


WUQUF DI ARAFAH
Karena wuquf di Arafah merupakan rukun haji terbesar maka barangsiapa yang tidak melaksanakannya, hajinya tidak sah.
Mengenai hal itu Nabi SAW bersabda:
“ALHAJJU’ARAFATUN MAN JAA-ALAlLA JAM’! QABLA THULUU’IL FAJRI FAQAD ADRAKAL HAJJA”
Artinya:
Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam “mabit” di Muzdali{ah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji (HR.Abu Dawud).

Yang dimaksud dengan malam jam’i dalam hadis itu adalah malam berkumpul di Muzdalifah. yaitu tanggal 9 malam 10 Zulhijjah. Dan yang dimaksud dengan wukuf di Arafah adalah kehadiran seseorang di padang Arafah, baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan tidak suci, misalnya dalam waktu nifas, haids atau junub.
Melakukan wuquf haruslah menghadap kiblat, memperbanyak istighfar dan doa baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk mendapatkan kebaikan dunia maupun untuk memperoleh kemenangan di akhirat.
Istighfar dan doa itu hendaklah dilakukan dengan kekhususan dan keyakinan yang penuh serta dalam keadaan ingat kepada Allah swt. dalam berdoa itu hendaknya disertai dengan mengangkat kedua belah tangan.
Doa Nabi SAW ketika di hari Arafah adalah :
“LAA ILAHA ILLA ALLAAH WAHDAHULA SYARIIKA LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU BIYADIHIL. KHAIRU WAHUWA -ALA KULLI SYAI-IN QADIIR”
Artinya:
Tidak ada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu baginya, milik-Nya pula segala sanjungan. Di tangan¬Nya-lah segala kebajikan dan Ia Mahakuasa atas segala-galanya. (DR. Ahmad)

Sebelum wuquf di Arafah di sunatkan mandi terlebih dahulu. Hal ini sudah dilakukan oleh Ibnu Umar. Dan Umar sendiri mandi di Arafah dalam keadaan masih ihram. Tetapi mereka yang wukuf itu tidak disunatkan berpuasa.
Sumber : Buku Haji & Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo

JAM BELAJAR PADAT




Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan, jam belajar anak Sekolah Dasar (SD) di Indonesia mencapai 1.400 jam per tahun, melebihi standar jam belajar 800 jam per tahun yang telah ditetapkan UNESCO. ”Standar belajar UNESCO 800 jam per tahun untuk anak SD, sedangkan anak SD di Indonesia belajarnya mencapai 1.400 jam. Kejamnya luar biasa,” ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak yang akrab dipanggil Kak Seto, . Menurut dia, istilah wajib belajar sekarang ini salah. Mengenyam pendidikan bagi anak merupakan hak bukan kewajiban, justru yang wajib adalah pemerintah yang harus menyediakan tempat belajar yang menyenangkan. Dia mengatakan, seharusnya semua orang dapat membuat belajar itu terkait dengan pengalaman yang menyenangkan. ”Anak-anak pada dasarnya sejak kecil senang belajar. Yang membuat mereka tidak senang ya gara-gara sekolah itu dibuat jadi ‘susah’, PR-nya, kurikulumnya terlalu padat,” ujar dia. Oleh karena itu para orang tua dengan berbagai macam cara berusaha untuk meningkatkan prestasi akademik sang anak.  Entah itu dengan memasukkan anak ke full day school,  les privat maupun bimbingan belajar  sampai menyita waktu bermain anak.
Yang  jadi  masalah,  kita  belum  bisa  secara  efektif  &  efisien memaksimalkan metode belajar mengajar yang baik. Artinya,  secara kasar  dapat  kita  lakukan  bahwa  jam  belajar  yang  panjang  (seperti yang kita  terapkan selama  ini) bukanlah  jaminan seorang siswa akan menjadi  lebih pandai. Bahkan bisa  jadi sebaliknya,problema  murid  ini  juga  nggak  lepas  dari  masalah  pengajarnya. “memang  belum  ada  penelitian  yang  khusus  dan  mendalam.  Tapi , persoalan guru di Indonesia, juga harus dibenahi.    Jika  kita mau meninjau  ulang  berbagai macam  usaha  untuk memajukan  pendidikan  di  negeri  ini,  semuanya  terpusat  pada “Bagaimana cara menggembleng siswa dan mencekoki siswa dengan materimateri  yang  sudah  ditetapkan  oleh  kurikulum  di  Negeri  ini. Semua berorientasi pada Kuantitas bukan Kualitas”.  Lalu, walaupun secara  kuantitas  jam  belajar  di  negeri  ini  melebihi  jam  belajar  di jepang atau perancis. Apakah kualitas dari proses pembelajaran yang berlangsung di Indonesia bisa dikatakan lebih baik dari kedua Negara tersebut?  Lalu  apakah  visi  pembelajaran  yang  dicanangkan  sudah tercapai? Lalu adakah faktor lain yang bisa mempengaruhi keefektifan proses  Kegiatan  Belajar  Mengajar? Padahal,  data  dari  UNESCO  menyebutkan  bahwa Jam belajar anakanak sekolah di  Indonesia mencapai 1.680  jam per tahun  untuk  SMP  dan  SMP  atau  42  jam  dalam  seminggu.  Bila dibandingkan dengan anakanak di  Jepang  jenjang yang  sama hanya memerlukan  waktu  30  jam  atau  32  jam  untuk  anak  sekolah  di perancis,  dua Negara yang  system pendidikannya diakui  cukup baik di dunia. Di Australia jam belajarnya malah hanya 25 jam.    Bisa  dibayangkan  betapa  besar  tekanan  yang  di  alami  siswa dengan  banyaknya  beban  serta  tuntutan  yang mereka  emban  baik dari orang tua, guru maupun lingkungan sekitar. Siswa dituntut untuk belajar  dengan  waktu  yang  lama  yaitu  42  jam  dalam seminggu bahkan  jam  belajar  itu  melebihi  jam  belajar  2  negara  yang  sistem pendidikannya  diakui  cukup  baik  di  dunia.  Lalu  pertanyaan  yang muncul  adalah  apakah  hasil  yang  dicapai  system  pendidikan  di Indonesia  bisa maksimal dan bisa melebihi ke 2 negara tersebut? Sisi positif  dari  ‘belajar  lama’  ini mungkin  saja  ada, namun  tak  begitu  kelihatan.  Yang  ‘kelihatan’ malah  sisi  kelemahan kita.  Sebut  saja,  katanya,  jika  diambil  ratarata  kemampuan intelektual siswa Indonesia dari SD sampai SMA disbanding anakanak Negara  lain  yang  menerapkan  jam  belajar  yang  lebih  pendek, misalnya  jepang  atau  perancis.  “Apakah  anakanak  Indonesia  lebih berkualitas secara ratarata? Rasanya tidak. Atau jika Negara tetangga seperti  Singapura,  kita  juga masih  kalah.  Apakah  kita  lebih  bodoh? . Gurupun  juga tidak kalah  takutnya. Para guru sangat ditekan oleh  tuntutan kurikulum yang padat dalam waktu yang singkat. Para guru   dituntut  untuk  menyampaikan  banyak  materi  dengan  cepat, melakukan  evaluasi  permateri  dan  belum  lagi  untuk  memenuhi tuntutan  kelulusan  juga  kewajiban  secara  tidak  langsung  untuk menjaga  reputasi  sekolah.  Dan  tentunya  guru  akan  semakin  intens menggembleng  siswa  walau  harus  dengan  menambah  jam  belajar siswa  di  sekolah.

Kamis, 05 Mei 2011

Menjadi Guru Sukses


Tips Sukses Menjadi Guru ala Gisele Glosser
1.              Berpikir kritis dan usaha yang jujur lebih penting daripada jawaban yang benar. Cobalah untuk tidak mengerutkan kening ketika siswa memberikan jawaban yang salah atau keliru. Mengerutkan kening seringkali ditafsirkan sebagai bahasa isyarat  penolakan yang dapat menghambat siswa untuk berpartisipasi dalam mengekspresikan pemikirannya.  .
2.              Tidak ada pengajaran tanpa pengendalian. Lebih baik Anda bersusah payah pada hari-hari awal masuk sekolah untuk menemukan cara-cara terbaik dalam mengelola kelas dan mendisiplinkan siswa,  daripada Anda harus melakukan perjuangan berat sepanjang semester karena Anda tidak berhasil menemukan cara yang paling efektif dalam pengelolaan kelas.
3.              Kadang-kadang hal terbaik untuk dilakukan adalah berhenti berbicara. Jika terjadi kebisingan di kelas, Anda tidak perlu berteriak-teriak meminta para siswa agar  berhenti gaduh. Cobalah Anda berdiri di depan kelas dengan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kemudian tataplah mereka (khususnya siswa yang menjadi sumber keributan) dengan tetap tanpa menunjukkan  ekspresi  marah.
4.              Cobalah lakukan kegiatan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Dalam proses pembelajaran rutinitas dan terstruktur memang hal yang baik, tapi apabila hal ini terlalu banyak dilakukan dapat menyebabkan Anda dan kelas Anda jatuh terjerembab ke dalam suatu kebiasaan yang membosankan.
5.              Mendorong siswa untuk bepartisipasi aktif. Berikan kesempatan kepada setiap siswa untuk tampil di depan kelas atau mempersilahkan mereka untuk bekerja dalam kelompok. Sedapat mungkin hindari pembelajaran yang  berpusat pada guru untuk sepanjang tahun.
6.              Cobalah untuk bersikap fleksibel. Misalnya, pada saat berlangsung proses pembelajaran di kelas, Anda punya aturan ketat terhadap siswa tentang permen karet. Tetapi mungkin Anda  dapat memejamkan mata untuk hal ini  ketika siswa sedang menghadapi ujian.
7.              Cobalah uraikan secara jelas topik-topik apa yang akan diujikan. Anda tidak hanya cukup dengan mengatakan dan menyuruh siswa “Minggu depan ulangan, silahkan Pelajari Bab 6!”. Perintah dan penugasan semacam ini akan dirasakan membingungkan, terutama bagi para siswa yang kurang memiliki keterampilan belajar.
8.              Meminta dukungan manajemen. Adalah penting untuk mendapatkan dukungan dari manajemen ketika Anda berhadapan dengan isu-isu sulit, terkait dengan proses pembelajaran yang  Anda lakukan. Misalnya, meminta dukungan untuk mengadakan konferensi dengan para orang tua siswa yang  mengalami kesulitan dalam belajar.
9.              Berikan siswa kesempatan untuk mengikuti ujian. Jika seorang siswa selalu hadir dalam setiap pertemuan di kelas, namun karena satu dan lain hal dia tidak bisa hadir pada hari ujian, Anda seyogyanya dapat  memberikan kesempatan kepadanya untuk mengikuti ujian susulan dan  jangan membiarkannya lebih dari satu atau dua hari.
10.       Gunakan teknik “Front Loading”.  Para siswa cenderung lebih  termotivasi untuk belajar pada awal masuk sekolah. Pada awal masuk sekolah, selain diajak meninjau kembali materi pada semester sebelumnya,  secara garis besarnya siswa juga diajak untuk mengenal topik-topik  yang  hendak dipelajarinya selama satu semester ke depan
11.       Ajarkan para siswa untuk memiliki keterampilan memecahkan masalah. Ketika siswa Anda memasuki dunia kerja atau terjun ke masyarakat, sudah pasti dia  akan banyak berhadapan dengan berbagai masalah yang harus dia selesaikan dengan baik. Melalui pembelajaran yang Anda lakukan diharapkan para siswa akan terbiasa  dan terampil  dalam memecahkan aneka masalah yang dihadapinya..
12.       Berikan penghargaan atas setiap hasil dan usaha belajar mereka. Penghargaan yang Anda berikan akan memberikan motivasi kepada para siswa untuk mengerjakan sesuatu lebih baik lagi
13.       Lakukanlah yang terbaik dari diri Anda dan  bersikap adillah  kepada seluruh siswa, maka Anda akan mendapatkan rasa hormat dari mereka. Krisis kepercayaan kepada guru  seringkali bersumber dari ketidaksanggupan untuk menampilkan yang terbaik kepada siswanya.
14.       Motivator terbaik adalah menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Jangan lepaskan pembelajaran dari dunia nyata siswa, belajarkanlah mereka hal-hal yang berhubungan dan menyentuh langsung kehidupan mereka  Misalkan guru Matematika ketika sedang membelajarkan tentang sistem metrik, mintalah kepada siswa membawa kertas karton kosong dan botol-botol dari dapur mereka,  untuk dijadikan sebagai media pembelajaran.
15.       Di sekolah-sekolah tertentu, adakalanya siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan (kelas unggulan). Hal ini membuat mereka lebih menonjol dibandingkan peserta lainnya. Di satu sisi, cara ini dapat memberikan  kemudahan bagi guru untuk memberikan pelayanan pembelajaran secara homogen, namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Sumber:
Terjemahan dan adaptasi dari :