Selasa, 03 Desember 2013

NU dan harapan ke depan



NU dan harapan ke depan*
MEMBINCANG Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai perspektif memang sangat
menarik, apalagi ketika organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (ormas) terbesar di Indonesia ini dilihat dari sisi perjuangan keumatan (bangsa) dan kiprah politiknya dalam kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia.
Organisasi yang lahir pada Ahad Pon, 31 Januari 1926/ 16 Rajab 1344 H., bisa dikatakan sebagai tonggak gerakan organisasi Islam moderat (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah) yang mengusung cita-cita perjuangan bangsa dengan prinsip tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan i’tidal (keadilan). Sehingga tidak heran ketika pendiri NU yaitu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, yang keduanya merupakan seorang ulama besar sekaligus pahlawan kemerdekaan bangsa (lihat: Sang Kiai), membuktikan dan melakukan perannya bahwa keIslaman dan keIndonesiaan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu nafas. Islam adalah nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal, dan keIndonesiaan adalah realitas sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai itu (Islam) tanpa harus menafikannya. Artinya, ke-Islaman harus hadir dalam kebudayaan dan kebhinekaan yang sudah mengakar kuat dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini.
Sebagaimana Islam datang ke bumi nusantara melalui merkantilisme (perdagangan) para saudagar gujarat yang bersifat toleran dan damai, maka NU harus memainkan peran tersebut. Peran tersebut adalah melindungi kebhinekaan dan membangun solidaritas kebangsaan yang kuat (Zuhairi Misrawi, 2010).
Khittah Politik (Ketatanegaraan) NU
Konsep dasar politik (ketatanegaraan) yang dianut NU sesungguhnya bercermin pada sejarah politik internasional, setelah dihapusnya secara resmi kekhalifaan Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal Phasya pada tahun 1922 hingga jatuhnya Kekhalifaan Turki pada tahun 1924 mengakibatkan terpecahnya pemahaman tentang konsep dan ide politik ketatanegaraan antara penegakan kembali kekhalifaan (negara Islam) atau konsep Negara nation-state di negara mayoritas muslim (Kongres Khilafah, 1926).
Ketidaksetujuan NU terhadap konsep kekhalifahan adalah lahir dari paradigma politik kebangsaan NU, dimana para ulama NU memandang bahwa keIslaman harus mampu dipraktekkan dalam bingkai kebangsaan. Sehingga Islam yang dianut NU pun adalah Islam Nusantara. Artinya, NU mampu mendefinisikan Islam Indonesia dalam bingkai kebangsaan (dalam bentuk nation-state). Konsep ini sesungguhnya paralel dengan sejarah kelahiran NU yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang demi melestarikan tradisi keagamaan dan kesadaran untuk mengobarkan kesadaran nasionalisme (kebangsaan) para pemuda-pemudi tanah air demi merebut dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa pada tahun 1945 (baca; Resolusi Jihad NU).
Hal inilah yang menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang terus menerus menggalang ide kebangsaan dalam politik ketatanegaraan. Implikasi yang nampak jelas dari politik kebangsaan NU adalah lahirnya pemikiran-pemikiran politik yang kontekstual terhadap kondisi social bangsa Indonesia. Bahkan, Muktamar NU 1935 di Banjarmasin, misalnya, telah menegaskan bahwa Indonesia bukanlah darul Islam (negara Islam), melainkan darus salam (negara yang damai). Selain itu konsep ini juga diperkukuh dalam keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1983 yang menegaskan bahwa Pancasila adalah Final sebagi dasar dan ideologi negara dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Dengan kata lain, Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi politik bangsa Indonesia. Karena Islam bukanlah ideologi politik, sehingga NU tidak mendukung konsep politik tentang negara Islam (Robin Bush; 2009, 76).
Posisi inilah yang diambil oleh NU dalam melihat realitas dan kontekstual kehidupan bangsa bahwa NU dalam memperjuangakan dan memilih Pancasila sebagai ideologi politik sesungguhnya menggunakan argumen betapa kemajemukan telah menjadi modal dasar bernegara karena sejak awal NU tidak menghendaki keseragaman dan unifikasi dalam kehidupan kebangsaan.
Dari sejarah singkat perjuangan NU tentang politik ketatanegaraan baik dalam debat konsep dan ide bernegara hingga melahirkan keputusan final tentang Pancasila sebagai Ideologi politik bangsa, menegaskan kepada kita bahwa NU dalam memahami masalah ketatanegaraan (nation) lebih mengedepankan nilai dan tidak mengedepankan simbolik. Ini artinya bahwa nilai-nilai agama dibawa ke negara, dan negara yang mengemasnya dalam bentuk nasionalisme yang disepakati melalui proses demokrasi.
Sehingga posisi khittah politik kenegaraan, NU berdiri tegak dalam bingkai nation-state (negara-bangsa) dalam bentuk NKRI yang berdasarkan Pancasila dan sebagai falsafah negara.
Paradigma NU
Berkaca pada khittah politik ketatanegaraan NU pada aras politik internasional, maupun nasional di atas, kita dapat melihat bahwa proses panjang perjuangan NU tidaklah lahir begitu saja dalam memperjuangkan konsep dan gagasan negara bangsa maupun perjuangan akan nilai-nilai Islam moderat dan substansi demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, tetapi NU lahir dengan Pandangan dasar (paradigma) dalam menyikapi sesuatu.
Pertama, dalam pandangan NU, cara yang paling efektif untuk mewujudkan
kehidupan umat manusia yang sesuai dengan prinsip dan nilai yang terkandung dalam Alquran adalah melakukan kegiatan dakwah yang terencana. Dalam aktivitasnya ini, NU menggunakan tiga pendekatan; (1) menggunakan pendekatan fiqhul ahkam, untuk umat yang sudah ijabah atau umat yang sudah siap; (2) kepada umat yang belum siap menerima hukum fiqh, NU memakai pendekatan fiqhud dakwah. Pendekatan yang digunakan tidak menggunakan pendekatan fiqih yang legal formal, namun melalui
pembinaan; (3) fiqhus siyasah, bagaimana membawa hubungan agama dengan politik dan kekuasaan negara. Fiqhus siyasah yang digunakan NU memakai pendekatan substansial yang inklusif, menghindari pengutamaan formalitas yang eksklusif (baca; dakwah NU).
Selama ini pendekatan yang dipakai NU tidaklah lewat perebutan kekuasaan atau konflik. Terhadap nilai-nilai lokal yang sudah ada, NU tidak konfrontatif, melainkan dengan proses akulturasi atau penyempurnaan. Dalam proses itu, NU sepanjang perjuangannya di negeri selalu menghindari formalisasi Islam dalam bentuk negara. Formalisasi Islam dalam bentuk negara adalah problematika tersendiri. Karena kalau lewat perebutan kekuasaan, nilai-nilai islam akan sulit untuk membudaya di Indonesia. Sedang kalau lewat konflik, maka hal itu akan membuat konflik yang baru yang tidak pernah berkesudahan (KH Hasyim Muzadi; Spirit Sufisme 2009).
Kedua, NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam dapat di implementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealkan institusi.
Kaitannya dengan nation state, fiqhus siyasah yang dipakai NU lebih cenderung memaknai islam secara maknawi bukan islam dalam pengertian lafdzi. Dengan demikian NU beranggapan yang maknawi atau yang substansial itulah yang bisa menjadi dasar negara, bisa menjadi konstitusi, maupun pembentukan sistem lembaga.
Bagi NU dalam kehidupan bernegara, agama diletakkan sebagai sumber inspirasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama oleh NU diposisikan sebagai penyumbang terbesar dari nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, sehingga yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai keIslaman dapat tumbuh secara alamiah dalam masyarakat. Apa artinya negara Islam kalau isinya dipenuhi tindakan anarki, ketimpangan sosial-ekonomi, penindasan satu umat oleh umat lain, yang tidakan tersebut jelas jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Ketiga, pemahaman orang atau kelompok terhadap agama itu berbeda-beda,
dipengaruhi oleh kondisi saat itu, tingkat pemikiran, tingkat kepentingan, dan juga penyesuaian terhadap masalah-masalah lokal.
Pemahaman seseorang yang berbeda-beda terhadap agama akan melahirkan
perbedaan aliran agama yang jumlahnya tidak sedikit. Aliran-aliran agama ini memiliki konsep masing-masing, berdasarkan pemahaman yang berbeda, tentang bangunan negara.
Keempat, NU menempatkan posisinya sebagai jamiyyah diniyah ijtima’iyah bukan jam’iyyah siyasah. Namun demikian tidak berarti NU alergi politik. Politik yang dikembangkan NU adalah dalam rangka kebangsaan, politik keadilan, politik keIslaman, bukan politik kekuasaannya.
Politik kekuasaan sudah diwakili oleh partai politik (parpol). NU bukan parpol, tapi membebaskannya anggotanya untuk masuk dalam partai apapun juga. NU tidak bergerak dalam perebutan kekuasaan, namun orang-orang NU ada di dalam semua partai di Indonesia.
Inilah pandangan dasar mengapa sejak kelahirannya, NU memilih sebagai
organisasi keagamaan, bukan sebagai organisasi partai politik. Inilah sesungguhnya khittah Nahdliyyah, garis perjuangan NU yang sejati (Khittah NU 1984).
NU Kudus, Sebuah Harapan
            Dinamika NU (Baca: warga Nahdliyin) khususnya di kawasan kota kretek, Kudus, tampaknya akan menjadi ajang perebutan politik sesaat. Hal ini ditandai oleh adanya Pilkada Kudus pada Juni 2013 yang dimenangkan pasangan Mushtofa-Abdul Hamid, yang mana konstituen terbesar adalah warga NU.
            Kita tidak menafikan gregret demokrasi warga yang selama Orde Baru terbungkam. Namun eforia politik tersebut menyingkirkan visi-misi NU yang terseret arus, sehingga menjadi gelombang kecil yang tak mampu menggeser batu karang yang menghadang di depannya. Tentunya kita tidak mau mengulang kembali pengalaman pahit yang beracun tersebut pada 2014 nanti.
            Warga Nahdliyin memang penghuni terbesar di kota santri ini. Namun, mengapa mereka selalu terkalahkan oleh penghuni minoritas ? Apakah mereka kurang (tidak) terorganisir sama sekali ? Apakah ini justru membenarkan adagium: Al-Qalil (baca: Al-Bathil) bin Nizham yaghlibul Katsir (Al-Haq) bi la nizham (Sedikit yang terorganisir, terkadang mengalahkan yang banyak tanpa terorganisir) ? 
            Orang bilang: “NU ada dimana-mana”. Ini adalah teori yang mengemuka dalam rangka meredam konflik yang terjadi saat warga NU ada di berbagai ‘warung’ politik. Sebab, ghirah politik sementara warga NU sangat kental dan melekat lama dalam diri mereka. Sehingga mereka sulit untuk dipersatukan. Dan inilah (mungkin) ciri khas ‘ketidaktundukan’ warga NU (maaf, agak kasar) terhadap satu wadah politik sebagai satu-satunya penyaluran  aspirasi politik.
Apa yang seharusnya bagi NU ?
            Bila kita hadirkan kembali sejarah NU  dengan segala konsekuensinya yang berubah-ubah, yang pada akhirnya kembali kepada Khittoh NU 26, maka kita hendaknya tulus ikhlas mengamalkan pesan-pesan Khittoh 26 tersebut secara konsekuen. Ini tentunya harus diawali oleh para pemangku NU di setiap jenjang. Sebab, mereka adalah  pemimpin yang ditauladani, dan menjadi contoh masyarakat. (Sekian terima kasih, semoga bermanfaat).

            *Saniman el-Kudusi
              LTN (Lajnah Ta’lif  wan Nasyr) NU. 
              (3 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar