Metode
Pemaknaan Kata dan Istilah
Bahasa adalah
sesuatu yang secara alami digagas manusia semenjak manusia diciptakan. Bahasa
adalah kesepakatan antar manusia baik dalam lingkup kecil maupun besar. Dengan
bahasa manusia lebih mudah menyampaikan maksud dan tujuannya kepada yang lain
dengan berbagai cara. Sekarang ini paling tidak kita mengenal bahasa lisan dan
tulisan yang kesemuanya mudah dipahami bagi orang yang memang berbahasa asli
bahasa tersebut atau dengan sengaja mempelajari bahasa tersebut.
Bahasa ibu
itulah sebutan bagi bahasa yang dikenal semenjak kecil dan biasanya akan selalu
terbawa meskipun sudah dewasa dan jarang digunakan untuk percakapan
sehari-hari. Contoh mudah orang yang berbahasa ibunya bahasa jawa ketika
menghitung cepat secara tidak sadar akan tetap akan menggunakan bahasa jawa
–ji, ro, lu, pat, ma,…….-, padahal bahasa tersebut sudah jarang sekali dipakai
dalam percakapan sehari-harinya. Hampir setiap manusia punya keterikatan yang
kuat terhadap bahasa ibu yaitu bahasa yang dikenalnya semenjak kecil. Bukan
hanya di Indonesia saja, di Timur Tengah semenjak jaman jahiliyah-pun mereka
sudah menyadari konsep bahasa ibu ini, kita mengetahui sejarah Rasulullah yang
semenjak kecil sengaja dititipkan ke pengasuh yang berada di daerah Baduwi
(pinggiran) agar bahasanya baik, karena pada masa itu saja bahasa Arab yang
dipakai di kota sudah mulai rusak baik disengaja ataupun tidak.
Pengrusakan
bahasa ini kadang memang terjadi secara alami, kadang juga memang disengaja
oleh pihak tertentu dengan tujuan tertentu juga. Bahkan bukan hanya pengrusakan
bahasa, pemusnahan bahasa juga menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk
mencapai tujuan tertentu. Semenjak terjadinya perang pemikiran terlihat dengan
jelas metode pengrusakan dan pengaburan bahasa menjadi salah satu metode Barat
dalam merusak dan menghancurkan pondasi dasar kaum Muslimin. Dimulai dengan
membelokkan makna kata-kata yang sudah jelas artinya hingga menjauhkan kaum
muslimin dari bahasa aslinya yaitu bahasa Arab. Dan ketakutan mereka sudah
sangat merasuk bahkan bahasa lain yang digunakan kaum muslimin-pun mereka
upayakan untuk disimpangkan maknanya. Kita mengenali istilah Islam, jihad,
iman, kufur, shalat, zakat sudah disimpangkan dari arti aslinya, dan banyak
kaum muslimin yang begitu ketakutan ketika menggunakan kata ini dalam definisi
aslinya. Dalam bahasa Indonesia istilah fundamental, fanatik juga menjadi
istilah yang ditakuti oleh masyarakat.
JENIS KATA DAN
ISTILAH DALAM MASYARAKAT
Dalam
menggunakan kata untuk menyusun kalimat tidaklah bisa sembarangan, karena
selain memiliki kaidah yang jelas, juga jangan sampai terjebak oleh pengaburan
dan pengrusakan makna kata itu sendiri. Kata yang akan kita gunakan paling
tidak bisa kita bagi menjadi dua macam:
- Kata/istilah yang belum
pernah/tidak pernah digunakan dalam masyarakat.
Rezim orde baru
banyak sekali memperkenalkan istilah baru seperti canggih, ekonomis, efisien,
repelita, swasembada, GBHN, dan banyak lagi istilah yang belum pernah terdengar
dalam masyarakat. Kata/istilah baru seperti ini sah-sah saja diterjemahkan atau
dimaknai atau diartikan sesuai dengan kehendak orang yang menciptakan atau
memperkenalkan kata/istilah baru tersebut. Dan masyarakat baik skala kecil
maupun besar umumnya tidak akan menolak kata/istilah baru ini, yang ada hanyalah
seleksi alam, ketika masyarakat tidak menyukainya maka kata/istilah baru ini
akan ditinggalan dan tidak pernah dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Propaganda orde baru menjadi contoh yang sangat nyata kata/istilah yang
akhirnya ditinggalkan masyarakat seiring dengan runtuhnya rezim tersebut.
- Kata/istilah yang sudah
digunakan dalam masyarakat.
Kata/istilah
yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat sangat beragam, ada yang merupakan
kata/istilah formal (resmi) maupun non-formal (pergaulan sehari-hari). Termasuk
didalam kategori ini ialah kata-kata yang disepakati sebagai arti atau
terjemahan dari kata-kata asing. Kata dan istilah resmi atau terjemahan dari
bahasa asing bisa kita lihat dan cek dari kamus-kamus yang beredar dan menjadi
rujukan dalam masyarakat.
MENGGUNAKAN
KATA DAN ISTILAH YANG ADA DIMASYARAKAT
Hanya memang
akan sering dijumpai kata dan istilah yang sudah bergeser dari makna aslinya,
biasanya perubahan ini terjadi dalam bahasa non-formal yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Menghadapi kata dan istilah yang seperti ini, Syaikh
Taqiyyuddin An-Nabhani membuat suatu kaidah bahwa dalam mendefinisikan kata dan
istilah hendaklah memenuhi dua syarat, yaitu:
- Jami’, yaitu merangkum semua
arti dan makna yang terdapat pada kata atau istilah tersebut
- Mani’, yaitu menyingkirkan arti
dan makna yang seharusnya tidak termasuk kedalam definisi sebuah arti atau
istilah
Dengan tetap
mengacu kepada kedua syarat tersebut maka kemurnian bahasa akan tetap bisa
terjaga. Kemurnian bahasa ini memang tidak terlalu krusial dalam kebanyakan
bahasa yang ada di dunia saat ini, hanya untuk bahasa Arab adalah suatu yang
sangat penting karena menyangkut bagaimana kaum muslimin memahami ajaran Islam.
Islam memiliki
kaidah lebih detail dalam penggunaan kata dan istilah, yaitu membagi kata dan
istilah menjadi dua, yang memiliki arti hakiki dan yang memiliki arti majasi.
Kata dan
istilah hakiki ada tiga macam, yaitu:
- Kata/istilah syara’
Makna hakiki
syar’i (al-haqiqah al-lughawiyah asy-syar’iyah) adalah makna hakiki (bukan
majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawinya (makna bahasa), dikarenakan
nash-nash syara’ telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekedar makna
bahasanya. Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad,
islam, iman, dan sebagainya.
Kata sholat
secara lughawi (bahasa), yang diambil dari kamus-kamus bahasa Arab, artinya
adalah ad-du’a (doa). Tapi nash-nash syara’ (khususnya hadits Nabi) telah
menjelaskan tatacara Nabi shalat, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan
nash syara’ yang menyebut “shalat” dengan arti bahasanya (doa), sebab sudah
tambahan makna dari sekedar makna bahasanya. Shalat secara syar’i lalu
diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali takbir dan
diakhiri salam.
Kata shaum
secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab, artinya
adalah al-imsaak (menahan diri). Tapi nash-nash syara’ (Al Qur`an khususnya Al
Baqarah : 187) dan juga hadits-hadits Nabi memberikan makna tambahan dari kata
shaum itu, yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal
yang membatalkan shaum dari subuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Inilah
makna syar’i dari shaum.
- Kata/istilah urf
Adapun makna
hakiki urfi (al-haqiqah al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan
majazi) yang telah menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu
kata. Contohnya kata daabbah. Kata daabbah makna lughawinya adalah segala
makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia). Namun secara
urfi orang Arab lalu menggunakan kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan
berkaki empat) seperti sapi, tidak termasuk manusia.
- Kata/istilah lughawi
Adapun makna
hakiki lughawi (al-haqiqah al-lughawiyah al-wadh’iyah) adalah makna hakiki
(bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara bahasa. Contohnya, kata
rajulun (lelaki), imra`ah (perempuan), asad (singa), jamal (unta), saif
(pedang), dan sebagainya banyak sekali.
MANA YANG HARUS
DIPILIH : MAKNA HAIKIKI ATAU MAKNA MAJAAZI
Ketiga makna di
atas, yaitu makna hakiki syar’I, makna hakiki urfi, dan makna hakiki lughawi,
adalah makna hakiki (bukan majazi). Jika ketiganya tidak atau belum bisa memaknai
suatu nash syara’, maka barulah suatu nash syara’ diartikan secara majazi, agar
nash syara’ tidak tersia-siakan atau terabaikan. Kaidah ushuliyah menyebutkan
bahwa “Idza ta’adzdzarat al-haqiqah yushaaru ila al-majaaz” (Jika suatu kata
tak dapat diberi makna hakiki, maka dapat diartikan secara majazi). Dengan
demikian, jika sebuah kata tidak dapat diberikan makna dalam makna hakikinya
–yang secara urut mengikuti urutan makna hakiki syar’i, lalu makna hakiki urfi,
dan kemudian makna hakiki lughawi– maka langkah terakhir adalah mengartikan
kata tersebut dalam makna majazinya. Misalnya, hadits Nabi SAW “kullu ma’rufin
shadaqah” (setiap kebajikan adalah sedekah) (HR. Muslim). Kata shadaqah dalam
hadits ini, tidak dapat diartikan secara makna hakiki syar’i, urfi, atau
lughawi. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi ketika
mensyarah hadits di atas mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti
majazi, bukan arti yang hakiki. Menurut beliau, segala perbuatan yang baik
dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari
segi pahalanya (min haitsu tsawab).
Adapun mengapa
urutannya harus makna hakiki syar’i, baru makna hakiki urfi, dan baru makna
hakiki lughawi, hal ini disebabkan bahwa Rasulullah diutus untuk menjelaskan
syariat (li bayan asy-syar’iyat). Itulah asumsi dasarnya, mengapa makna hakiki
syar’i yang harus didahulukan, sebagaimana prinsip yang telah dijelaskan
sebelumnya berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan Kami
turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
(QS An-Nahl [16] : 44).
Maka dari itu
nash-nash syara’ yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu ayat-ayat Al-Qur`an dan
hadits-hadits Nabi, wajib diartikan dalam makna syar’i terlebih dahulu (seperti
pemaknaan kata sholat, shaum, jihad, Islam). Jika nash-nash syara’ tidak
mempunyai arti secara syar’i, maka hendaklah diartikan lebih dahulu secara urfi
(kalau ada), yaitu makna suatu kata yang menjadi urf (kebiasaan) pada masa Nabi
SAW, sebab makna urfi itulah yang lebih dekat kepada pemahaman dan juga
dikarenakan syara’ menganggap urf itu dapat dijadikan pegangan (mu’tabar) dalam
banyak penerapan hukum. Jika nash-nash syara’ belum dapat dimaknai secara urfi
barulah diartikan secara makna lughawi. Jika pemberian makna lughawi ini belum
juga dapat dilaksanakan, barulah suatu nash atau istilah diartikan secara makna
majazi. Hal itu karena dalam bahasa Arab, sebagaimana telah dijelaskan, suatu
kata pada dasarnya hendaklah diartikan dalam makna hakikinya lebih dahulu
(al-ashlu fi al-kalam al-haqiqah). Jika tidak dapat diartikan secara makna
hakiki (baik makna hakiki syar’i, urfi, atau lughawi), barulah diartikan secara
makna majazi (idza ta’adzdzarat al-haqiqah yushaaru ila al-majaaz).
KESIMPULAN
Salah satu
masalah berat yang dihadapi umat Islam saat ini adalah ganasnya serangan
pemikiran yang bertujuan mengacaukan dan mengaburkan bangunan pemikiran umat
Islam yang sahih. Serangan itu antara lain berbentuk pemberian makna-makna baru
terhadap istilah-istilah dalam khazanah pemikiran Islam, misalnya istilah
“Islam”, yang hanya diberi arti sebagai “sikap berserah diri kepada Tuhan” ,
sehingga orang beragama apa pun, apakah beragama Islam, Kristen, Yahudi, Budha,
dan sebagainya, adalah penganut “Islam” selama dia berserah diri kepada Tuhan.
Juga istilah “jihad” yang hanya diberi pengertian “bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan sesuatu”, terlepas dari arti dasarnya sebagai perang fisik
(al-qital) di jalan Allah, sehingga kalau seseorang bersungguh-sungguh dalam
bekerja atau belajar, maka dia telah melakukan “jihad”.
Distorsi
pemikiran Islam dengan cara pemberian makna-makna baru (yang asing!) bagi
istilah-istilah Islami ini sesungguhnya tidak boleh terjadi. Sebab Islam
sendiri telah melarang umatnya menyalahgunakan atau mendistorsikan istilah,
yaitu memberikan makna yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya dari sebuah
istilah. Allah SWT berfirman :
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
yang demikiran itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesuangguhnya
jual beli itu sama dengan riba.” (TQS Al-Baqarah : 275)
Lebih jauh lagi
kita juga memelihat fenomena komunitas yang mencoba mendefinisi ulang kata atau
istilah dengan serampangan menggunakan sebuah istilah yang sudah lazim
dimasyarakat kemudian diartikan ulang oleh sekelompok kecil orang yang berada
dimasyarakat tersebut.Misal sebuah komunitas entah atas dasar apa kemudian
menggunakan kata wadam atau maho untuk melabeli diri dan anggota komunitasnya,
padahal mereka semua muslim dan rata-rata memiliki pengetahuan lebih dalam
keIslaman. Bahkan ada beberapa inisiator komunitas tersebut sering menisbatkan
dirinya dengan panggilan wanita, bahkan memanggil teman-temannya dengan
panggilan wanita, padahal mereka jelas pria tulen. Mereka beranggapan jika
istilah wadam ini sudah mereka definisi ulang, meskipun tidak pernah jelas apa
definisinya, intinya mereka menganggap bahwa istlah wadam yang mereka pakai
berbeda dengan apa masyarakat kenal. Wadam singkatan dari wanita adam, dalam
kamus diartikan sama dengan orang banci, bersifat antara laki-laki dan
perempuan, laki-laki yang bertingkah-laku seperti perempuan, waria. Kesemua
definisi ini secara umum berlaku dimasyarakat, dan bukan hanya secara istilah
mereka melakukan penisbatan, tapi faktanya dalam perbuatan mereka melakukan
seperti apa yang didefinisikan oleh kamus. Diantaranya memanggil temannya atau
membahasakan dirinya dengan panggilan khas wanita atau banci, seperti : ciin,
seus, jeng, tante, eike, teteh. Perbuatan seperti ini tanpa melihat lagi
definisi yang dipakai jelas telah diharamkan Allah, bahkan dilaknat oleh Allah.
Bahkan secara tidak sadar mereka telah menyerupai kaum wadam itu sendiri, dan
hal ini berkonsekuensi berat. Rasulullah telah mengingatkan :
“Dari Ibnu
Abbas, ia berkata: Nabi SAW telah melaknat laki-laki yang bersikap (bersifat)
menyerupai perempuan dan (melaknat) perempuan yang bersikap (bersifat)
menyerupai laki-laki.” (HSR Bukhari 7/55)
“Ada tiga
kelompok manusia yang tidak akan masuk surga : orang yang durhaka kepada kedua
orang tuanya, Duyyuts (suami yang membiarkan istrinya melanggar larangan Allah
dan Rasul-Nya), laki-laki yang menyerupai wanita” (HR Al Hakim)
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka”. (HR Abu
Dawud)
Kata atau
istilah yang sebenarnya jelas saja oleh Allah dianjurkan tidak digunakan karena
khawatir disimpangkan atau didefinisikan lain, apalagi kata dan istilah yang
sudah jelas bertentangan dan tidak pantas disematkan kepada seorang muslim.
Allah SWT berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi
katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih[80].” (TQS Al-Baqarah : 104)
Ayat ini
dijelaskan oleh ahli tafsir sebagai berikut : “Raa ‘ina berarti: sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami. Di kala para sahabat menghadapkan kata ini
kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan
menyebut Raa’ina padahal yang mereka katakan ialah Ru’uunah yang berarti
kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah
menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan Raa’ina dengan Unzhurna yang
juga sama artinya dengan Raa’ina.”
Maka
hati-hatilah karena Allah SWT sudah mengingatkan kita :
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (TQS Al-Isra : 36)[]
Sumber:
http://osolihin.wordpress.com/2011/09/17/metode-pemaknaan-kata-dan-istilah/
Wah pak so sweet bwanget,trus tingkatkan pak blognya,,,jadi pengend ikutan nieh,,,,seru gag pak ?
BalasHapusTerima kasih sudah mengunjungi lapak yang sederhana ini.
Hapus