Jumat, 23 September 2011

Khutbah Jum'at wage


Enam Pertanyaan Al-Ghazali

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.  اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى فى القرأن العظيم كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ الله العلي العظيم

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Pada kesempatan khutbah kali ini, pertama-tama saya mengajak pribadi saya sendiri dan kaum muslimin umumnya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Hanya dengan taqwalah bekal yang untuk menghadap-Nya nanti. Fainna khairaz zadit taqwa. Jangan ragukan janji Allah, bahwa ia hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya bukan dari sisi lainnya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Dalam khutbah kali ini saya hendak mengisahkan sebuah cerita diskusi antara Imam Al-Ghozali dengan muridnya. Ada enam pertanyaan yang dilontarkan beliau kepada para muridnya, dan kesemuanya sangat bagus untuk kita simak niali-nilai yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya.
Wahai murid-muridku sekalian, coba kalian jawab "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI". 
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayaka (Ali Imran 185)

Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang. Karena itu manusia harus selalu bersiap diri menghadapinya. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya. Janganlah kita lengah dalam memahami hal ini, jangan sekali-kali merasa diri jauh dari mati, karena itu membuat kita besar hati. Justru kerahasiaannya harus kita maknai bahwa mati bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa adanya peringatan dari-Nya. Inilah yang hendak disampaikan oleh Al-Ghazali kepada murid-muridnya.

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ini tepat dengan sebuah hadits yang menganjurkan bahwa kehidupan kita hari ini harus jauh lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika difikir lebih dalam, maka yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kali, sekali kita bertindak kesalahan kita tidak bisa merevisinya lagi. Paling banter kita hanya bisa bertobat dan berharap pengampunan. Sebagian pepatah bilang waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Emas, harta bisa dicari tapi waktu yang sudah berlalu tak mungkin hadir kembali.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada di genggaman-Nya. Kita sebagai hamba hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah swt memberikan anugrah kepada kita agar mampu memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" 
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179) (Al A'Raf 179).

Nafsu adalah hal penentu pada diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki? Kendalikanlah nafsumu, ingin celaka selamanya? Turuti nafsumu... pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan tersembunyi dari al-Ghazali bahwa nafsu adalah hal paling besar, hal yang paling menentukan....
  
Kemudian al-Ghazali meneruskan pada Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Murid-murid Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" 
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72) (Al Ahzab 72).

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Jama’ah yang dimuliakan Allah
Pertanyaan Imam al-Ghazali yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Kita harus ingat bahwa sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah kewajiban terpenting di dunia ini. Namun anenya, meski demikian sholat adalah hal termudah yang sering dilewatkan oleh orang-orang muslim? Ringan sekali mlewatinya.

Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Ingatlah sebuah hadits yang menerangkan:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده 
seorang muslim adalah orang bisa menjaga orang muslim lainnya dari lisannya dan tangannya.

Khirnya, di penghujung khotbah ini saya mengajak diri saya dan jama’ah sekalian bila ada waktu sering-seringlah merenung bahwa mati akan segera menjemput kita, insyaallah diri kita akan termotifasi untuk mengendalikan nafsu, menjalankan sholat, menjaga lidah dan memegang amanah.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
  
Khutbah kedua
اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ
وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
 اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهم اغفر لنا واهدنا وفقِّهْنا في ديننا وعلِّمْنا من ذلك ما لم نكن نعلم ، إنك أنت السميع العليم
اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيْن وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Rabu, 21 September 2011

KATA DAN ISTILAH


Metode Pemaknaan Kata dan Istilah
Bahasa adalah sesuatu yang secara alami digagas manusia semenjak manusia diciptakan. Bahasa adalah kesepakatan antar manusia baik dalam lingkup kecil maupun besar. Dengan bahasa manusia lebih mudah menyampaikan maksud dan tujuannya kepada yang lain dengan berbagai cara. Sekarang ini paling tidak kita mengenal bahasa lisan dan tulisan yang kesemuanya mudah dipahami bagi orang yang memang berbahasa asli bahasa tersebut atau dengan sengaja mempelajari bahasa tersebut.
Bahasa ibu itulah sebutan bagi bahasa yang dikenal semenjak kecil dan biasanya akan selalu terbawa meskipun sudah dewasa dan jarang digunakan untuk percakapan sehari-hari. Contoh mudah orang yang berbahasa ibunya bahasa jawa ketika menghitung cepat secara tidak sadar akan tetap akan menggunakan bahasa jawa –ji, ro, lu, pat, ma,…….-, padahal bahasa tersebut sudah jarang sekali dipakai dalam percakapan sehari-harinya. Hampir setiap manusia punya keterikatan yang kuat terhadap bahasa ibu yaitu bahasa yang dikenalnya semenjak kecil. Bukan hanya di Indonesia saja, di Timur Tengah semenjak jaman jahiliyah-pun mereka sudah menyadari konsep bahasa ibu ini, kita mengetahui sejarah Rasulullah yang semenjak kecil sengaja dititipkan ke pengasuh yang berada di daerah Baduwi (pinggiran) agar bahasanya baik, karena pada masa itu saja bahasa Arab yang dipakai di kota sudah mulai rusak baik disengaja ataupun tidak.
Pengrusakan bahasa ini kadang memang terjadi secara alami, kadang juga memang disengaja oleh pihak tertentu dengan tujuan tertentu juga. Bahkan bukan hanya pengrusakan bahasa, pemusnahan bahasa juga menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Semenjak terjadinya perang pemikiran terlihat dengan jelas metode pengrusakan dan pengaburan bahasa menjadi salah satu metode Barat dalam merusak dan menghancurkan pondasi dasar kaum Muslimin. Dimulai dengan membelokkan makna kata-kata yang sudah jelas artinya hingga menjauhkan kaum muslimin dari bahasa aslinya yaitu bahasa Arab. Dan ketakutan mereka sudah sangat merasuk bahkan bahasa lain yang digunakan kaum muslimin-pun mereka upayakan untuk disimpangkan maknanya. Kita mengenali istilah Islam, jihad, iman, kufur, shalat, zakat sudah disimpangkan dari arti aslinya, dan banyak kaum muslimin yang begitu ketakutan ketika menggunakan kata ini dalam definisi aslinya. Dalam bahasa Indonesia istilah fundamental, fanatik juga menjadi istilah yang ditakuti oleh masyarakat.
JENIS KATA DAN ISTILAH DALAM MASYARAKAT
Dalam menggunakan kata untuk menyusun kalimat tidaklah bisa sembarangan, karena selain memiliki kaidah yang jelas, juga jangan sampai terjebak oleh pengaburan dan pengrusakan makna kata itu sendiri. Kata yang akan kita gunakan paling tidak bisa kita bagi menjadi dua macam:
  1. Kata/istilah yang belum pernah/tidak pernah digunakan dalam masyarakat.
Rezim orde baru banyak sekali memperkenalkan istilah baru seperti canggih, ekonomis, efisien, repelita, swasembada, GBHN, dan banyak lagi istilah yang belum pernah terdengar dalam masyarakat. Kata/istilah baru seperti ini sah-sah saja diterjemahkan atau dimaknai atau diartikan sesuai dengan kehendak orang yang menciptakan atau memperkenalkan kata/istilah baru tersebut. Dan masyarakat baik skala kecil maupun besar umumnya tidak akan menolak kata/istilah baru ini, yang ada hanyalah seleksi alam, ketika masyarakat tidak menyukainya maka kata/istilah baru ini akan ditinggalan dan tidak pernah dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Propaganda orde baru menjadi contoh yang sangat nyata kata/istilah yang akhirnya ditinggalkan masyarakat seiring dengan runtuhnya rezim tersebut.
  1. Kata/istilah yang sudah digunakan dalam masyarakat.
Kata/istilah yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat sangat beragam, ada yang merupakan kata/istilah formal (resmi) maupun non-formal (pergaulan sehari-hari). Termasuk didalam kategori ini ialah kata-kata yang disepakati sebagai arti atau terjemahan dari kata-kata asing. Kata dan istilah resmi atau terjemahan dari bahasa asing bisa kita lihat dan cek dari kamus-kamus yang beredar dan menjadi rujukan dalam masyarakat.
MENGGUNAKAN KATA DAN ISTILAH YANG ADA DIMASYARAKAT
Hanya memang akan sering dijumpai kata dan istilah yang sudah bergeser dari makna aslinya, biasanya perubahan ini terjadi dalam bahasa non-formal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menghadapi kata dan istilah yang seperti ini, Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani membuat suatu kaidah bahwa dalam mendefinisikan kata dan istilah hendaklah memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Jami’, yaitu merangkum semua arti dan makna yang terdapat pada kata atau istilah tersebut
  2. Mani’, yaitu menyingkirkan arti dan makna yang seharusnya tidak termasuk kedalam definisi sebuah arti atau istilah
Dengan tetap mengacu kepada kedua syarat tersebut maka kemurnian bahasa akan tetap bisa terjaga. Kemurnian bahasa ini memang tidak terlalu krusial dalam kebanyakan bahasa yang ada di dunia saat ini, hanya untuk bahasa Arab adalah suatu yang sangat penting karena menyangkut bagaimana kaum muslimin memahami ajaran Islam.
Islam memiliki kaidah lebih detail dalam penggunaan kata dan istilah, yaitu membagi kata dan istilah menjadi dua, yang memiliki arti hakiki dan yang memiliki arti majasi.
Kata dan istilah hakiki ada tiga macam, yaitu:
  1. Kata/istilah syara’
Makna hakiki syar’i (al-haqiqah al-lughawiyah asy-syar’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawinya (makna bahasa), dikarenakan nash-nash syara’ telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekedar makna bahasanya. Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman, dan sebagainya.
Kata sholat secara lughawi (bahasa), yang diambil dari kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah ad-du’a (doa). Tapi nash-nash syara’ (khususnya hadits Nabi) telah menjelaskan tatacara Nabi shalat, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “shalat” dengan arti bahasanya (doa), sebab sudah tambahan makna dari sekedar makna bahasanya. Shalat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali takbir dan diakhiri salam.
Kata shaum secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah al-imsaak (menahan diri). Tapi nash-nash syara’ (Al Qur`an khususnya Al Baqarah : 187) dan juga hadits-hadits Nabi memberikan makna tambahan dari kata shaum itu, yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal yang membatalkan shaum dari subuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Inilah makna syar’i dari shaum.
  1. Kata/istilah urf
Adapun makna hakiki urfi (al-haqiqah al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata. Contohnya kata daabbah. Kata daabbah makna lughawinya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia). Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi, tidak termasuk manusia.
  1. Kata/istilah lughawi
Adapun makna hakiki lughawi (al-haqiqah al-lughawiyah al-wadh’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara bahasa. Contohnya, kata rajulun (lelaki), imra`ah (perempuan), asad (singa), jamal (unta), saif (pedang), dan sebagainya banyak sekali.
MANA YANG HARUS DIPILIH : MAKNA HAIKIKI ATAU MAKNA MAJAAZI
Ketiga makna di atas, yaitu makna hakiki syar’I, makna hakiki urfi, dan makna hakiki lughawi, adalah makna hakiki (bukan majazi). Jika ketiganya tidak atau belum bisa memaknai suatu nash syara’, maka barulah suatu nash syara’ diartikan secara majazi, agar nash syara’ tidak tersia-siakan atau terabaikan. Kaidah ushuliyah menyebutkan bahwa “Idza ta’adzdzarat al-haqiqah yushaaru ila al-majaaz” (Jika suatu kata tak dapat diberi makna hakiki, maka dapat diartikan secara majazi). Dengan demikian, jika sebuah kata tidak dapat diberikan makna dalam makna hakikinya –yang secara urut mengikuti urutan makna hakiki syar’i, lalu makna hakiki urfi, dan kemudian makna hakiki lughawi– maka langkah terakhir adalah mengartikan kata tersebut dalam makna majazinya. Misalnya, hadits Nabi SAW “kullu ma’rufin shadaqah” (setiap kebajikan adalah sedekah) (HR. Muslim). Kata shadaqah dalam hadits ini, tidak dapat diartikan secara makna hakiki syar’i, urfi, atau lughawi. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi ketika mensyarah hadits di atas mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi, bukan arti yang hakiki. Menurut beliau, segala perbuatan yang baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab).
Adapun mengapa urutannya harus makna hakiki syar’i, baru makna hakiki urfi, dan baru makna hakiki lughawi, hal ini disebabkan bahwa Rasulullah diutus untuk menjelaskan syariat (li bayan asy-syar’iyat). Itulah asumsi dasarnya, mengapa makna hakiki syar’i yang harus didahulukan, sebagaimana prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS An-Nahl [16] : 44).
Maka dari itu nash-nash syara’ yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi, wajib diartikan dalam makna syar’i terlebih dahulu (seperti pemaknaan kata sholat, shaum, jihad, Islam). Jika nash-nash syara’ tidak mempunyai arti secara syar’i, maka hendaklah diartikan lebih dahulu secara urfi (kalau ada), yaitu makna suatu kata yang menjadi urf (kebiasaan) pada masa Nabi SAW, sebab makna urfi itulah yang lebih dekat kepada pemahaman dan juga dikarenakan syara’ menganggap urf itu dapat dijadikan pegangan (mu’tabar) dalam banyak penerapan hukum. Jika nash-nash syara’ belum dapat dimaknai secara urfi barulah diartikan secara makna lughawi. Jika pemberian makna lughawi ini belum juga dapat dilaksanakan, barulah suatu nash atau istilah diartikan secara makna majazi. Hal itu karena dalam bahasa Arab, sebagaimana telah dijelaskan, suatu kata pada dasarnya hendaklah diartikan dalam makna hakikinya lebih dahulu (al-ashlu fi al-kalam al-haqiqah). Jika tidak dapat diartikan secara makna hakiki (baik makna hakiki syar’i, urfi, atau lughawi), barulah diartikan secara makna majazi (idza ta’adzdzarat al-haqiqah yushaaru ila al-majaaz).
KESIMPULAN
Salah satu masalah berat yang dihadapi umat Islam saat ini adalah ganasnya serangan pemikiran yang bertujuan mengacaukan dan mengaburkan bangunan pemikiran umat Islam yang sahih. Serangan itu antara lain berbentuk pemberian makna-makna baru terhadap istilah-istilah dalam khazanah pemikiran Islam, misalnya istilah “Islam”, yang hanya diberi arti sebagai “sikap berserah diri kepada Tuhan” , sehingga orang beragama apa pun, apakah beragama Islam, Kristen, Yahudi, Budha, dan sebagainya, adalah penganut “Islam” selama dia berserah diri kepada Tuhan. Juga istilah “jihad” yang hanya diberi pengertian “bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu”, terlepas dari arti dasarnya sebagai perang fisik (al-qital) di jalan Allah, sehingga kalau seseorang bersungguh-sungguh dalam bekerja atau belajar, maka dia telah melakukan “jihad”.
Distorsi pemikiran Islam dengan cara pemberian makna-makna baru (yang asing!) bagi istilah-istilah Islami ini sesungguhnya tidak boleh terjadi. Sebab Islam sendiri telah melarang umatnya menyalahgunakan atau mendistorsikan istilah, yaitu memberikan makna yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya dari sebuah istilah. Allah SWT berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan yang demikiran itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesuangguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (TQS Al-Baqarah : 275)
Lebih jauh lagi kita juga memelihat fenomena komunitas yang mencoba mendefinisi ulang kata atau istilah dengan serampangan menggunakan sebuah istilah yang sudah lazim dimasyarakat kemudian diartikan ulang oleh sekelompok kecil orang yang berada dimasyarakat tersebut.Misal sebuah komunitas entah atas dasar apa kemudian menggunakan kata wadam atau maho untuk melabeli diri dan anggota komunitasnya, padahal mereka semua muslim dan rata-rata memiliki pengetahuan lebih dalam keIslaman. Bahkan ada beberapa inisiator komunitas tersebut sering menisbatkan dirinya dengan panggilan wanita, bahkan memanggil teman-temannya dengan panggilan wanita, padahal mereka jelas pria tulen. Mereka beranggapan jika istilah wadam ini sudah mereka definisi ulang, meskipun tidak pernah jelas apa definisinya, intinya mereka menganggap bahwa istlah wadam yang mereka pakai berbeda dengan apa masyarakat kenal. Wadam singkatan dari wanita adam, dalam kamus diartikan sama dengan orang banci, bersifat antara laki-laki dan perempuan, laki-laki yang bertingkah-laku seperti perempuan, waria. Kesemua definisi ini secara umum berlaku dimasyarakat, dan bukan hanya secara istilah mereka melakukan penisbatan, tapi faktanya dalam perbuatan mereka melakukan seperti apa yang didefinisikan oleh kamus. Diantaranya memanggil temannya atau membahasakan dirinya dengan panggilan khas wanita atau banci, seperti : ciin, seus, jeng, tante, eike, teteh. Perbuatan seperti ini tanpa melihat lagi definisi yang dipakai jelas telah diharamkan Allah, bahkan dilaknat oleh Allah. Bahkan secara tidak sadar mereka telah menyerupai kaum wadam itu sendiri, dan hal ini berkonsekuensi berat. Rasulullah telah mengingatkan :
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW telah melaknat laki-laki yang bersikap (bersifat) menyerupai perempuan dan (melaknat) perempuan yang bersikap (bersifat) menyerupai laki-laki.” (HSR Bukhari 7/55)
“Ada tiga kelompok manusia yang tidak akan masuk surga : orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, Duyyuts (suami yang membiarkan istrinya melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya), laki-laki yang menyerupai wanita” (HR Al Hakim)
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka”. (HR Abu Dawud)
Kata atau istilah yang sebenarnya jelas saja oleh Allah dianjurkan tidak digunakan karena khawatir disimpangkan atau didefinisikan lain, apalagi kata dan istilah yang sudah jelas bertentangan dan tidak pantas disematkan kepada seorang muslim. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih[80].” (TQS Al-Baqarah : 104)
Ayat ini dijelaskan oleh ahli tafsir sebagai berikut : “Raa ‘ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa’ina padahal yang mereka katakan ialah Ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan Raa’ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa’ina.”
Maka hati-hatilah karena Allah SWT sudah mengingatkan kita :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (TQS Al-Isra : 36)[]
Sumber: http://osolihin.wordpress.com/2011/09/17/metode-pemaknaan-kata-dan-istilah/

Minggu, 18 September 2011

MANU Banat membangun lagi

Di latar belakang pelantikan pengurus OSIS 2011/2012, ruang kelas dekat Mushalla Al-Barokah tampak rancangan pembangunan lantai dua mengahadap ke selatan. Ketua WMM, Dra. Srirochanah dan WAKA Kesiswaan Yusniati, SH. S.Pd menyaksikan penandatanganan serahterima pengurus lama dan pengurus baru OSIS 2011/2012

Sabtu, 17 September 2011

PELANTIKAN PENGURUS OSIS

Pengurus OSIS MANU BANAT Kudus, dilantik pada 17 September 2011 dengan upacara pelantikan. Pelantikan ini disaksikan semua peserta didik, para dewan guru dan mahasiswa PPL UMK.

Selasa, 13 September 2011

24 Jam Tatap Muka


Menyoal Batas Minimal Beban Kerja Guru 24 Jam
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh atasan untuk bawahan agar semaksimal mungkin dilaksanakan. Ditaati secara benar, bukan disiasati supaya enteng bebannya, atau dibijaksanai agar implementasinya enak, bisa menguntungkan keluarga sendiri, tak peduli walau merugikan orang lain.
Memang, kekurangan atau kesalahan dapat menyertai aturan-aturan itu. Wajar, karena hanya orang yang tak pernah melakukan apa-apa yang tak pernah membuat kesalahan. Dan bagaimanakah dengan ketentuan beban mengajar guru minimal 24 jam?
Aturan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat (2) pada pokoknya menghendaki beban kerja guru melaksanakan pembelajaran 24 jam/minggu/semester.
Sedangkan yang disodorkan oleh PP 74/2008 tertera dalam Pasal 52, ayat (2) berbunyi:  Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Dan bunyi ayat (3)adalah Pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai Guru Tetap.
Apabila guru-guru berupaya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, langkah paling tepat adalah mengandalkan kepala sekolah/madrasahnya. Semula mudah, sebab kepala sekolah/madrasah hanya perlu mencermati tuntas sejumlah 21 halaman dalam buku Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru (Baedhowi, Ditjen PMPTK, Depdiknas, 2008) yang berisikan rumusan perhitungan beban kerja/tatap muka dan ekuivalensi tugas tambahan guru dengan jam tatap muka. Tetapi, ternyata sulit dilaksanakan setelah banyak sekolah/madrasah di awal tahun ajaran mengalami penurunan drastis jumlah siswa baru.
Untuk itu, kepala sekolah/madrasah harus merasa bertanggung jawab penuh atas terpenuhi atau tidaknya beban kerja guru 24 jam tatap muka per minggu. Ia sejak sebelum awal tahun ajaran dimulai, wajib mendeteksi betapa kritisnya proses perencanaan kebutuhan guru.
Jika kelebihan guru, maka sulit memenuhi beban kerja guru 24 jam per minggu. Sedang  kekurangan guru akan memungkinkan beban kerja guru terpenuhi, bahkan melewati batas minimal. Tetapi proses pembelajaran efektif tidak semata-mata bergantung pada besar-kecilnya beban mengajar bukan?
Lalu terbitlah Permendiknas nomor 39/2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Di sini terlihat bagaimana upaya keras Depdiknas memberikan solusi atas peliknya upaya guru memenuhi ketentuan mengajar 24 jam, sebelum keluhan-keluhan guru-guru itu benar-benar meletus menjadi protes keras.
Permendiknas 39/2009 ini memberikan 4 pasal untuk mengatur guru (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5) dari keseluruhan 8 pasal, dan hanya satu pasal (Pasal 4) tentang pengawas satuan pendidikan.
Dengan demikian nampak jelas bahwa ternyata persoalan pemenuhan beban kerja guru minimal 24 jam tidak segampang seperti yang kalian tuliskan dalam aturan-aturan pendahulunya.
Ampun pemerintah, buktinya meskipun dalam Permendiknas 39/2009 tersebut dibutuhkan tak kurang dari 20 ayat untuk mengatur-atur kembali aturan yang sudah pernah ada, tetapi kesulitan dan keluhan guru-guru memenuhi beban kerjanya sebesar 24 jam/minggu masih terus bertambah, belum berkurang sedikitpun.