Kamis, 13 Agustus 2015

Jarah dan Ta'dil

                                                  ILMU JARH WA AL TA'DIL
1.      Pendahuluan
 
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadistidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai Imu jarh wa al ta'dil

II. Pengertian dan kegunaan
            Lafad "al-jarh" menurut muhaditsin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan hapalannya. Men-jarh seorang rawi berarti mensifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta'dilkannya.[1]
            Ilmu al-jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan:
الطعن فى راوى الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه
"kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi".[2]
             Sedangkan menurut istilah ahli hadis, adalah:
ظهور وصف فى الراوى يفسد عدالة أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته أو ضعفها وردها.
" Nampak suatu sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau mencedarakan hafadahnya, karenanya gugurah riwayatnya atau dipandang lemah".[3]
            Adapun at-Ta'dil secara bahasa berarti At-Taswiyah (menyamakan),dan menurut istilah adalah:
عكسه هو تزكية الراوى والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط.
"yaitu lawan dari al-jarh, yang berarti pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit".
            Ahli hadis mendefinisikan at-ta'dil sebagi berikut:
الإعتراف بعدالته الراوى وضبطه وثقته.
"mengakui keadilan seseorang, kedhabitan, dan kepercayaan".
            Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh wa al- Ta;dil".
Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها.
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".[4]
            Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan:
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد فى شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".[5]

III. Kegunaan ilmu jarh wa al- ta'dil
            Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.[6]
            Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
            Adapun informasi jarh  dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:[7]
a.       Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.      Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.
 
IV. Sejarah Timbulnya Jarh wa al Ta'dil dan Ulamanya
            Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadist-hadist yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak. [8]
           Karena itu para ulama menanyakan kadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiyah mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan orang yang lebih lama nenyertai guru. Para ulama hadist yang telah menempatkan lafadz-lafadz ta'dil yaiitu: Ibn, Al Abi Hatim, Ibn Sholah dan An Nawawi Adz-Dzahabi Hafidz Ibn Hajar. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam.
           Mengenai jumlah ahli yang melakukan jarh dan ta'dil, menurut pendapat yang dipandang benar bahwa jarh dan ta'dil bisa dilakukan oleh seorang ahli. Ada yang berpendapat harus dilakukan oleh dua orang ahli. Ketika jarh dan ta'dil berkumpul berada pada diri seorang rawi, maka jarh pada diri rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun ada yang berpendapat, jika banyak para ahli yang menta'dilnya, maka ta'dil lebih dulu dilakukan.an";">      Tingkatan ta'dil dan lafadznya
a.       Lafadz yang menunjukan pada mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan ini merupakan tingkatan teratas.
من أكد مدحه وتوثيقه إما ب(أفعل) أو بتكرير الصفة لفظا
Contoh:

أوثق الناس ( orang yang paling tsiqoh )
أثبت الناس حفظا وعدالة ( orang yang paling mantap hafalan dan kedilannya )
إليه المنتهى في الثبت ( orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya )
ثقة فوق الثقة ( orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh )
صيغة الوصف :أصرح الصيغ ما جاء على صيغة (أفعل) كأوثق الناس أو أثبت الناس أو إليه المنتهى في التثبت قال السيوطي : (قلت : ومنه : لا أحد أثبت منه, ومن مثل فلان, وفلان لا يُسأل عنه).
وهذه هي المرتبة التي زادها ابن حجر.
هل يحتج بهم؟ نعم, وبغير قيد.
b.    lafadz yang diperkuat dengan satu sifat atau lebih dari sifat-sfat tsiqah,
من تأكد بصفة أو صفتين من صفات التعديل.
ثبت ثبت ( orang yang teguh lagi teguh )
ثقة ثقة ( orang yang tsiqoh lagi tsiqoh )
حجة حجة ( orang yang ahli lagi petah lidahny )
ثبت ثقة ( orang yang teguh lagi tsiqoh )
حافظ حجة ( orang yang hafid lagi petah lidahnya )
ضابط متقن ( orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )
صيغة الوصف :ثقة ثقة, أو ثقة ثَبْت, أو عدل ضابط أو نحو ذلك.
وهذه المرتبة هي التي زادها الذهبي والعراقي.
هل يحتج بهم؟ نعم, وبغير قيد.
c.       Menunjuk keadilan dengan satu afadz yang mengandung arti kuat ingatan,    misalnya: "orang yang menyakinkan ilmunya"
ثبت ( orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن ( orang yang meyakinkan ilmunya )
ثقة ( orang yang tsiqoh )
حافظ ( orang yang kuat hafalannya )
حجة ( orang yang petah lidahnya )
3. من وصف بالتوثيق ولكن دون توكيد.
صيغة الوصف :ثقة أو ثبت أو حجة أو ضابط أو نحو ذلك.
هل يحتج بهم؟ نعم, وبغير قيد.
d.      Menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti yang kuat ingatan dan adil (tsiqah) misalnya:
صدوق ( orang yang sangat jujur )
مأمون ( orang yang sangat memegang amanat )
لا بأس به ( orang yang tidak cacat )
4. من قصر عن درجة الثالثة قليلا.
صيغة الوصف :صدوق أو محله الصدق أو لا بأس به أو ليس به بأس .
هل يحتج بهم؟ نعم, لكن بعد التتبع لأحاديثهم والنظر فيها ومقارنتهابأحاديث الثقات للتأكد من ضبطهم.
e.       Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya kedhabitan,  misalnya:
محله الصدق ( orang yang berstatus jujur )
جيد الحديث ( orang yang baik hadisnya )
حسن الحديث ( orang yang bagus hadisnya )
مقارب الحديث ( orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang lain yang tsiqoh )
5. من نزل عن درجة صدوق قليلا.
صيغة الوصف :صدوق سيء الحفظ, صدوق يَهِم, صدوق له أو هام, صدوق تغير بآخره, ويلحق بذلك من رمي بنوع من البدع كالتشيع والرفض والقدر والنصب والإرجاء, والتجهم.
- والتشيع : هو الانتصار لعلي - رضي الله عنه- وتفضيله على عثمان - رضي الله عنه- مع الإقرار بفضل الجميع.
- والرَّفْض : هو الغلوّ في التشيع, وله صور : منها تقديم عليّ على الخلفاء الثلاثة قبله, وقد يقترن بذلك بغضهم وسبهم. - والنصب : ضد التشيع, وهو مناصبة العداوة لعليّ - رضي الله عنه - ومَنْ وافقه.
- والقَدَر : هو الاعتماد بكون الشر ليس من خلق الله, إنما هو من صُنع الإنسان.
والإرجاء : هو الاعتقاد بأن الأعمال ليست من الإيمان أن الإيمان لا يزيد ولا ينقص
- والتجهم : هو موافقة الجهمية في بعض اعتقاداتهم, والجَهْمية طائفة تنفي صفات الله تعالى, وتقول القرآن مخلوق.
حكمه :أنه يكتب حديثه للاعتبار, قال السيوطي : ويُنظر فيه.
Untuk tingkatan yang keempat dan kelima tidak bisa dipakai sebagai hujjah dengan sendirinya akan tetapi hadisnya diabadikan dan diperhitungkan
f.       Menunjukkan arti mendekati cacat. 
صدوق إن شاء الله ( orang yang jujur, Insya Allah )
فلان أرجوا بأن لا بأس به ( orang yang diharapkan tsiqoh )
فلان صويلح ( orang yang sedikit kesalehannya )
فلان مقبول حديثه ( orang yang diterima hadisnya )
6. من ليس له من الحديث إلا القليل ولم يثبت فيه ما يترك حديثه من أجله
صيغة الوصف :مقبول.
هل يحتج به؟ لا يحتج به إلا إذا توبع على حديثه, أما إذا انفرد بالحديث فهو لين لا يحتج به.
            Tingkatan yang keenam tidak bisa dipakai sebagai hujjah dengan sendirinya tetapi hadisnya ditulis hanya ungkapan saja dan tidak bisa diperhitungkan (ada kesempatan untuk diterma) hal itu jelas sekai tidak ada dhabit disana.
2)      Tingkatan al-jarh (cacat) dan lafadznya
a.       lafadz yang menunjukan pada kelemahan.
b.      Lafadz yang dijelaskan dengan ketidakadahujjahan atau yang semisalnya.
c.       Lafadz yang dijelaskan dengan tidak ada penuLisan hadis.
d.      Lafadz yang mengandung penuduhan kebohongan atau yang lainnya.
e.       Lafadz yang menunjukan kebohongan.
f.       Lafadz yang menunjukan pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz ynag berbentuk af'al al tafdil.
            Hukum tingkatan ini adalah: a) yang termasuk dua martabat pertama tidak bisa dipakai hujjah hadisnya sama sekali tetapi hadisnya ditulis hanya sebagai kata-kata saja;
b) adapun empat tingkatan selanjutnya tidak bisa dipakai hujjah dan tidak bisa ditulis untuk apapun.[2]
1. من روى عنه أكثر من واحد ولم يوثق.
صيغة الوصف :مستور, مجهول الحال
هل يحتج بهم؟ لا يحتج بهم.
هل ينقل عنهم الحديث؟ نعم في الشواهد.
2. من لم يوجد فيه توثيق لعالم معتبر ووجد فيه إطلاق الضعف سواء كان الضعف مفسرا أو غير مفسر.
صيغة الوصف :ضعيف.
هل يحتج بهم؟ لا يحتج بهم .
هل ينقل عنهم الحديث؟ نعم, في الشواهد والمتابعات.
3. من لم يرو عنه غير واحد ولم يوثق.
صيغة الوصف :مجهول, لايعرف .
هل يحتج بهم؟ لا يحتج بهم .
هل ينقل عنهم الحديث؟ اختلف في ذلك والأقرب إذا كان المجهول في التابعين ومن يقرب منهم نقل حديثه في الشواهد والمتابعات, وإن تأخرت طبقته فبحسب حديثه فإما أن يروى المنكر الواهي فيتهم, وإما أن يوافق الثقات فينقل عنه.
4. من لم يوثق البتة وضعف مع ذلك بقادح.
صيغة الوصف :متروك, متروك الحديث.
هل يحتج بهم؟ لا يحتج بهم.
هل يُنقل عنهم الحديث؟ لا, إلا لأجل تمييزه عن الأحاديث الصحيحة لئلا يختلط بها.
5. مَن اتُّهم بالكذب, أو الوَضْع.
صيغة الوصف :متّهم بالكذب, متّهم بالوَضْع.
هل يُنقل عنهم الحديث؟ لا, إلا لأجل تمييزه عن الأحـاديث الصحيحة لئلا يختلط بها.
6. مَن أُطْلِق عليه وصف الكذب والوَضْع.
صيغة الوصف :كذّاب, وضّاع, يضع الحديث.
هل يُنقل عنهم الحديث؟ لا, إلا لأجـل تمييزه عن الأحاديث الصحيحة لئلا يختلط بها.



[1] Al-Thahhan, Muhammad, Taisir Mushtalah Hadits, hal.152
[2] Muhammad al- Thahan, Op. Cit., hal:153-154
 
V. Perbedaan kritik Rijal al- Hadis dan kitab-kitabnya
    Perselisihan para ulama tentang menerima periwayatan keadilan seseorang perawi, atau pernyataan ketidakadilannya, yang dilakukan oleh seorang ahli yang mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab ta'dil tanpa menerangkan sebab tercacatnya orang yang dicacat itu, atau sebab keadilan perawi yang dipandang adil itu. Dalam hal ini mereka mempunyai empat pendapat:
1.      Diterima tarjih dan ta'dilnya apabila diberikan oleh yang sifat-sifatnya sebagai yang telah diterangkan itu, walaupun tidak diterangkan sebab;
2.      Tidak diterima tarjih dan ta'dil terkecuali apabila diterangkan sebab-sebabnya.
3.      Diterima tajrih (jarh) walaupun tidak diterangkan sebab-sebabnya tetapi tidak diterima ta'dil melainkan dengan diterangkan sebab-sebabnya.
4.      Diterima ta'dil dengan tidak menyebaut sebab, tidak diterima tajrih tekecuali dengan menyebut sebab.
             Hukum terhadap hadis, baik itu shahih atau dhaif berdasarkan atas keadilan perawi serta kedhabitannya / cacat keadilan rawi serta cacat kdhabitannya. Oleh karena itu para ulama berinisiatif untuk menyusun kitab tentang penjelasan keadilan perawi dan kedhabitannya yang diambil dari ulama-ulama yang adil dan terpercaya. Dan inilah yang dinamakan dengan ta'dil. Begitu juga dengan kitab tersebut dijelaskan kecacatan yang dihadapkan pada keadilan seorang rawi atau terhadap kedhabitannya, hafalannya, yang diambil dari imam-imam yang tidak fanatik dan ini yang disebut jarh. Dari dua latar belakang tersebut tersusunlah sebuah buku dengan nama Jarh wa al- ta'dil.
            Macam-macam kitab Jarh wa al ta'dil banyak sekali, diantaranya:
1.      Kitab yang hanya menjelskan ketsiqahan perawi.
2.      Buku yang hanya menjelaskan kelemahan dan kecacatan perawi.
3.      Buku yang menjelaskan ketsiqahan dan kelemahan rawi, dari asfek lain, sebagian kitab tentang Jarh wa al- Ta'dil umumnya menceritakan para perawi hadis mengesampingkan penilaian terhadap tokoh-tokoh buku.
4.      Buku-buku yang secara khusus menjelaskan biografi perawi hadis.
Diantara kitab-kitabnya itu antara lain sebagai berikut:
1.      Ma'rifat ar- Rijal, karya Yahya Ibni Main. Berada di Darul kutub Adh- Dhahiriyah.
2.      Al- Dhua'fa, karya Imam Muhammad bin Ismail Al- Bukhary (194-252 H.), dicetak di Hindia tahun 320 H.
3.      Al-Jarhu wa at Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy.
4.      Al-Tsiqat, karya Ibnu Hatim bin Hibban al- Busty. Naskah aslinya di Darul kutub al- Mishriyyah.
5.      Mizan al-I'tidal, karya Imam Syamuddin Muhammad adz- Dzahaby.
6.      Lisan al- Mizan, karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalany, dicetak di India tahun 1329-1331H
7.      Tahdib al- Tahdib, karya Ibnu Hajar.
8.      Al- Kamal fi Asma ar- Rijal, karya Abdul Ghani Mudadisy.
  
                  Kritikan terhadap para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yag tercela. Hal-hal yang demikian dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk mengenali keadaan perawi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis. Disinilah peranan ilmu jarh wa al Ta'dil untuk membantu para genersi pelajar hadis dalam mempelajari hadis lebih dalam dan menyeluruh.



[1] Drs. Fatchur Rahman, "Ikhtisar Muushthalah Hadis"  Bandung: PT Ma'arif- pecetakan Offset, hal:268
[2] Drs. Munzier Suparta,"Ilmu Hadis", Jakarta: PT RajaGrafindo, Persada, hal:31    
[3] TM. Hasbi Ash Shidieqy, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II Jakarta: Bulan Bintang, hal:204
[4] Fathurrahman, Op,Cit, hal:268
[5] Drs. Munzir Suparta, Op, Cit,hal:32
[6] Dr. Mahmud at- Thahan,"Metode Takhrij dan penelitian sanad hadis", Surabaya: PT Bina Ilmu,1995, hal:100
[7] Drs. Munzier Suparta,"Ilmu Hadis" hal:33
[8] hasbi as-Siddiqy, "Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist", jil.II, hal 206
[9] Imam an Nawawi, "Dasar-Dasar Ilmu Hadist", Jakarta: Pustaka Firdaus, hal 40
            [10] Muhammad al- Thahan, "Taisir Musthalah al- hadis", hal:152

[11] Muhammad al- Thahan, Op. Cit., hal:153-154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar