Tidak Semua Bid’ah Itu Sesat?
Sejak berabad-abad yang lalu, para
ulama di empat mazhab Islam membagi bid’ah secara umum menjadi dua, yakni bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk). Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum
yang diketahui bersama dan diterapkan dari generasi ke generasi. Anehnya, dari
daerah Najd berkembang gerakan purifikasi yang bernama Wahhabiyah—yang sekarang
mereka lebih suka memanggil dirinya sebagai Salafiyah atau Muwahhidun—yang
menyatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat tanpa terkecuali. Sejak saat itu
berkembanglah tren menyesat-nyesatkan berbagai amal ibadah kaum muslimin yang
telah dilakukan berabad-abad. Lebih aneh lagi, mereka melakukan itu dengan
klaim kembali ke ajaran ulama salaf.
Akhirnya, tren menyesat-nyesatkan
muslim lain dengan dalih bid’ah ini masuk pula ke Negeri tercinta ini. Tak
heran jika bermunculan berbagai buku, siaran radio hingga artikel-artikel di
internet yang penuh dengan tulisan yang membahas betapa buruk dan sesatnya
muslim di negeri ini, tak terkecuali para ulamanya, karena dianggap
melestarikan berbagai amalan bid’ah yang sesat. Sebagai contoh silakan lihat ini, juga ini dan
yang ini. Dalil utama mereka
adalah hadis populer yang berbunyi: كل بدعة ضلالة وكل
ضلالة في النار (biasanya
diartikan: Setiap
bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu di neraka). Buku-buku kaum Salafi penuh dengan hadis ini dan yang
semakna diulang-ulang sampai yang membaca jenuh seolah tidak ada dalil lain
yang dapat diajarkan pada umat.
Para ulama Ahlus Sunnah dari dulu
jelas memahaminya sebagai sebagian besar bid’ah atau bid’ah secara umum, bukan
setiap bid’ah tanpa terkecuali. Pemahaman mereka ini jelas-jelas pemahaman yang
benar karena yang mereka baca tidak hanya hadis itu, melainkan juga dalil-dalil
lain. Tapi, bagaimanapun jelasnya, tetap saja masih harus dijelaskan lagi
karena entah kenapa ada saja yang salah paham, seperti orang yang harus menjelaskan
bahwa bumi ini bulat dan bergerak pada orang dusun yang tetap ngotot berkata bahwa bumi itu datar dan tidak bergerak. Meski
menjelaskan hal yang sudah jelas itu membosankan sekali, tapi akhirnya saya tergerak juga untuk memberikan
sedikit sumbangsih pemikiran karena ternyata tren asal menyesatkan karena
bid’ah itu lumayan laku juga di masyarakat.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan
membahas masalah ini dengan berlandaskan pendapat para ulama besar seperti para
imam mazhab karena semisal saya menukil pernyataan Imam Syafi’i yang dengan tegas membagi bid’ah
menjadi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmumah (buruk/tercela), maka sering kali kaum Salafi akan mementahkannya dengan
berkata: “Mau
ikut Imam Syafi’i atau ikut Rasul?” atau “Kenapa ikut penafsiran ulama kalau
hadisnya sudah jelas?” atau “Itu kan hanya penafsiran yang bisa saja salah, tapi dalil
kami adalah hadis yang tidak mungkin salah.” atau
bahkan dengan pedenya menukil hadis yang artinya: “Tidak boleh ada ketaatan pada makhluk dalam hal maksiat pada
Sang Khalik”. Ada juga yang dengan agak sombong
menukil ucapan Imam Abu Hanifah berikut: “Hum al-Rijal wa Nahnu Rijal” yang artinya mereka itu laki-laki, kita juga laki-laki!.
Jadi, saya akan memakai landasan
rasio atau akal sehat saja hingga satu-satunya cara untuk mementahkan hujjah
ini adalah dengan berkata: “Kami
beragama tidak pakai rasio atau akal sehat!”.
Semoga saja tidak ada yang berkata seperti itu karena saya dan seluruh manusia lain tidak
mungkin lagi memberikan penjelasan apapun pada orang seperti itu. Tapi tentunya
bukan berarti saya berhujjah dengan akal-akalan karena secara konsisten rasio tersebut
akan digunakan untuk memahami teks-teks yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
A. Arti
kata كل tidak harus semua tanpa kecuali.
Yang menjadi kata kunci dalam
bahasan ini adalah kata كل yang berarti setiap, semua atau segala yang ada dalam hadis كل بدعة ضلالة (Setiap bid’ah adalah sesat). Dengan memahami kata itu secara
dangkal, kaum Salafi menjadikannya landasan untuk menuduh sesat segala macam
praktek ibadah yang tidak ada di jaman Rasul tanpa terkecuali. Benarkah kata
ini harus berarti setiap atau semua dan tidak menerima satu pun pengecualian? Jawabannya adalah
tidak benar sama sekali!
Dalam ilmu Mantiq/logika, dikenal
dua istilah yang merujuk pada statemen umum, yakni kulli dan kulliyah. Bedanya,kulli mengacu pada arti yang benar secara umum saja namun masih
menerima pengecualian secara partikular, seperti pernyataan “semua perempuan itu lebih lamban
dari laki-laki”, sedangkan kulliyah mengacu pada arti umum yang tidak menerima pengecualian,
seperti pernyataan “semua
orang pasti mati”. Ini hal yang sudah jelas dan tak
perlu diperpanjang lagi. Lalu bagaimana dengan peristilahan dalil-dalil agama
semisal al-Qur’an, apakah juga berlaku pembedaan kulli dan kulliyah itu? Jawabannya jelas, ya keduanya berlaku.
Dalam al-Qur’an, Allah menggunakan
kata كل
untuk makna yang kulli dan makna yang kulliyah.
Kata tersebut dipakai sebanyak 235 kali dan sepanjang penelitian penulis
setidaknya ada 21 kata (tanpa menghitung kata yang susunan kalimatnya sama)
yang konteks maknanya adalah kulli alias hanya benar secara umum dan masih ada pengecualiannya.
Orang yang lebih jeli dari saya mungkin saja menemukan lebih banyak dari jumlah
ini. Menyebutkan satu-dua contoh saja sebenarnya sudah cukup, tapi jiwa
pendebat yang fanatik sering menolak bila contohnya sedikit, maka kedua puluh
satu kata itu akan saya sebut semua. Kata كل yang bermakna kulli itu antara lain sebagai berikut. Perhatikan kata yang ditulis
tebal di bawah ini:
1.
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ
شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ [الأنعام: 102]
(Yang
memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan
selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia
adalah Pemelihara segala sesuatu.
Keterangan: Sudah jelas ada sesuatu yang tidak Allah ciptakan dan tak
mungkin Dia yang menciptakannya, yaitu sifat-sifat ketuhanannya sendiri. Jadi,
Allah tidak menciptakan wujudnya sendiri karena itu berarti Allah menciptakan
Allah lain, tidak mungkin juga menciptakan kekekalannya sendiri karena itu
berarti bahwa kekekalannya punya awal mula atau dengan kata lain sebelumnya
Allah tidak kekal. Begitulah seterusnya bagi sifat-sifat yang lain. Jadi,
firman Allah di atas hanya berlaku dalam konteks umum saja, bukan seluruhnya
tanpa kecuali.
2.
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[التوبة: 39]
Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Keterangan: Ayat seperti ini banyak sekali jumlahnya yang menekankan
ke-Maha Kuasaan Allah untuk melakukan segala hal. Ayat ini juga tidak berlaku
umum tanpa kecuali karena ada banyak hal yang Allah tidak kuasa atasnya, yaitu
hal-hal yang mustahil secara rasio. Jadi,
Allah tidak kuasa membuat batu yang saking besarnya sampai Allah sendiri tidak
mampu memindahkannya. Allah juga tidak kuasa menghilangkan sifat-sifat
ketuhanannya. Allah juga tidak kuasa memasukkan bumi ke dalam lubang jarum
jahit tanpa mengubah ukuran salah satu atau keduanya. Allah juga tidak kuasa
membuat Allah lain satu lagi. Mengatakan “Allah tidak kuasa” sebenarnya tidak
sopan, tapi kadang diperlukan bahasa yang vulgar untuk memahamkan orang yang
masih mempertanyakan hal yang sudah jelas. Normalnya, para ulama menyebutnya
secara halus sebagai “Kuasa Allah tidak berhubungan dengan hal mustahil”.
3.
إِنَّ رَبِّي عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ [هود: 57]
Sesungguhnya
Tuhanku Maha Menjaga setiap sesuatu.
Keterangan: Sudah jelas Allah tidak menjaga hati orang-orang kafir
hingga mereka menolak iman dan karenanya masuk neraka.
4.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ
مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا وَمَا يَمْكُرُونَ إِلَّا بِأَنْفُسِهِمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ [الأنعام: 123]
Demikianlah
Aku adakan pada setiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar
agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak
memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.
Keterangan: Sudah
jelas tidak di semua negeri ada hal demikian. Hanya secara umum saja. Sebagian
pakar tafsir semisal Ibnu Katsir mengartikan lebih khusus lagi, yakni
negeri-negeri para Rasul.
5.
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
[يوسف: 76]
Di
atas setiap yang berilmu ada yang lebih berilmu
Keterangan: Ini juga secara umum, jika diartikan seluruhnya tanpa
kecuali berarti di atas Allah juga masih ada yang lebih berilmu lagi.
6.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ
كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ [يوسف: 111]
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi pembenaran
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan penjelasan segala sesuatu dan
sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.
Keterangan: Kata تَفْصِيلَ dalam ayat itu sebenarnya berarti penjelasan yang rinci. Sudah jelas
al-Qur’an tidak menjelaskan setiap sesuatu, apalagi secara rinci tanpa
terkecuali. Pernyataan ini benar secara umum
saja bahwa setiap hal dan prinsip penting yang wajib diketahui kaum mukmin
sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, bukannya berarti di dalamnya ada segala
pengetahuan manusia hingga rinciannya. Sebagai contoh, teknis salat saja tidak
dijelaskan dalam al-Qur’an, tapi di hadis.
7.
وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ
وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ
فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ [الرعد: 3]
Dia-lah
Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai
padanya dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan.
Keterangan: Sudah maklum hanya umumnya saja buah-buahan itu
berpasang-pasangan jantan dan betina (berkembang biak secara Generatif) dengan
mengartikan kata الثَّمَرَاتِ sebagai tumbuhan berbuah. Tapi
tentu saja tidak semuanya demikian karena ada banyak sekali tumbuhan yang
berbuah dengan sendirinya tanpa perlu pasangan jantan atau betina yang dalam
dunia science dikenal dengan sebutan tumbuhan vegetatif, seperti jenis spora,
tunas, akar tinggal, umbi-umbian dan lain-lain. Ada beberapa Mufassir yang
mengartikan kata الثَّمَرَاتِ itu sebagai buah sebenarnya
(bukan tumbuhan) dan menafsirkan berpasang-pasangan itu sebagai besar-kecil,
hitam-putih, merah-hijau, manis-kecut dan lain-lain sehingga semua buah tanpa
terkecuali ada pasangannya. Sayangnya arti demikian tampaknya lemah dan
dipaksakan karena ayat tersebut memakai kata زَوْجَيْنِ
اثْنَيْنِ yang berarti
sepasang atau dua hal yang berpasangan sedangkan ukuran, warna dan rasa
bukanlah hal yang bisa dipasang-pasangkan karena ragamnya yang hampir tak
terbatas.
8.
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ
كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً
فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ [الأنعام: 44]
Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Aku
bukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami
siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
Keterangan: Sudah jelas kaum yang ingkar tersebut tidak mendapat
segala macam kesenangan di dunia, tapi kesenangan secara umum saja.
9.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ [إبراهيم:
34]
Aku
berikan pada kalian segala macam yang kalian minta.
Keterangan: Sudah jelas tidak segala macam yang diminta manusia
diberikan oleh Allah melainkan semua ada takaran dan pertimbangannya
masing-masing.
10.
ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي
سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا [النحل: 69]
Kemudian
makanlah dari segala macam buah lalu tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan (bagimu).
Keterangan: Ayat tersebut merupakan ilham Allah kepada lebah. Sudah
maklum bahwa lebah tidak memakan semua jenis “buah”, melainkan hanya beberapa
“buah” yang lebih tepatnya disebut dengan bunga dalam peristilahan kita, bahasa
Indonesia.
11.
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ
مَثَلٍ فَأَبَى
أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا [الإسراء: 89]
Sesungguhnya
Aku telah mengulang-ulang pada manusia dalam Al Quran ini tiap-tiap
perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali
mengingkarinya.
Keterangan: Jelas sekali dalam al-Qur’an tidak disebutkan segala macam
perumpamaan, melainkan secara garis besar saja.
12.
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
[الكهف: 79]
Di
hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Keterangan: Sudah maklum bahwa raja yang dimaksud oleh ayat itu hanya
merampas bahtera/perahu yang masih layak untuk dibuat berlayar atau berperang.
Karenanya, Nabi Khidir merusak salah satu perahu seorang miskin agar tidak ikut
dirampas. Jadi tidak tiap-tiap perahu akan dirampas.
13.
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا
يُؤْمِنُونَ [الأنبياء: 30]
Aku
jadikan dari air itu segala macam yang hidup. Mengapakah mereka
tidak juga beriman?
Keterangan: Sudah jelas bahwa makhluk hidup yang dijadikan dari air atau
yang terdiri dari unsur-unsur air itu tidak seluruhnya, melainkan hanya secara
umum saja. Para malaikat jelas tidak termasuk dalam ayat ini.
14.
فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا
وَوَحْيِنَا فَإِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ
زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ [المؤمنون: 27]
Lalu
Aku wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah pengawasan dan petunjuk-Ku,
maka apabila perintah-Ku telah datang dan penanak roti telah memancarkan air,
maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis)
hewan…
Keterangan: Sudah jelas bahwa tidak semua jenis hewan dimasukkan dalam
bahtera Nuh tersebut, melainkan hanya hewan-hewan yang secara umum dibutuhkan
untuk masa pasca banjir besar, seperti hewan ternak dan kuda. Hanya Bible/Injil
saja yang mengatakan bahwa banjir Nuh itu melanda seluruh bola dunia dan semua
hewan mati kecuali yang ada di atas kapal sehingga Nabi Nuh mengangkut segala
macam jenis hewan yang ada saat ini. Kisah berlebihan ini merupakan salah satu
kesalahan Bible yang terbesar dan paling memalukan dalam sejarah yang
membuktikan bahwa Bible sudah dirusak isinya. Sayangnya, ada beberapa tafsir
al-Qur’an yang merujuk kisah isra’iliyat dari Bible ini.
15.
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ
هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ [النمل: 16]
Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai Manusia, Aku telah diberi
pengertian tentang bahasa burung dan Aku diberi segala sesuatu.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata”.
Keterangan: Tidak mungkin ada manusia yang dikaruniai segala sesuatu
tanpa terkecuali di dunia ini. Yang dimaksud Nabi Sulaiman tersebut adalah
kebanyakan hal yang dinginkan manusia, bukan segala sesuatu dalam arti
sebenarnya.
16.
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا
عَرْشٌ عَظِيمٌ [النمل: 23]
Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Keterangan: Sama seperti sebelumnya, ini juga secara umum saja.
17.
أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ
كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا [القصص: 57]
Apakah
Aku tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang
aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam
tumbuhan sebagai rezeki dari-Ku?.
Keterangan: Benarkah di tanah suci Makkah terdapat segala macam buah
di dunia? Jelas tidak!, hanya sebagian besar saja yang diimpor ke sana dari
berbagai penjuru dunia.
18.
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ ذُو
الْأَوْتَادِ.وَثَمُودُ وَقَوْمُ لُوطٍ وَأَصْحَابُ الْأَيْكَةِ أُولَئِكَ
الْأَحْزَابُ . إِنْ كُلٌّ إِلَّا كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ
عِقَابِ [ص: 12-14]
Telah
mendustakan (rasul-rasul pula) sebelum mereka itu kaum Nuh, ‘Ād, Firaun yang
mempunyai tentara yang banyak, Tsamud, kaum Luth dan penduduk Aikah (kaum Nabi
Syuaib). Mereka itulah golongan-golongan yang bersekutu. Semua mereka
itu tidak lain mendustakan rasul-rasul, maka nyatalah azab-Ku.
Keterangan: Sudah maklum dalam sejarah bahwa tidak semua kaum Nuh, ‘Ād
dan seterusnya mendustakan Rasul, melainkan sebagian besar atau secara umum
saja.
19.
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَأَصْحَابُ الرَّسِّ
وَثَمُودُ . وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَانُ لُوطٍ . وَأَصْحَابُ الْأَيْكَةِ
وَقَوْمُ تُبَّعٍ كُلٌّ كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ
وَعِيدِ [ق: 12-14]
Sebelum
mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh, penduduk Rass, Tsamud, kaum Ād, kaum
Firaun, kaum Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’. Semuanya telah
mendustakan rasul-rasul, maka nyatalah hukuman yang sudah diancamkan.
Keterangan: Seperti sebelumnya, ini juga secara umum saja. Ada
beberapa orang dari kaum tersebut yang beriman pada para Rasul.
20.
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ [الذاريات: 49]
Segala
sesuatu Aku ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Keterangan: Secara umum saja hal-hal di dunia ini berpasang-pasangan;
ada laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, matahari dan bulan, siang dan
malam dan seterusnya. Tapi tentu saja tidak semuanya diciptakan berpasangan.
Binatang bersel satu tidak membutuhkan pasangan untuk hidup dan berkembang
biak, tapi dengan cara membelah diri. Begitu pula dengan hal-hal sederhana di
sekitar kita seperti batu, air dan lain-lain yang tidak ada pasangannya dan
sulit untuk dipasang-pasangkan.
21.
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ
يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ
صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
[المنافقون: 4]
Apabila
kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka
berkata, maka kamu pun mendengarkan perkataan mereka. Mereka itu (bodoh)
seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap
teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang
sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka.
Keterangan: Allah menerangkan bahwa salah satu sifat orang munafik
adalah kepribadian atau mental yang lemah; mereka menyangka tiap teriakan keras
itu mengarah pada mereka. Tentunya yang dimaksud di sini bukan tiap teriakan
keras tanpa kecuali, melainkan hanya teriakan keras yang memojokkan dan
menyalahkan saja.
Dari berbagai contoh di atas, dapat
diketahui bahwa tidak semua kata كل bermakna semua tanpa terkecuali,
tapi ada juga—bahkan bisa dibilang banyak—yang bermakna sebagian besar,
kebanyakan atau secara umum saja. Dalam ilmu Ushul Fiqh (Metode-metode
Penggalian Hukum Islam), contoh-contoh seperti di atas tergolong dalam takhsīsh bi al-‘Aqli atau pengkhususan/pembatasan statemen umum dengan
menggunakan akal. Dalam ilmu Balaghah (Sastra Arab), yang seperti ini dikenal
dengan istilah al-‘ām
al-ladzi yurādu bihi al-khās atau
statemen umum yang dimaksudkan untuk makna khusus. Ini pun rasanya sudah jelas
dan tak perlu dibahas panjang lebar di sini. Jelasnya pemahaman rasional
seperti ini bukan akal-akalan, tapi benar-benar pemahaman yang ilmiah dalam
berbagai disiplin ilmu.
Mahmud al-Alusi dalam karyanya, Ruh al-Ma’ānī, sebuah tafsir monumental setebal 20 jilid yang merangkum sekian
banyak kitab tafsir sebelumnya, ketika menafsirkan ayat Ibrahim: 34 berkata
demikian:
وقال بعض الكاملين : إن { كُلٌّ }
للتكثير والتفخيم لا للإحاطة والتعميم كما في قوله تعالى : { فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
أَبْوَابَ كُلّ شَىْء } [ الأنعام : 44 ]
Sebagian
orang yang sempurna pemahamannya berkata: “Sesungguhnya kata كل itu untuk
memperbanyak dan memperbesar makna, bukan untuk meliputi dan mengumumkan,
seperti firman Allah: Aku bukakan pada mereka semua pintu-pintu kesenangan (al-An’am: 44)”.
Tentang bid’ah, kenyataannya memang
secara umum itu buruk. Penggunaan bid’ah secara mutlak biasanya berkonotasi
buruk juga, tapi bukan berarti tidak ada bid’ah yang baik. Sudah jadi
pengetahuan umum bahwa Khalifah Umar pernah menyebut salat Tarawih berjemaah
sebanyak dua puluh rakaat sebagai bid’ah yang paling baik. Ini juga menjadi bukti bahwa para sahabat Nabi menyebut
semua inovasi baru dalam masalah agama sebagai bid’ah. Akan tetapi bila bid’ah
itu baik, maka biasanya tidak disebut sebagai bid’ah secara mutlak, melainkan
dengan embel-embel keterangan bahwa itu adalah bid’ah yang baik atau bid’ah hasanah.
Yang jelas, sampai poin ini berarti
setiap pihak yang hendak menuduh sesat sebuah tindakan bid’ah harus
mendatangkan buktinya dengan selain hadis “setap bid’ah adalah sesat” tersebut.
Dengan kata lain, hadis
tersebut dan apalagi seluruh hadis lain yang berbicara tentang bid’ah tanpa
memakai kata كل (semua)
tidak dapat menjadi dasar mandiri untuk menuduh sesat sebuah perbuatan ibadah,
melainkan hanya sebagai acuan umum yang masih harus didukung oleh dalil lain.
B. Inkonsistensi
penetapan semua bid’ah sesat tanpa kecuali
Pada kenyataannya, orang-orang yang
menolak adanya bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) tidak mungkin
konsisten dengan konsep asal pukul rata itu. Akan selalu ada kontradiksi dalam
keputusan-keputusan mereka. Misalnya, Bin Baz mengatakan dalam situsnya bahwa Tarawih berjamaah dua puluh
rakaat bukan bid’ah secara syariat, namun hanya secara kebahasaan saja karena
prinsipnya salat Tarawih sendiri adalah termasuk hal yang dicontohkan oleh
Rasulullah. Aneh bin ajaib, pada saat yang sama dia menyesatkan perayaan maulid
Nabi karena dianggap sebagai hal baru yang sama sekali tidak dicontohkan Rasul.
Kenyataannya, ada berbagai hadis yang prinsipnya adalah pengistimewaan Nabi
Muhammad saw. terhadap hari lahirnya sendiri, semisal hadis tentang puasa hari
senin dan pengistimewaan beliau terhadap hari lahir Nabi Musa as dengan puasa
di bulan Muharam.
Kalau mau bicara prinsip, antara
kasus Tarawih berjamaah dua puluh rakaat yang digagas Umar dan perayaan maulid
Nabi yang digagas para ulama sama saja; keduanya punya landasan prinsip yang
dicontohkan Rasul. Kalau mau bicara teknis, keduanya juga berbeda dengan apa
yang dipraktekkan Rasul. Dalam kasus Tarawih misalnya, tak ada satu pun hadis
yang berisi sebagai berikut:
§ Menyebut istilah salat Tarawih di
zaman Rasul hidup.
§ Salat Tarawih berjamaah tiap malam.
§ Menyebut tentang jumlah salatnya
yang dua puluh rakaat.
§ Mengkhatamkan al-Qur’an 30 Juz
selama sebulan Ramadhan dalam Tarawih seperti yang dipraktekkan di Makkah dan
Madinah hingga kini.
§ Memberikan jeda tarwihah (istirahat) setiap dua kali salam seperti di masa-masa
sahabat. Karena punyatarwihah ini,
maka salat unik tersebut disebut Tarawih (bentuk plural dari tarwihah).
§ Adanya salat khusus bulan Ramadhan
yang tidak perlu/tidak boleh dilakukan di bulan lain dan dengan cara-cara
tertentu yang khusus pula seperti tarawih.
Dengan semua perbedaan itu tentunya
Tarawih tergolong sebagai bid’ah. Tapi, ada hadis yang menyebutkan bahwa
menghidupkan malam hari bulan Ramadhan itu berpahala besar dan Rasul juga
pernah salat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah selama beberapa hari
saja. Sama saja tidak ada hadis yang berisi perayaan maulid seperti yang
dilakukan umat sekarang dengan cara pembacaan salawat, al-Qur’an dan sejarah
Nabi, penentuan waktu tertentu, acara seremonial, penghormatan dengan cara
perayaan dan lain sebagainya, tapi secara prinsip ada beberapa hadis yang
menyatakan bahwa Rasul juga merayakan ulang tahunnya dengan cara puasa seperti
hadis berikut:
وسئل عن صوم الاثنين ؟ قال ذاك يوم
ولدت فيه ويوم بعثت ( أو أنزل علي فيه ). صحيح مسلم
Nabi
ditanya tentang puasa hari senin. Beliau berkata: “Itu hari kelahiranku dan
hari aku diutus (atau “hari diturunkan wahyu padaku”). Riwayat Muslim.
Dengan begitu, semestinya kalau
konsekuen berbicara prinsip bahwa salat Tarawih seperti yang sampai kini
dilakukan di Makkah al-Mukarramah bukan bid’ah secara syariat karena ada
landasan hadisnya melainkan hanya secara kebahasaan saja, maka perayaan
maulid Nabi juga dihukumi bukan bid’ah secara syari’at melainkan hanya secara
kebahasaan saja. Sebaliknya kalau hendak membid’ahkan perayaan maulid karena
ada beberapa hal teknis yang tidak pernah dicontohkan Nabi, maka salat Tarawih
juga harus dibid’ahkan dan disesatkan sehingga dianggap sesatlah seluruh jamaah
Masjidil Haram dari dulu hingga sekarang.
Kalau dikatakan bahwa tarawih adalah
sunah Khulafaur Rasyidun yang diperintah oleh Nabi untuk dipegang kuat-kuat
sedangkan Maulid bukan sunah Khulafaur Rasyidin, maka ini logika yang
aneh sekali yang punya beberapa kesalahan.
Pertama: Sunah Khulafaur Rasyidun tidak boleh dipahami sebagai
sunah baru yang independen yang menambah sunah Nabi Muhammad karena jika
demikian berarti menjadikan mereka sebagai pembawa syariat seperti halnya Allah
dan Nabi Muhammad. Ini salah mutlak karena pembawa syariat itu hanya dua, Allah
dan Rasulnya dan tidak ada yang lain. Karena itu, sejarah telah menerangkan
bagaimana Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah pada awalnya
merasa berat hati untuk menerima usulan penyusunan al-Qur’an menjadi satu buku,
alasannya takut bid’ah!. Seandainya benar dipahami bahwa sunah Khulafaur
Rasyidun adalah sunah independen yang berhak menambah sunah Nabi, maka pastinya
langsung saja Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah menerima usul
brilian tersebut tanpa pikir panjang karena khalifah berhak membuat sunah baru.
Kedua: Kalau dengan gampangnya tarawih bisa disebut sunah
Khulafaur Rasyidun, maka merayakan Maulid bisa disebut sunah Rasul karena Rasul
dan para sahabat merayakannya dengan bentuk puasa.
Ketiga: Tidak
ada hadis yang mengajarkan bahwa semua teknis harus
mencontoh Khulafaur Rasyidun dan apabila teknisnya tidak sama berarti salah
seperti kasus salat yang teknisnya harus mencontoh Rasul.
Kalau dikatakan bahwa perayaan
Maulid diharamkan karena banyak terjadi hal-hal yang diharamkan di dalamnya
seperti percampuran laki-laki dan perempuan, pentas-pentas seni yang
diperselisihkan hukumnya (orang Salafi tidak terbiasa menggunakan kata
diperselisihkan, tapi biasanya langsung diharamkan) dan lain-lain yang bersifat
teknis, maka berarti haram lighairihi (haram karena faktor luar). Tinggal dibuang saja hal-hal
teknis yang diharamkan itu dan diganti dengan ibadah yang jelas halal. Kalau
benar itu yang jadi alasannya, berarti hukumnya tidak boleh digeneralisir pada
seluruh praktek perayaan Maulid karena tidak semua perayaan Maulid mengandung
hal-hal sedemikian. Harusnya yang dikritik bukan Maulidnya, tapi hal-hal yang
diharamkan tadi.
Logika seperti ini juga berlaku bagi
banyak hal lain yang disesat-sesatkan oleh kaum Salafi-Wahabi. Yang jelas
banyak inkonsistensi di dalamnya bila benar-benar dipikir mendalam.
C. Mengatakan
ada bid’ah yang hasanah (baik) bukan berarti menolak sunah Nabi.
Biasanya kaum Salafi-Wahabi memvonis
orang yang berkata ada bid’ah hasanah sebagai orang yang melawan sunah Nabi
karena Nabi tidak pernah berkata demikian. Perkataan Nabi justru كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار (biasanya diartikan:Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu di
neraka). Ini vonis gegabah yang
menyesatkan banyak orang. Bila dipikir seksama sebenarnya bukan hadis itu
dilawan. Bukan sunah Nabi yang diingkari, tapi pemahaman mereka terhadap hadis
tersebut dan sunah Nabi yang diingkari. Mengingkari pemahaman seseorang
terhadap al-Qur’an dan hadis tidak bisa disamakan dengan mengingkari al-Qur’an
dan hadis itu sendiri.
Kesimpulan seperti itu hanyalah
argumen kosong yang menipu. Menempatkan lawan bicara dalam posisi berseberangan
dengan al-Qur’an dan hadis, padahal sebenarnya hanya berseberangan dengan
pendapatnya sendiri. Menegaskan bahwa pendapat lawannya bertentangan dengan
pendapat ulama, padahal sebenarnya hanya bertentangan dengan ulama mereka atau
sebagian ulama Ahlussunnah yang kebetulan sama dengan mereka, bukan dengan
seluruh ulama.
D. Kesempurnaan
agama tidak berarti menafikan bid’ah hasanah
Beberapa orang memakai dalil
kesempurnaan agama Islam dalam surat al-Ma’idah: 3 sebagai dalil untuk
menafikan adanya bid’ah yang baik. Logika
yang mereka pakai, kalau sudah sempurna berarti tidak bisa ditambah-tambah.
Seandainya masih ditambah lagi, maka justru akan merusak kesempurnaan itu dan
orang yang menambah berarti meyakini bahwa agama ini belum sempurna.
Argumen dan logika seperti ini
cacat. Kesempurnaan agama Islam adalah hal yang disepakati bersama oleh setiap
muslim dari golongan mana pun, mazhab apa pun. Mereka yang meyakini adanya
bid’ah hasanah bukan berarti merusak atau menolak kesempurnaan agama Islam
karena justru kebolehan bid’ah hasanah sendiri diyakini sebagai bagian dari kesempurnaan itu.
Kesempurnaan agama ini bukan karena agama ini telah mengatur setiap detail dan
teknis hal-hal yang halal dan haram karena pengaturan setiap detail dan teknis
seperti itu tidak pernah terjadi kecuali pada hal-hal tertentu saja seperti
misalnya salat, puasa, zakat, haji dan waris. Hal teknis tentang kebanyakan hal
lain sengaja dibiarkan bukan karena lupa dan kurang, tapi justru karena manusia
dipersilakan mengerjakannya dengan caranya masing-masing yang unik. Nabi
bersabda:
إن الله فرض فرائض فلا تُضيِّعُوها،
وحَدَّ حدودًا فلا تعتدوها، وحَرَّم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم
غَيْرَ نِسْيان فلا تسألوا عنها. (البيهقي)
Sesungguhnya
Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan disia-siakan. Membatasi dengan
batasan-batasan, maka jangan dilampaui. Mengharamkan beberapa hal, maka jangan
dirusak. Mendiamkan beberapa hal sebagai kasih sayang terhadap kalian bukan
karena lupa, maka jangan menanyakannya. (Riwayat Baihaki)
Selain itu, memakai ayat al-Ma’idah:
3 sebagai dalil dalam konteks ini juga sangat salah karena ayat tersebut bukan
ayat yang terakhir turun dan masih ada ayat-ayat lain yang turun belakangan. Seandainya logika cacat tersebut
masih dipaksakan juga untuk diterapkan, maka berarti ayat-ayat yang turun
setelah al-Ma’idah: 3 itu dianggap perusak kesempurnaan. Kalau tidak dianggap
sebagai perusak kesempurnaan tapi pelengkap kesempurnaan, berarti kesempurnaan
yang disebut dalam al-Ma’idah: 3 itu kesempurnaan semu yang harus disempurnakan
lagi dengan ayat lain. Kemungkinan-kemungkinan ini tidak mungkin dibenarkan dan
tidak logis.
Satu-satunya yang logis adalah
memahami bahwa kesempurnaan Islam terletak dalam pedoman umumnya dan juga
pedoman detailnya dalam beberapa hal tertentu saja yang kesemuanya dapat
menjadi petunjuk bagi manusia yang dalam waktu sama juga memberikan ruang
kebebasan yang penuh rahmat untuk terus mengembangkannya.
Masih sangat banyak argumen lain
yang bisa ditampilkan di sini bahkan bisa mencapai satu buku tebal, tapi agar
tidak terlalu panjang saya cukupkan hingga sampai ini dan rasanya sudah cukup
untuk membuktikan kesalahan argumen dan logika yang dipakai oleh orang-orang
yang secara sembrono gemar menyesat-nyesatkan amalan orang lain atas dasar
bid’ah yang dia pahami dari hadits كل بدعة ضلالة.
Sekian semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar